Cinta Dipertanyakan

Seringai Gisel sangat jelas. Prilly sedang duduk sendiri di kantin sambil melamun. Tak menyiakan kesempatan, Gisel pun mendekatinya.

"Ehem!" Gisel duduk di sebelah Prilly. "Sedih, ya, sekarang dicuekin Pak Al?" sarkastis Gisel sambil tersenyum miring.

Suasana hati Prilly sedang tidak baik. Memang dua hari belakangan ini sejak kedatangan Ali dan Teguh, sikap Al berubah. Seperti membatasi diri dengan Prilly. Apalagi untuk satu minggu ke depan orang tuanya dan Ali akan berada di sini. Ali dan Teguh menyewa kamar sendiri. Tetap satu tempat dengan Prilly.

"Ck, males," ucap Prilly ingin beranjak pergi, tetapi lengannya dicekal Gisel.

"Kamu harus tahu satu hal. Tidak mudah menaklukkan hati Pak Al. Karena hatinya hanya ada Arumi."

Seketika Prilly menoleh sambil menautkan kedua alisnya. Dari pandangannya, dia seperti ingin menuntut penjelasan. Namun, dia sangat malas berhadapan dengan Gisel.

"Nggak penting!" sergah Prilly melepas tangan Gisel kasar yang mencengkeram pergelangannya.

Lalu Prilly pergi meninggalkan Gisel yang kesal karena gagal mempengaruhi Prilly agar membenci Al. Sepanjang jalan, pikiran Prilly dipenuhi pertanyaan tentang Arumi.

"Arumi? Apa dia pacar Pak Al?" Prilly sangat penasaran.

Belum sampai di ruang SDM, tak sengaja dia dan Agus bertemu di lorong.

"Pak Agus mau ke mana?" tanya Prilly saat berpapasan dengannya.

"Mau ke kantin, beliin makan Pak Al. Kamu dah selesai makan, kan?"

"Sudah, Pak."

"Ya dah, kamu balik ke ruangan sekarang. Gantian, saya mau makan sekalian beliin Pak Al."

"Siap, Pak." Ketika Agus ingin melanjutkan jalannya, Prilly memanggil, "Pak Agus!"

"Iya." Agus mengurungkan langkahnya lalu menoleh kepada Prilly.

"Boleh tanya sesuatu? Masalah di luar pekerjaan."

"Mau tanya apa?"

Sebenarnya Prilly sadar, tak seharusnya dia mencari tahu tentang pribadi Al kepada orang lain. Namun, apa daya, Prilly sudah sangat penasaran. Apalagi Prilly tahu jika Agus adalah junior Al saat mereka kuliah. Mungkin Agus tahu tentang Arumi.

Sambil meremas-remas tangannya dan menggigit bibir bawah, Prilly memberanikan diri bertanya, "Mmmm ... siapa Arumi?"

Wajah Agus tampak terkejut, dia menatap Prilly aneh.

"Tahu dari mana kamu tentang Arumi?"

"Gisel."

"Dasar mulut ember," gumam Agus kesal. Namun, samar di telinga Prilly.

"Bisa minta tolong jelaskan sesuatu tentang dia?"

"Maaf, Pril. Soal itu, yang lebih berhak menjawab Pak Al. Kalau kamu berani, tanyakan saja langsung padanya."

Prilly diam, dia berpikir seribu kali.

"Ya dah, saya ke kantin dulu, ya? Buruan balik ke ruangan, nanti dicari Pak Al."

Sebelum pergi, Agus menepuk lengan Prilly sambil tersenyum. Prilly melanjutkan langkahnya dengan pikiran penuh tanda tanya.

Sampai di ruang SDM, Prilly tetap membisu, dia tak menyapa Al, bahkan dua hari ini Al jarang sekali mengajaknya bicara. Prilly duduk di tempatnya, bukan pekerjaan yang langsung dia pegang, justru Prilly melamun.

"Prilly," panggil Al, tetapi tak ada sahutan.

"Prilly!" Kali ini agak keras. Prilly tetap tidak mendengar. Tatapannya kosong ke depan.

Al menghela napas panjang, lalu dia mendekat dan setengah pantatnya duduk di ujung meja menghadap Prilly yang sibuk melamun.

"Pril," panggil Al kali ini sangat lembut seraya memegang bahunya.

Prilly terperanjat, kesadarannya kembali.

"I-i-iya, Pak?" Prilly gelagapan.

"Kamu kenapa melamun?"

"Mmm ... mmm ... entah, Pak. Saya juga tidak tahu." Prilly mengusap wajahnya lalu menghela napas panjang.

"Ya sudah, tolong kamu buat surat peringatan kedua untuk juru mudi kapal Tunu bernama Cahyo. Dia melanggar peraturan lagi." Al beranjak lalu kembali duduk di kursinya.

"Baik, Pak. Mmm ... maaf, Pak, peringatan mengenai apa, ya?"

"Saya dapat laporan dari nakhodanya, kalau dia sering meninggalkan kapal sebelum pergantian jam kerja."

"Baik, Pak." Prilly segera mengetik surat itu di komputer.

Di ruangan itu sunyi, tak ada obrolan bahkan candaan yang dulu sering Al lakukan kepada Prilly. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

***

Jam menunjukan pukul setengah empat sore. Itu artinya jam kerja berakhir. Prilly berjalan sendiri, sampai di depan gerbang keluar pelabuhan, motor Al berhenti.

"Ayo."

"Saya jalan saja," tolak Prilly entah mengapa hatinya ada yang mengganjal. Dia masih kepikiran tentang Arumi.

"Sudahlah, ayo naik. Saya antar sampai kos." Al menarik Prilly agar mau naik ke boncengannya.

Apa boleh buat, Prilly tak bisa menolak. Setelah Prilly naik, Al menarik gasnya, motor menuju indekos Prilly.

Sampai di depan gerbang indekos, Prilly turun. Wajahnya murung, kepalanya penat, banyak hal yang dia pikirkan. Al melepas helmnya, lalu mengusap kepala Prilly.

"Kenapa?" tanya Al sangat lembut.

Prilly menggeleng lemah sambil menatap Al manja. "Entahlah," jawab Prilly.

"Ada yang kamu pikirkan?"

Prilly mengangguk lemah.

"Apa?" tanya Al memerhatikan wajah lesu dan sedih Prilly.

"Pak Al kenapa diemin saya dua hari ini? Apa karena saya belum memberi keputusan soal jawaban yang waktu itu Pak Al ajukan? Kan waktu itu saya sudah memilih. Kenapa Pak Al nyuruh saya memikirkan pilihan saya?"

"Agar kamu tidak menyesal?"

"Saya tidak akan menyesali apa pun yang sudah saya putuskan. Sekalipun itu membuat saya sedih."

Senyum simpul terukir di bibir Al. Dia menyisihkan rambut Prilly ke belakang telinga. Dari jendela kamar indekos Prilly, Juwita mengintip dan senyam-senyum sendiri. Beda dengan Ali yang mengintip dari jendela kamarnya. Wajahnya masam bahkan hatinya panas dan gelisah. Selama tinggal di Ketapang, dia menginap satu kamar bersama Teguh. Jarak kamar indekos Prilly dan kamar yang Ali tempati hanya selisih dua kamar.

"Bukan itu masalahnya."

"Lalu?" tanya Prilly dengan tatapan yang menggemaskan.

"Gemesin banget sih." Al mencolek hidung Prilly.

"Aaaah, jangan mengalihkan pembicaraan."

"Apa kamu yakin kita bisa saling mencintai? Saya tahu, Prilly, sebenarnya hatimu masih mencintai Ali, kan?"

"Dan Pak Al masih memikirkan Arumi, kan?"

Deg! Al setengah mati terkejut. Matanya melebar, bibirnya pun kelu.

"Siapa Arumi?" Prilly menuntut penjelasan.

Namun, Al terdiam seperti tak siap menjelaskan sesuatu tentang orang yang Prilly tanyakan itu.

"Apa karena dia, Pak Al terus menutup hati? Lalu bagaimana saya bisa masuk ke hati Pak Al jika pemiliknya masih kukuh mengunci? Siapa yang sebenarnya tidak siap belajar mencintai di sini? Saya atau Pak Al?" Suara Prilly bergetar, bibirnya gemetar dan air mata meluncur bebas di pipinya.

Merasa bersalah sudah membuat seorang wanita menangis, Al menangkup pipi Prilly dan menyeka air matanya.

"Dengarkan baik-baik. Belajar mencintai tidak semudah kita belajar matematika yang bisa diselesaikan dengan rumus. Kita harus bisa saling menerima dan saling memberi. Ini buka masalah saya atau kamu yang sama-sama belum siap. Saya yang terlalu takut mengecewakan kamu dan buat kamu sedih."

"Apa salahnya kita saling belajar membuka hati? Pak Al pernah bilang waktu itu, agar saya membuka celah untuk menerima orang lain. Kenapa Pak Al tidak melakukan itu untuk saya?"

"Kamu memang cerdas." Al mengacak kecil rambut Prilly.

"Jadi, bagaimana?"

"Bagaimana apa?"

"Kita."

Al tak paham, dia mengerutkan dahinya.

"Ck, Pak Al mah, nggak peka," ujar Prilly sedikit kesal.

Kedua tangan Prilly digenggam Al, lalu dia menarik napas dalam dan berkata, "Oke, kita belajar saling menerima dan soal cinta kita serahkan pada waktu. Setidaknya kita sudah berusaha."

Bibir Prilly tersenyum lebar. "Ini artinya kita jadian?"

"Mmm ... ya. Kita jalani dulu, ya? Kita perlu waktu untuk saling mengenal lebih jauh. Kamu baru dua bulan besama saya, belum tahu semua tentang saya."

"Itu karena Pak ..."

"Kok kedengarannya nggak enak gitu, ya? Pak pek pak pek terus. Perasaan saya masih muda dan saya bukan bapak kamu, kan?" Al menyela ucapan Prilly sambil tersenyum geli.

"Hahahahaha, memang kenapa?"

"Kamu masih mau panggil saya 'Pak' meskipun kita sudah berkomitmen begini?"

Prilly terkikih. "Terus maunya apa?"

"Terserah. Apa aja, asal enak didengar."

"Mas? Aa? Kak? Atau Bang?"

"Nggak enak semua."

"Terus apa dong?"

"Kakek," celetuk Al membuat tawa Prilly kembali pecah.

"Tua amat? Hahahaha."

"Emang dah tua kok."

"Nggak, ah! Nanti deh saya pikirkan sebelum tidur."

"Ciyeeeee, terang-terangan mau mikirin saya sebelum tidur," goda Al mengerling.

"Nggak jadi, ah!"

"Tadi mau bilang apa? Lanjutin."

"Yang mana?"

"Pas kamu bilang karena saya apa?"

"Oooh, itu? Karena kamu nggak mau membuka diri. Kamu terlalu tertutup."

"Ehem, dah berani kamu-kamuan nih?" Al melirik sambil tersenyum jahil.

"Ah, serba salah deh." Prilly memalingkan wajah ke arah lain.

"Jangan ngambek dong." Al mengarahkan pipi Prilly agar menatapnya. "Kalau di kantor bersikaplah seperti biasanya. Lepas dari kantor, kamu boleh menjadi dirimu sendiri. Mau manja sama aku, boleh."

"Ciyeeee ... gitu yaaa ... sekarang? Pakai aku-aku ...." Kali ini Prilly yang menggoda Al.

"Hahahaha, oke deh, oke. Senyaman kamu sama aku aja deh. Biar nggak terlalu canggung dan formal."

"Oke, siap!"

"Masuk sana!"

Prilly menoleh ke kamarnya dan kamar yang Teguh tempati bersama Ali. Di sekitar juga tampak sepi.

"Ck, aku sebenarnya nggak nyaman sama keadaan ini."

"Kenapa lagi sih?" tanya Al dengan nada lembut.

"Dia di sini."

"Terus?"

"Itu bikin aku nggak bisa bergerak bebas. Pokoknya aku merasa terganggu banget. Aku tuh stres, tekanan batin, tahu nggak?" ujar Prilly sebal.

"Sabar. Semakin kamu menolak kehadirannya, justru dia akan lebih gencar mendekatimu. Udahlah, jangan dipikirkan. Masuk sana, kita terlalu lama ngobrol di sini. Sudah mau magrib nih."

Dari jarak sekitar satu meter, Teguh melihat Al dan Prilly mengobrol di depan gerbang indekos. Lalu dia menghampiri mereka.

"Pak Al, kok di sini aja, nggak masuk?" sapa Teguh datang dari arah belakang.

"Eh, Pak Teguh. Iya, sudah terima kasih, sini saja, Pak." Al menjabat tangan Teguh erat, begitu pun Teguh membalasnya. "Dari mana, Pak?"

"Dari Indomaret, cari minuman dingin. Banyuwangi panas, ya?"

"Hehehe, iya, Pak. Apalagi Ketapang, jarang sekali hujan."

Beberapa detik tak ada obrolan, terdengar rekaman qiraah di masjid telah diputar pertanda azan Magrib akan berkumandang.

"Pak Teguh, kalau begitu saya pamit dulu. Sudah mau Magrib." Al menjabat tangan Teguh.

"Iya, Pak Al. Hati-hati, jangan ngebut." Teguh menepuk punggung Al pelan.

"Aku pulang dulu, ya?" pamit Al kepada Prilly lalu memakai helmnya.

"Iya, kamu masih punya utang penjelasan ke aku loh," ujar Prilly mengingatkan sesuatu.

Al hanya tersenyum, lalu menarik gasnya. Setelah Al jauh, Teguh merangkul Prilly masuk sambil menggodanya.

***

Malam pun tiba, ketika Prilly sedang duduk di kursi kayu depan kamarnya sambil minum teh dan mengecek sosmed, Ali menghampiri. Dia ikut duduk di kursi sebelah Prilly.

"Pril, apa kamu serius sama Pak Al?" tanya Ali tanpa basa-basi.

"Iya. Kenapa?" Prilly menutup ponselnya, dia menatap Ali.
Sekuat hati Prilly berusaha tidak terbawa suasana dan menjaga perasaanya agar tidak terlena dengan situasi bersama Ali.

"Bukannya kalian baru aja kenal?"

"Memang. Tapi sejak pertama kenal, saya sudah mengagumi dia. Orangnya bijak, pintar, dan bertanggung jawab."

"Aneh! Apa semudah itu orang jatuh cinta?"

"Orang tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta, bukan? Tapi, untuk melupakan kadang butuh waktu seumur hidup."

"Selamat, ya?" Ali mengulurkan tangannya.

"Makasih." Dengan senyum dibuat girang, Prilly menerima tangan Ali.

Meski hatinya perih, mungkin ini yang terbaik, pikir Prilly.

"Oh, iya. Bagaimana kabar Kak Vanya?"

"Alhamdulillah, sehat."

Suasana jadi sunyi, ponsel Ali berdering. Dia melihat panggilan masuk.

"Panjang umur, baru kita bicarakan, dia telepon."

"Angkat, Kak Ali. Cepet, kasihan loh dia menunggu," ujar Prilly sok kuat dan sok tabah.

Batin Prilly tersiksa dengan keadaan ini. Apa ini baik untuk dirinya? Mendustai hati sendiri itu sakit.

Ali langsung mengangkat telepon itu, sambil berjalan ke kamarnya, dia berbincang dengan Vanya. Prilly menatap nanar punggung Ali, dadanya nyesek. Dia cemburu!

Permainan apa ini, ya Allah. Kenapa ini terjadi? Aku masih mencintainya, tapi aku justru menciptakan permainan lain. Prilly bingung, dia kalut dan hanya bisa meratapi jalan cintanya yang rumit.

Terkadang memang kita merasa benar telah memutuskan sesuatu dalam hidup. Namun, kenyataannya tak semulus yang dibayangkan. Setelah menyadari, barulah kita merasa bodoh dengan apa yang sudah diputuskan.

***

Tumben pagi ini Ketapang gerimis. Sejak tengah malam tadi hujan lebat sampai pagi belum juga reda. Prilly sangat malas ke kantor. Juwita sudah membuatkan susu hangat untuk Prilly juga dua teh panas untuk Ali dan Teguh yang duduk santai di teras kamar kos.

"Pril, diminum dulu susunya. Itu Mama juga sudah siapin roti selainya. Buat isi perut," ujar Juwita sambil merapikan tempat tidur saat Prilly menyisir rambut di depan cermin.

"Iya, Ma. Makasih," ucap Prilly lalu duduk di kursi kayu depan meja yang sudah ada sepotong roti dan segelas susu cokelat. "Hmmm ... enak, Ma. Andai Mama setiap hari di sini," ujar Prilly setelah menggigit rotinya.

Juwita tersenyum memerhatikan Prilly yang menikmati setiap gigitan rotinya.

"Pril, Mama mau tanya sesuatu."

"Tanya apa, Ma?"

Juwita duduk di tepi ranjang, dia tersenyum manis.

"Kamu beneran sudah pacaran sama Al?"

Yang tadinya Prilly sedang mengunyah roti, tiba-tiba terhenti dan menatap Juwita. Senyum terukir di bibir Prilly.

"Iya, Ma. Aku melihat Kak Al itu dewasa, pinter, terus juga bertanggung jawab. Aku suka melihatnya saat kerja. Apalagi dia tuh rasa peduliannya tinggi. Perhatian juga. Kalau aku salah, nggak pernah marah. Orangnya sabar banget. Pernah sih dia marah, tapi dia pendam sendiri, diem aja."

Juwita melihat sorot mata Prilly berbinar saat bercerita tentang Al. Memang Prilly mengaguminya, tetapi untuk cinta, dia belum.

"Semoga langgeng, ya, sama dia," ucap Juwita ikut bahagia melihat Prilly senang bercerita tentang Al.

"Mama suka nggak sama dia?"

"Suka dong. Anaknya sopan, baik, dan dewasa. Papa juga menyukainya. Pas Ali bilang kamu pacaran sama Al, reaksi Papa sangat senang. Ternyata ... Papa itu udah mengagumi Al lama."

"Oh, iya?"

"Iya." Juwita membelai wajah Prilly.

Getaran ponsel Prilly mengusik, bergegas dia melihatnya. Panggilan dari Al masuk.

"Halo," jawab Prilly lalu menyeruput susunya.

"Kamu di mana?"

"Masih di kos."

"Punya payung nggak?"

"Hehehe, itu masalahnya dari tadi belum berangkat. Nggak ada payung."

"Oh. Ya dah, tunggu lima menit, ya?"

Panggilan diakhir Al. Sambil menunggu, Prilly merapikan make up naturalnya. Sekitar lima menit ponselnya kembali berdering. Prilly mengangkat.

"Keluar, aku dah di depan."

"Oke."

Di luar, Al bertemu Teguh dan Ali yang sedang bersantai di kursi depan kamar sambil ngeteh. Al menyalami mereka dan sedikit basa-basi sampai Prilly ke luar kamar bersama Juwita.

"Motor kamu mana?" tanya Prilly tak melihat motor Al terparkir di depan gerbang.

"Aku jalan kaki."

Senyum terukir manis menghiasi bibir Prilly, sambil manggut-manggut paham.

"Jalan yuk! Dah jam delapan lebih nih," ajak Al.

"Ayo." Prilly ingin memakai pantofelnya.

"Pakai jepit aja dulu. Hujan begini basah nanti dalamnya," ujar Al didukung Juwita yang mengangguk.

Prilly mencangking pantofelnya lalu memakai sandal jepit. Mereka berpamitan kepada Teguh, Juwita, dan Ali yang menatap Al tidak bersahabat. Al membuka payungnya di depan teras kamar Prilly. Awalnya ragu saat Prilly ingin menautkan tangannya di lengan Al. Namun, Al malah merangkulnya sampai tubuh Prilly seperti didekap. Tangan Prilly membalas merangkul pinggang Al.

"Maaf, ya, aku nggak punya mobil yang bisa melindungi kamu dari hujan. Punyanya payung," ucap Al sungkan karena tidak bisa memberikan fasilitas yang elegan.

"Al, kalau payungan, kan kalian bisa rangkul-rangkulan. Kalau mobil, mana bisa?" celetuk Juwita sukses membuat Al dan Prilly tersipu malu.

"Ih, Mama ... nguping," tegur Teguh.

Sebenarnya Ali tidak suka melihat situasi ini. Apa boleh buat, mau tak mau dia harus menyaksikannya. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk bersikap biasa aja.

"Kalau gitu kami berangkat dulu, Pak, Tan, Li," pamit Al tersenyum ramah pada mereka. Dia juga melempar senyum pada Ali, tetapi balasan Ali malah memalingkan wajah.

"Hati-hati kalian," ujar Juwita senang melihat mereka terlihat baik-baik saja.

Akhirnya mereka pun berjalan saling merangkul. Sambil berbincang kecil. Ali yang menatap mereka pergi seperti tak rela. Hatinya sakit sekali.

#######

Hubungan yang diawalai dengan 'jalani aja dulu' ada yang pernah ngalami? Hehehehe. Dulu aku pernah begitu, dari 'jalani aja dulu' akhirnya berjodoh😅🙈😁.

Banyuwangi, 13 April 2020
Pukul : 09.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top