Cincin Mas

Napasnya tersengal-sengal, wajahnya banjir air mata. Tak peduli kakinya telanjang, Prilly mencari ruang operasi. Semua tegang, orang tua Al maupun Prilly.

Sampai di depan ruang operasi yang dijaga polisi, Prilly berhenti. Dia mengatur napasnya.

"Pak ... Kak Al ..."

"Prilly, sabar dulu." Sebelum Prilly bertanya, Teguh menyela dan memegang lengan Prilly.

"Keluarga korban, ya?" tanya polisi memastikan.

"Iya, saya ayahnya." Dodi mendekati komandan polisi itu.

Polisi itu pun menjelaskan runtutan kejadiannya. Prilly yang mendengar shock, lehernya seperti tercekam, sangat sulit bernapas.

"Jadi, orang ini yang nyetir truk?" Prilly menuding seorang pria gemuk, perut buncit, dekil, rambut keriting, tersampir handuk kecil di lehernya.

"Prilly, sabar, Sayang. Sabaaaar." Margaret berusaha menenangkan Prilly. Dia mengelus lengannya lembut.

Tak menggubris ucapan Margaret, Prilly dengan langkah tak sabar menghampiri orang itu dan menampar keras pipinya. Matanya melotot sambil menuding, dia berucap, "Saya nggak akan lepaskan Anda! Hukum harus ditegakkan!"

"Prilly, sudah, sudah!" Teguh memeluk Prilly yang memberontak.

"Maafin, Mbak. Saya tidak sengaja." Sopir itu menangis, apalagi melihat keadaan Prilly yang tampak hancur dan sangat kecewa.

Saat itu sopir truk mengemudi dengan kecepatan tinggi, berharap dapat melewati lampu yang sebenarnya sudah kuning. Naas, lampu berubah hijau kebetulan mobil yang Al kendari maju pertama. Truk menghantam mobil Al hingga ringsek bagian samping kemudi. Sedangkan Al terpental keluar dari mobil.

"Saya nggak akan bisa maafin Anda!" Prilly menunjuk-nunjuk, dia tak peduli menjadi pusat perhatian banyak orang. Sekuat tenaga Teguh memeluk Prilly agar tidak menyakiti orang lagi.

"Sabar, Sayang. Sabaaaaar." Margaret pun menangis, dia memeluk Prilly.

"Pril, kamu harus tenang dulu. Tenaaaaang, Sayang, ya?" Juwita mengelus dada Prilly supaya bisa tenang.

"Ma, aku nggak bisa tenang. Kak Al di dalam operasi. Mama nggak tahu perasaanku sekarang. Aku takut, Ma." Prilly menangis sambil menunjuk dada dan meluapkan amarahnya.

Juwita menunduk, dia menangis. Merasa bersalah sudah membuat mamanya menangis, Prilly semakin sedih. Dia menyandarkan tubuhnya di tembok, perlahan merosot sampai duduk di lantai sambil sesenggukan.

Dodi dan Teguh mengurus sopir truk itu ke kantor polisi. Juwita, Margaret, Loli, dan Prilly menunggu di depan ruang operasi. Loli menemani Prilly duduk di lantai, dia menyandarkan kepalanya di bahu Prilly.

"Kakak jangan nangis terus," ucap Loli menghapus air mata Prilly dengan tangannya.

Rasanya air mata Prilly tak bisa berhenti mengalir. Dia berusaha tersenyum dan mengelus pipi Loli.

"Makasih, ya?" ucap Prilly mendekap Loli.

Margaret dan Juwita yang duduk di kursi saling memberi dukungan. Juwita menggenggam tangan Margaret erat, seolah dari itu dia ingin mengatakan akan selalu menemaninya.

Sampai Dodi dan Teguh kembali, operasi tak kunjung selesai. Semua gelisah menunggu pintu operasi dibuka.

Tengah malam akhirnya pintu operasi terbuka. Prilly langsung beranjak dan menghampiri seseorang yang pertama keluar.

"Sus, bagaimana?" tanya Prilly tak sabar.

Semua mendekat dengan wajah tegang.

"Maaf, bertanya sama dokter saja nanti, ya? Tunggu sebentar, Beliau sedang bersih-bersih."

"Baik, terima kasih, Sus," ucap Dodi yang juga tegang menunggu kabar putranya.

Pintu ruang operasi ditutup lagi, suster yang tadi pergi. Lainnya kembali duduk, Prilly menunggu di depan pintu sambil mondar-mandir. Hingga pintu kembali terbuka, seorang pria separuh baya, berkacamata, dan mengenakan jas putih keluar.

"Dok, bagaimana keadaan ..."

Belum juga Prilly selesai bicara, dokter itu langsung memegang lengannya.

"Sabar, kita tunggu dia sadar, ya? Kami sudah berusaha, ada pecahan kaca yang menancap di dada dan kepalanya. Kami sudah sangat hati-hati mengangkatnya," jelas dokter itu. "Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU, sampai siuman." Lalu dia pergi.

Tak berapa lama pintu operasi terbuka lebar. Brankar didorong dua pria berseragam putih didampingi satu suster. Di atas brankar, Al tak berdaya. Kepalanya terbalut perban. Mereka mengikuti ke mana Al dibawa. Prilly selalu berada di samping brankar Al.

Sampai di ruang ICU, mereka berhenti. Suster berkata, "Maaf, sementara jangan ada yang masuk sampai pasien sadar."

Lalu suster itu menutup pintu ruang ICU. Dari kaca tebal, mereka melihat Al dipasangi alat. Prilly menunggu sambil menyandarkan kepala di kaca, selalu melihat ke arah Al. Berharap dia yang pertama melihat Al sadar.

"Pril, sini, duduk. Jangan berdiri di situ. Kamu nggak cape berdiri terus?" Teguh menepuk kursi sampingnya.

Apa boleh buat, kakinya terasa pegal sedari tadi berdiri. Prilly pun duduk di sebelah Teguh, dia menyandarkan kepalanya di bahu.

"Ini seperti mimpi. Kemarin aku merasa sangat bahagia, kenapa sekarang jadi begini, Pa?" lirih Prilly menyayat hati mereka yang mendengar.

Tak ada yang menjawab, Teguh memeluknya dan mencium pucuk kepala Prilly. "Sabar, pasti kita bisa melewati ini," ujar Teguh.

Matahari sudah terbit, tak sedikit pun mereka meninggalkan ruang ICU. Pintu ICU terbuka, mereka semua berdiri.

"Pasien sudah siuman. Tapi, tolong jangan berisik dan masuk teratur," ucap suster itu lalu membuka pintunya.

Prilly yang lebih dulu masuk. Tak sabar ingin segera melihat Al. Margaret di belakang Prilly dan yang lain mengikuti. Al masih lemas, dia berusaha tersenyum kepada Prilly.

"Hai," sapa Al pelan saat melihat Prilly berdiri di sampingnya sambil mengulum bibir menahan tangis.

"Bun ...." Al mencari Margaret.

"Iya, Sayang. Bunda di sini." Margaret menggapai tangan Al dan berdiri di samping Prilly.

"Cincin ...."

"Ada sama Bunda, tenang saja."

"Mana?"

Segera Margaret mengambilnya di tas. Dia serahkan kepada Al.

"Sini." Al menggapai tangan Prilly agar lebih dekat dengannya.

Di atas dadanya yang terlilit perban, Al membuka kotak cincin. Dia ambil cincin itu lalu dipasangkan ke jari manis Prilly. Semua tersenyum melihatnya, sedangkan Prilly malah semakin terisak sambil mendekap mulutnya. Al mencium tangan Prilly yang sudah melingkar indah cincin tanda ikatan mereka.

"Kita ... res-mi ..."

Prilly menutup mulut Al agar tidak melanjutkan bicaranya. Dia tak tega karena Al tampak kesulitan berbicara. Napasnya tersengal-sengal.

"Apa kamu sudah mencintaiku?" tanya Prilly berbisik di telinga Al.

"Sangat."

"Kenapa kamu tidak pernah bilang cinta sama aku?"

Bibir Al tersenyum kecil, lalu dia berkata lirih, "I love you more."

Prilly tersenyum, meski air matanya terus mengalir, dia bahagia Al mengungkapkan perasaannya. Ini kali pertama Al mengucap cinta padanya.

"I love you too. Aku juga sudah mencintaimu."

Berusaha Al menarik kepala Prilly pelan agar wajahnya berada tepat di depan wajah Al.

"Aku ... se-la-lu a-da ...." Al menarik tengkuk Prilly. Dia menempelkan bibirnya dengan Prilly.

Air mata Prilly semakin menetes deras, rasa takut menjalar ke sekujur tubuh. Al memagut bibirnya dan dibalas Prilly. Orang tua mereka menangis, apalagi Margaret dan Juwita, isakannya sampai terdengar. Perlahan Al melepas bibir Prilly, dia tersenyum kecil.

"Aku mau peluk kamu terus," ucap Prilly.

Al mengangguk, Prilly menempelkan kepalanya di perut Al karena dadanya yang terluka. Tangan Al memegang kepala Prilly.

Mata Al terpejam, dia menarik napas panjang. Melihat kondisi putranya begitu, Dodi mendekat. Dia berbisik kepada Al. Air mata Prilly deras dan semakin erat dia memeluk perut Al.

"Jangan ... please ... aku nggak mau sendiri. Please, Sayang ...."

***

Remang, di ruangan itu banyak kenangan yang ditinggalkan. Dua bulan kepergian Al, tak berarti menghapus kesedihan Prilly. Cincin pertunangan masih melingkar indah di jari manisnya. Tempat tinggalnya sekarang adalah rumah yang Al kontrak. Masa kontrak rumah Al masih panjang, sekitar enam bulan lagi baru selesai.

Kebetulan jabatan asisten SDM kosong di kantor cabang ASDP Ketapang karena Agus menggantikan posisi Al. Sekitar satu bulan Agus menunggu jawaban Prilly saat dia menawari untuk menggantikan posisinya, menjadi asisten SDM.

Setelah berpikir lama, akhirnya Prilly menerima. Hitung-hitung mencari pengalaman. Di sinilah dia sekarang.

"Apa kalian sudah bertemu di sana?"

Prilly berbicara sendiri saat melihat foto Al dan Arumi dalam figura yang dia temukan di lemari pakaian Al.


"Aku cemburu, kalian bikin aku iri." Prilly menangis, tak disangka hatinya akan merasa hancur begini. Lebih parah saat mengetahui Ali sudah memiliki kekasih.

"Sayang, aku cemburu lihat kamu sama Arumi." Prilly semakin terisak.

Kepalanya pusing, dia berbaring di tempat tidur yang dulu pernah dia tempati saat Al masih ada. Dia memeluk foto Al bersama Arumi, sambil tersedu-sedu Prilly memejamkan mata. Dia tak peduli Teguh dan Juwita di luar kamar mengeluarkan bawaannya dari Jakarta. Mulai besok dia akan bekerja sebagai asistennya Agus.

***

"Pril, Papa mau balik ke Jakarta. Sementara Mama yang akan menemani kamu di sini," ujar Teguh saat mereka sarapan di meja depan televisi.

Tak ada jawaban, Prilly melamun mengingat saat dulu Al membukakan bungkus nasi untuknya. Baru terasa setelah Al pergi, ternyata cintanya kepada Al lebih besar daripada pada cintanya pada Ali. Tiba-tiba bibirnya bergetar, pandangannya kabur, lalu air matanya menetes.

"Sayang." Juwita mengelus punggungnya.

"Aku nggak apa-apa, Ma." Cepat-cepat Prilly menghapus air matanya.

Teguh dan Juwita saling pandang, mereka harus berbuat apa untuk mengembalikan keceriaan Prilly seperti dulu lagi?

"Pril," panggil Teguh lalu Prilly mendongak. "Papa nanti sore balik ke Jakarta. Mama di sini beberapa saat, nggak apa-apa, kan?" ujar Teguh mengulang perkataannya tadi.

"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Prilly tersenyum lalu senyum itu kembali pudar.

"Mmm ... terus kamu ke kantor gimana?" tanya Teguh lagi, berusaha terus mengajak Prilly berkomunikasi agar pikirannya tidak kosong.

"Bisa naik ojek online. Aku nggak bisa naik motornya Kak Al. Terlalu tinggi."

Keluarga Al sengaja tidak mengurus semua barang yang Al tinggalkan di kontrakan. Biar itu menjadi milik Prilly, pikir mereka. Hubungan keluarga Al dan keluarga Prilly sekarang sangat akrab, sudah seperti saudara sendiri.

"Ya dah, sementara kamu pergi kerja, Mama akan rapikan rumah ini dan tata ulang, ya?"

Niat Juwita baik, mungkin dengan tatanan baru, Prilly tak selalu terbayang kejadian bersama Al di setiap sudut rumah itu.

"Nggak usah, Ma. Biar begini aja. Aku nyaman kok. Mama istirahat saja." Prilly mengusap lengan Juwita. "Maaf, ya, Ma. Aku nggak habis," sesal Prilly sarapan yang dibuat Juwita tak habis.

Padahal hanya roti tawar, tengahnya kasih telur ceplok, saus tomat, dan sayur slada. Begitu saja Prilly tidak habis. Pantas saja sekarang tubuhnya kurus. Nafsu makannya sangat menurun setelah kepergian Al.

"Nggak apa-apa, Sayang. Tapi di kantor nanti jangan lupa makan, ya?" Juwita memahami kondisi Prilly. Dia juga tak mau memaksa, takutnya malah menambah beban pikiran Prilly.

"Ya dah, Ma, Pa. Aku siap-siap dulu."

"Iya, Sayang." Juwita mengelus kepala Prilly.

Lalu Prilly masuk kamar dan bersiap ke kantor.

Pertama masuk kantor, dia berusaha tersenyum dan menutupi luka hatinya. Orang pertama yang menyambutnya Hana. Dia berdiri di balik meja resepsionis.

"Are you okay?" tanya Hanya mengulum bibir menahan air mata agar tidak jatuh.

Bibir Prilly bergetar, dia mendongak menatap atas supaya air matanya tidak jatuh. Hana pun menghampiri Prilly yang masih berdiri di depan pintu lalu memeluknya.

"It's okay, girl. We're sorry. Kami juga sangat kehilangan dia."

Bibir Prilly kelu, dia melepas pelukan Hana lalu menghapus air matanya.

"Saya nggak apa-apa," ucap Prilly mencoba kembali tersenyum. "Mmm ... Pak Agus sudah datang?" tanya Prilly mengalihkan pembicaraan.

"Sudah kok. Masuk aja."

"Makasih."

Prilly pun ke ruang SDM. Sampai di depan pintu yang terbuka lebar, lagi-lagi semua kenangan bersama Al di ruang itu berputar.

Tuk tuk tuk

Pintu terketuk. Agus yang duduk di kursi lamanya mendongak.

"Hei, akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk," ucap Agus tanpa berdiri.

Menginjakkan kaki di ruang yang begitu banyak kenangan bersama Al, rasanya sekujur tubuhnya merinding. Dengan mantap Prilly masuk lalu duduk di depan meja kerja Agus.

"Pak Agus, pertama masuk, apa yang saya kerjakan?

"Kamu duduk di sana, ya?" ujar Agus menunjuk meja kerja Al.

"Loh, kan Pak Agus SDM-nya. Saya asistennya. Kok saya yang duduk di sana."

"Nggak masalah, Pril. Saya sudah nyaman dengan meja, kursi, dan komputer ini. Yang penting bukan meja dan kursinya, kan? Datanya! Saya sudah pindah ke komputer sini," jelas Agus dengan senyum mengembang.

"Iya, Pak."

"Ya sudah, ayo kerja. Ngapain kamu duduk sini?"

"Jadi sungkan saya, Pak."

"Halah, seperti biasa saja."

"Baik, Pak."

Prilly pun pindah ke tempat yang dulu Al duduki. Ada figura kecil di meja itu. Kali ini bukan foto Al dan Arumi, tetapi fotonya dan Al.

Bibir Prilly tertarik senyuman manis. Dia ingat, ini Agus yang mengambil. Saat itu mereka sedang makan malam di kafe, Prilly merayu Al supaya tidak ngambek. Lalu begitulah hasilnya.

"Jangan dipelototin terus. Saya tidak pernah menggeser sedikit pun barang-barang di situ. Masih asli tatanan Pak Al."

Perasaan Prilly senang, ternyata selama ini Al juga benar-benar sudah mencintainya. Usaha mereka saling belajar mencintai tidak sia-sia.

"Pril, tolong nyalain komputernya," titah Agus dari tempat duduknya.

"Baik, Pak." Segera Prilly menyalakan.

Terpampang wajah cantiknya di layar komputer itu yang digunakan Al sebagai wallpaper.

"Pril, tolong cari file presensi bulan ini. Terus kamu bantu saya rekap, ya?" lanjut Agus memberi tugas pertama.

"Baik, Pak."

Akhirnya mereka pun bekerja sama merekap presrnsi ABK sampai karyawan untuk gajian bulan ini.

Tak ada yang kekal dalam dunia ini. Pada akhirnya akan selalu ada batas dalam perjalanan dan perpisahan dalam pertemuan.

######

Bahagia kan, yang pengin Al pergi dan Prilly balik sama Ali. Oke, tak turuti. Yang penting kalian happy. Saya yang sedih, karena selalu Al yang berkorban.

Banyuwangi, 22 April 2020
Pukul : 08.42 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top