Bujuk Rayu
Pesan Ali sengaja tidak Prilly buka. Hatinya masih sakit, air mata pun rasanya tak dapat kering, setiap mengingat Ali, air matanya meleleh begitu saja. Sembap di matanya menggambarkan situasi hati Prilly yang saat ini masih berantakan.
"Pril, sarapan yuk!" Juwita mengetuk pintu kamar Prilly.
"Iya, Ma."
Prilly keluar dengan wajah sayu dan kedua kantung mata tampak berisi akibat terus-meneru menangis.
"Kamu kenapa sih, setiap pagi kantung matanya berat gitu?" tegur Juwita sengaja memancing pembicaraan agar Prilly mau bercerita padanya.
Prilly menatap Juwita sendu, air matanya lagi-lagi mengalir. Tak tahan ingin menangis, lantas dia pun memeluk Juwita dan menumpahkan air matanya.
"Menangislah sepuasmu kalau memang itu bisa melegakan hati. Tapi setelah itu kamu harus bangkit! Kamu nggak boleh kalah dengan keadaan. Mama yakin, kamu wanita tangguh." Juwita membalas pelukan Prilly dan mengelus-elus rambutnya penuh kasih sayang.
Tangis Prilly sampai terisak-isak, baju Juwita terasa basah. Namun, dia tidak peduli, yang penting hati putrinya lega.
"Mama, apa aku salah jatuh cinta kepada orang yang ternyata sudah punya pacar?" tanya Prilly di tengah isakannya.
"Jangan salahkan cinta dan perasaan, Sayang. Hati tidak bisa diatur, logika mungkin masih bisa kita permainkan. Namun, hati sekali merasa, ia tak memandang kepada siapa jatuh cinta."
"Ma, sakit hatiku mengetahui Kak Ali ternyata sudah punya pacar. Aku salah mengartikan sikapnya selama ini padaku. Aku terbawa perasaan, Ma. Sekarang aku yang sakit hati sendiri. Ternyata perhatinnya kepadaku cuma sebatas kakak." Prilly semakin erat memeluk Juwita.
Senyum tipis tersungging di bibir Juwita. Akhirnya kejujuran terlontar langsung dari bibir Prilly. Ini yang Juwita nantikan, kejujuran Prilly!
"Kamu yakin kalau sikap Kak Ali selama ini kepadamu sekadar sebagai kakak?"
Pertanyaan Juwita membuat Prilly ragu. Dia melepas pelukannya lalu menatap wajah Juwita yang masih terlihat cantik meski sudah kepala empat apalagi dipoles make up natural dan bibirnya tersenyum tipis, raut yang sedikit menenangkan hati Prilly.
"Entah, Ma." Prilly menggeleng.
Juwita menyeka air mata Prilly, dia merangkul putrinya itu menuruni tangga. Sambil menasihati, "Tanpa disadari, kadang kita akan secara alami memerhatikan semua tingkah seseorang yang kita cintai. Kita akan melakukan apa pun agar dia bahagia. Perhatian teman, sahabat, dan orang yang mencintai kita itu berbeda-beda."
"Menurut Mama, apakah perhatian Kak Ali selama ini kepadaku sekadar sebagai kakak?"
Sambil di tangga terakhir mereka berhenti, Juwita menoleh Prilly sambil tersenyum tipis dan menyisihkan rambut putrinya ke belakang telinga.
"Mama merasa ada yang berbeda." Hanya itu yang Juwita jawab, itu sudah cukup menenangkan hati Prilly.
Mereka ke ruang makan, tak ada siapa pun. Namun, sarapan sudah di meja makan.
"Papa mana, Ma?" tanya Prilly menarik kursi lalu duduk. Dia terlalu hanyut dalam kesedihan, sampai tak bertemu Teguh, padahal mereka satu atap.
"Papa ke Surabaya. Berangkat tadi pagi," jawab Juwita mengambilkan nasi untuk Prilly.
"Kok nggak pamitan sama aku sih."
"Kamu masih tidur, Sayang. Jadwal penerbangan Papa pukul tiga."
"Berapa lama, Ma?"
"Mungkin tiga atau empat hari."
"Yaaaah, aku dah balik ke asrama." Prilly cemberut.
"Sudah, kamu makan dulu."
Mereka pun menyantap sarapan sambil mengobrol. Selesai makan, Prilly ke kamarnya. Dia bingung akan melakukan apa selama tiga hari sebelum balik ke asrama.
Dia pun kembali berbaring mengecek notifikasi di ponselnya. Lagi-lagi pesan dari Ali. Karena gerah, akhirnya pesan itu Prilly buka dan baca satu per satu dari pesan awal yang Prilly belum baca.
Pril, sudah sampai Indonesia?
Prilly, kenapa nggak jawab?"
Kamu ngambek?
Pril, jangan bikin hati saya semakin gelisah. Tolong jawab.
Keempat chat itu dikirim dengan jarak waktu sekitar lima menitan. Itupun dikirim setelah Prilly sampai di Indonesia.
Prilly, saya mau bicara sesuatu. Penting.
Selisih lima jam kemudian di hari yang sama, Ali kembali mengirim pesan.
Kamu boleh marah sama saya. Tapi tolong dengarkan penjelasan saya.
Sepuluh menit kemudia pesan ditulis lagi.
Saya yang salah tidak jujur sama kamu sejak awal. Tapi saya punya alasan. Tolong dengarkan alasan saya.
Memang saya sama Vanya sudah pacaran lama, sejak kami masih SMA. Tapi, setelah kami berjauhan dan kami jarang sekali berkomunikasi, rasa itu seperti luntur dari hati saya. Bukan berarti saya tidak setia, tapi saya merasa hubungan kami semakin lama menggantung dan tidak ada tujuan pasti dengannya.
Prilly, tolong balas. Saya risau memikirkan kamu.
Masihkah ada kesempatan saya untuk menjelaskan sesuatu?
Tolong, jangan siksa perasaan saya begini, Pril. Saya kebingungan!"
Setelah membaca semua pesan Ali, hati Prilly mendorongnya untuk memberikan waktu untuk Ali menjelaskan. Mungkin ini akan bisa membuat hatinya lega. Mengetahui cerita asli dari orang yang menjalaninya. Mengonfirmasi sesuatu bukankah lebih baik langsung dari orang yang bersangkutan?
Kalau sudah ada waktu, silakan telepon, Kak.
Ini sikap dewasa Prilly, memberikan kesempatan Ali untuk berbicara agar semua jelas. Meski hatinya masih terluka dan dia harus menyiapkan hati jika kenyataan yang diterima lebih menyakitkan daripada saat ini.
***
Prilly menunggu, hingga menjelang Magrib ada panggilan masuk. Prilly yang tadinya ingin wudu urung, dia lebih dulu melihat siapa yang meneleponnya. Nama 'Kak Ali' yang tertera di layar. Sengaja Prilly mengabaikannya dulu, dia mementingkan ibadah. Tak lupa dia mengganti mode diam agar salatnya tak terganggu.
Ali yang di sana risau karena panggilannya dari tadi tidak ada jawaban. Dia terus menghubungi Prilly.
Selesai salat dan berdoa, Prilly melipat mukenanya. Setelah menyimpan di laci, Prilly melihat ponselnya sudah ada lebih 10 kali panggilan tak terjawab. Dia menarik napas dalam sebelum mengirim pesan kepada Ali.
Kak Ali, maaf tadi saya sedang salat. Sekarang sudah selesai. Silakan kalau mau telepon.
Selisih tiga menitan panggilan dari Ali masuk. Sebenarnya Prilly belum siap berbicara dengan Ali, dia masih sakit hati. Prilly lebih dulu menata hati dan suaranya agar terdengar biasa saja.
"Halo," sapa Prilly dengan nada suara santai, padahal dalam hatinya berkecamuk.
"Assalamualaikum." Suara Ali di seberang sana menyayat hati Prilly.
Air mata Prilly tiba-tiba menetes. Namun, dia tetap berusaha tenang agar suaranya terdengar normal.
"Waalaikumsalam. Mau bicara apa, Kak Ali?" Prilly tidak ingin berlama-lama menyiksa batinnya.
"Kamu marah?"
"Kenapa saya harus marah?"
"Karena aku merahasiakan Vanya dari kamu."
"Itu privasi Kak Ali dan saya rasa ... itu bukan urusan saya."
"Kenapa kamu tidak membuka pesan saya?"
"Maaf, Kak. Saya tidak tahu."
"Bohong! Kamu menghindar?"
"Kenapa saya menghindari Kak Ali?"
"Karena kamu kecewa sama saya."
Ali seperti memiliki ikatan batin dengan Prilly, dia seolah tahu semua jawabannya. Padahal Prilly tak menjawab pertanyaan Ali. Prilly terdiam, dia menahan isakannya.
"Perasaan saya sama Vanya pudar sejak saya menyadari sesuatu."
Prilly menahan sesak di dadanya, dia pun menahan agar suara tangisnya tidak pecah. Air mata membanjiri pipi, Prilly diam mendengar penjelasan Ali.
Ali menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan. "Pril, kamu sadar nggak, jika selama ini perhatian yang saya berikan ke kamu ternyata lebih dari seorang kakak kepada adiknya. Saya cemburu jika melihat kamu berdekatan dengan pria lain bahkan saat kamu mengobrol dengan teman priamu."
Beberapa detik Ali diam, dia tidak mendengar Prilly menyahut. Namun, Ali yakin Prilly masih mendengarkannya.
"Memang aneh, tapi begitulah yang saya rasakan. Saya mau jujur sama kamu ...." Sengaja Ali menjeda, dia menarik napas panjang lalu melanjutkan, "Saya jatuh cinta sama kamu."
Deg!
Jantung Prilly seketika seperti jatuh dari tempatnya. Haruskah dia bahagia? Namun, keadaannya sulit untuk dia menerima Ali. Tangis Prilly pecah, tetapi dia membekap mulutnya.
"Pril, kamu masih di sana, kan?"
"Ehem." Dehaman sebagai tanda jika Prilly masih mendengarkan Ali.
"Apa saya salah jatuh cinta sama kamu?"
"Bagaimana dengan Kak Vanya?" tanya Prilly dengan suara parau.
Ali yang mendengar terkejut. "Kamu menangis?"
"Tolong Kak Ali, lupakan perasaan itu."
"Kenapa? Apa saya salah?"
"Tidak, perasaan Kakak tidak salah. Tapi keadaannya yang tidak tepat. Kakak sudah ada Kak Vanya."
"Oke, saya tahu itu. Sekarang saya tanya kamu, apa kamu juga mencintai saya?"
"Tidak!" sahut Prilly lantang, tetapi sambil menangis tersedu-sedu. "Saya tidak punya perasaan apa pun kepada Kak Ali."
"Terus kenapa kamu menangis?"
Terdiam, Prilly tak dapat memberikan alasan.
"Kalau kamu diam, saya anggap itu berarti benar."
"Tidak, Kak." Prilly menangis hingga sesak napas. "Saya tidak mencintai Kak Ali. Jangan paksa saya hadir di atara kalian."
"Lebih dulu kamu yang hadir, salahnya, saya baru menyadarinya sekarang."
"Kak Ali, cukup! Jangan teruskan. Yang harus Kak Ali lakukan sekarang, fokus menyusun masa depan dengan Kak Vanya. Lupakan tentang saya dan apa pun yang pernah kita lewati bersama. Bahagiakan Kak Vanya."
"Saya bisa saja membahagiakan Vanya, tapi bagaimana dengan diri saya sendiri? Saya bahagia saat bersama kamu."
"Itu tidak mungkin, Kak Ali. Tidak!"
"Kenapa tidak? Tunggu saya, Prilly. Saya akan selesaikan masalah ini dengan Vanya."
Tidak tahan mendengar semua yang Ali katakan, Prilly menutup teleponnya sepihak. Lantas dia matikan ponselnya agar Ali tidak bisa menghubunginya. Prilly menangis sejadi-jadinya, dia menghempaskan tubuhnya di ranjang.
"Ya Allah, mengapa Engkau uji hati hamba hingga merasa sakit seperti ini?" pekik Prilly di tengah isakannya.
Dia memeluk guling sangat erat, menumpahkan segala rasa yang bergelut di hatinya.
#####
Segala ujian pasti ada jalan keluar.
Banyuwangi, 22 Februari 2020
Pukul : 23.43 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top