Berjuan Tanpa Henti

Sejak Ali mengetahui dari Lesti bahwa Al sudah meninggal, dia gencar mendekati Prilly lagi. Satu tahun Ali berusaha mendekati. Namun, sikap Prilly masih saja dingin. Kadang malah chat-nya diabaikan.

Selama itupun banyak perubahan. Pandemi menghantam Indonesia. Corona, virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Banyak negara di tahun 2020 ini kalang kabut menghadapi pandemi itu. Negara maju seperti Amerika saja perekonomiannya sampai lemah. Karena mencegah virus agar tidak menyebar dan menanggulangi banyak korban, pemerintahan mengimbau lock down di beberapa daerah yang sudah ada korban, positif corona.

Sore sebelum melakukan kegiatan bongkar, Ali meluangkan waktu menelepon Lesti.

"Ma, kalau aku mau menikah, boleh?" ucap Ali dari ujung telepon.

"Menikah? Sama siapa?" tanya Lesti heran karena setelah putus dengan Vanya, Ali belum pernah lagi mengenalkan wanita sebagai kekasihnya.

"Mama sudah kenal sama dia."

"Siapa sih, Li? Kok tiba-tiba? Kamu enggak melakukan hal yang bikin malu keluarga, kan, Li?"

"Astogfirulloh, enggak dong, Ma. Ini murni keinginanku. Tapi, entahlah dengannya."

"Loh, kamu yang pengin nikah, tapi kok dia ...."

"Itu masalahnya, Ma. Sekarang susah sekali mendekati wanita ini. Hatinya sekeras batu. Sangat sulit diluluhkan."

"Siapa sih, Li?"

"Prilly."

Lesti terkejut. "Kamu yakin?"

"Insyaallah, aku yakin, Ma. Hatiku sudah mantap."

"Kalau begitu, coba nanti Mama ngajak Papa ke rumah Om Teguh buat membicarakan ini, ya?"

"Beneran, Ma?" terdengar kebahagiaan dari suara Ali.

"Iya. Mama akan usahakan secepatnya."

"Makasih, Ma."

"Sama-sama, anakku. Ya sudah, Mama mau masakin Papa dulu, keburu dia pulang belum ada apa-apa, kasihan."

"Iya, Ma. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah panggilannya ditutup, Ali pun segera melanjutkan aktivitasnya. Dia menjabat sebagai mualim I di kapal migas milik pertamina. Chief officer atau chief sapaan singkatnya, bertugas pengatur muatan, persediaan air tawar dan sebagai pengatur arah navigasi.

Dia menyusun rencana, sesuai jadwal, kapal yang Ali manuver dalam minggu ini akan mengirim barang ke pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi.

Sambil berjalan di lorong, Ali senyam-senyum menatap ponsel. Prilly membalas chat-nya.

Insyaallah, Kak Ali. Kalau saya ada waktu, ya?

Diusahakan dong, Pril.

Iya, Kak Ali. Kapan sampai Tanjung Wangi?

Insyaallah kalau jadwal tidak molor, besok Sabtu sampai. Minggu kemungkinan sandar. Minggu malam, ya, kita makan bareng.

Iya, Kak. Mau makan di mana?

Terserah kamu.

Sun Osing aja, ya? Yang enggak jauh dari pelabuhan.

Boleh. Sampai jumpa, Prilly.

Iya, Kak.

Hati Ali seperti bertaburan bunga-bunga mekar. Bahagia sekali dia hari ini. Padahal cuma pesannya yang dibalas Prilly, belum juga mereka bertemu.

"Hai, Chief, kayaknya lagi happy nih?" tanya Gilang, mualim II di kapal itu, datang dari belakang dan langsung merangkul Ali.

Sebagai second officer atau disapa singkat second, Gilang bertugas membuat jalur atau route peta pelayaran yang akan dilakukan dan pengatur arah navigasi.

"Iya, Cond. Alhamdulillah."

"Kenapa? Cerita-cerita dong?"

"Ah, enggak apa-apa."

Ali bukan tipe orang yang suka menceritakan urusan pribadinya kepada orang lain. Dia cukup menjaga privasinya.

"Ya sudah, ayo kita bongkaran." Gilang merangkul Ali ke bawah, car deck.

***

Minggu malam pun tiba, seperti yang sudah direncanakan. Malam ini Ali ber
kencan dengan Prilly, bertemu di Sun Osing. Restoran yang memiliki view langsung ke laut. Malam hari saja tampak indah, apalagi siang?

Ali lebih dulu sampai, dia mencari tempat duduk yang nyaman. Ali memilih di balkon luar, yang langsung bisa melihat hamparan air laut dan pemandangan bukit-bukit.

Ali sedikit gugup, tak sabar ingin melihat Prilly. Wajar saja, karena mereka sudah lama tak bertemu.

Saat matanya mengamati tempat itu, Ali menangkap kedatangan wanita yang sudah dari tadi dia tunggu. Semua tampak berbeda, Prilly sekarang berpenampilan lebih dewasa dan elegan. Walaupun hanya memakai celana jeans panjang, kaus, sweter, dan pemanis tas kecil yang dicangklong.

Rambutnya yang sudah panjang digerai, ujungnya bergelombang. Berbeda dengan Prilly yang dulu. Mungkin memang dituntut selalu berpenampilan rapi karena sebagai SDM dia rutin bertemu klien.

"Maaf, Kak Ali nungguin lama, ya?" ucap Prilly menarik kursi di depan Ali lalu duduk meletakkan tas kecilnya, cukup untuk ponsel dan dompet kecil, di meja.

"Enggak kok. Santai aja. Kamu mau pesan apa?" tanya Ali sedikit gugup, detak jantungnya tak terkontrol.

"Cokelat panas saja, Kak."

"Makannya?"

"Enggak usaha, Kak. Saya sudah makan sama Pak Agus, tadi pulang kerja."

"Masa sih enggak makan?"

"Ya sudah, saya pesan kentang goreng aja."

Segera Ali memanggil pelayan
restoran dan memesan. Sambil menunggu, mereka mengobrol.

"Anginnya agak kenceng, ya?" ucap Ali basa-basi membuka obrolan sambil menggosok tangan, menutupi kegugupannya.

"Iya, Kak. Lumayan. Tapi enak di sini, suasananya sepi, damai, apalagi denger ombak, bikin hati tentram."

"Sering ke sini, ya?"

"Enggak juga sih, Kak. Kalau lagi pengin keluar aja. Biasanya emang kalau diajak teman-teman kantor, ngumpul ke sini."

"Kamu kayaknya sibuk banget sih? Chat aja sampai dua hari baru dibaca."

"Hehehehe, iya, Kak Ali. Lumayan, sekarang masa pengalihan soalnya."

"Pengalihan apa?"

"Sekarang penyeberangan kapal harus beli tiket online. Banyak yang saya kerjakan, Kak. Apalagi, kan, sedang pandemi. New normal bikin banyak perubahan, sistem kerja juga baru. Apalagi saya sebagai SDM harus mengurus karyawan dan ABK agar tetap sehat, mengawasi perkembangan pendapatan perusahaan cabang. Yaaa, gitulah, Kak Ali."

"Pantas saja, sekarang kamu kurus, ya?" ujar Ali disusul senyum manisnya.

"Masa sih? Saya kok enggak nyadar."

"Sesibuk apa pun kerjaan kita, usahakan makan. Kamu ngurusi kesehatan orang lain, tapi sama kesehatan sendiri mengabaikan. Sama aja bohong."

"Padahal saya makan teratur loh. Soalnya atasan saya suka jajan dan suka makan. Setiap diajak ngurus sesuatu di luar, pasti mampir makan."

"Oh, iya? Apa kamu diet?"

Prilly tersenyum, lalu menjawab, "Enggak juga sih, Kak. Cuma mau mengurangi porsi makan aja. Mengatur pola makan yang sehat. Soalnya saya kan pendek, kalau badan agak berisi kelihatan kayak kue bantat, hehehe."

"Ah, kamu bisa aja. Kalau terlalu kurus juga enggak bagus."

Pesanan mereka datang. Setelah pelayan menurunkan ke meja, dia lantas pergi.

"Yakin kamu enggak makan?" tanya Ali sedikit sungkan karena dia memesan makanan berat, tetapi Prilly hanya pesan camilan.

"Iya, Kak Ali. Ini saja sudah cukup. Silakan kalau Kak Ali mau makan."

Karena menghargai Ali yang sedang menyantap makanannya, Prilly beranjak lalu berdiri di pembatas besi hitam. Wajahnya diterpa angin yang berembus, rambutnya yang tergerai seperti ikut terbawa angin. Sambil menatap lurus, meskipun gelap, dia dapat melihat bayangan bulan di air laut dan bukit-bukit yang mendapat pantulan cahaya bulan.

Aku ingat saat pertama kali kamu mengajakku makan di tempat ini. Sambil memelukku dari belakang, kamu bilang akan menemaniku sampai maut memisahkan. Aku kangen sama kamu. Beginikah perasaanmu dulu saat ditinggal Arumi? Ternyata benar, lebih sulit membuka hati yang terluka karena ditinggal selamanya, daripada ditinggal karena dihianati.

"Pril," panggil Ali setelah dia selesai makan.

Prilly memutar tubuhnya lalu kembali duduk. Sedikit dia menyeruput cokelat yang tadinya panas sekarang sudah hangat.

"Hmmm ... aroma cokelatnya enak, bikin hati tenang," ujar Prilly sambil meletakkan cangkirnya ke meja.

"Ditambah suasana yang begini. Cocok, kan?"

"Iya, bener, Kak."

"Kamu udah berapa lama enggak pulang?"

"Sejak transportasi berheti beroperasi, Kak. Sekitar dua bulanan ini. Kalau Kak Ali?"

"Satu tahun lebih."

"Lama banget?"

"Kan emang jadwal cuti setahun sekali. Karena pandemi ini bikin tambah lama, mau pulang was-was, kan? Mending ditunda dulu deh."

"Iya, Kak. Asal komunikasi tetap terjaga."

Beberapa menit mereka saling diam. Ali menikmati lantunan musik akustik yang diputar di restoran itu.

"Kamu tahu lagu ini, enggak?" tanya Ali memecah keheningan di antara mereka.

"Sebentar, sering denger, tapi lupa judulnya." Prilly berusaha mengingat.

"Surrender. Natalie Taylor," ucap Ali sambil tersenyum menatap wajah cantik Prilly yang berusaha mengingat.

"Ah, iya. Dalam banget lagu itu. Saya suka loh. Lagu ini bercerita tentang seseorang yang hubungannya berakhir setelah mengalami masa-masa sulit-sulit.
Namun, setelah berpisah, akhirnya dia sadar dan menyerah dengan egonya, agar kekasihnya kembali lagi dalam hidupnya."

"Sebuah lagu yang mengajarkan agar kita tidak egois dalam suatu hubungan, salah satu orang harus menyerah atau mengalah agar hubungannya tidak berakhir. Bukan, begitu, Pril?"

"Bener banget, Kak Ali."

Lantunan akustik lagu itu masih berjalan. Prilly menikmatinya. Ini waktu yang tepat, pikir Ali.

"Pril, boleh saya menyampaikan sesuatu?"

"Silakan."

"Tadi kamu bilang, dalam lagu Surrender, salah satu dari sepasang kekasih itu setelah berpisah, akhirnya dia sadar dan menyerah dengan egonya, agar kekasihnya kembali lagi dalam hidupnya. Saya mau melakukannya, memintamu kembali dalam hidup saya."

Prilly gelagapan, dia mengangkat cangkirnya, tak sadar, sekali tenggakan cokelat yang sudah dingin itu habis.

"Niat saya, ingin mengajakmu menikah."

Mata Prilly terbelalak, dia belum siap menerima itu.

"Maaf, Kak Ali. Itu enggak mungkin."

Setelah berucap, Prilly menarik tasnya yang ada di meja lalu mencangklong. Baru tiga langkah ingin meninggalkan tempat itu, Ali berucap, "Enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini, Pril. Kamu cukup membuka sedikit hatimu, biarkan saya yang menyembuhkan luka itu."

Tanpa berucap apa pun, Prilly melanjutkan langkahnya, pergi meninggalkan Ali yang masih mematung di tempat.

#########

Selamat berjuang! Heheheh.
Tim Al, move on yuk! Aku juga sebenarnya galmov sama sosok Al. Apalah daya, emang dia sebatas pemanis buatan biar cerita ini menarik. Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top