Bayangmu Masih Tetap Ada

Setiap sendiri, Prilly sering melamun tentang Ali. Entah mengapa hampir satu bulan dia di Ketapang, pikirannya tentang Ali tidak bisa terhapuskan.

Dering ponsel mengejutkan Prilly ketika dia menatap kosong televisi yang menyiarkan berita. Bergegas Prilly melihat pesan yang baru saja masuk itu.

Pril, bisa ke kantor sekarang? Saya minta bantuannya. Ini penting.

Ternyata pesan itu dari Al. Prilly melihat jam dinding yang menunjukan pukul 19.20 WIB.

Baik, Pak. Saya berangkat sekarang.

Segera Prilly mengganti baju tidurnya dengan hem lengan pendek dan celana panjang, walau terkesan santai tetap terlihat sopan. Sekitar lima menit jalan kaki dari indekosnya ke pelabuhan Ketapang. Sampai di kantor, Prilly segera ke ruang SDM.

Di sana Al sendiri sedang menatap layar komputer. 24 jam kantor tidak pernah sepi dan selalu ada orang dengan tugasnya masing-masing. Ada yang bertugas sebagai operator mengatur jalur lalu lintas pelayaran. 24 jam penyeberangan Ketapang-Gilimanuk terbuka.

Tuk tuk tuk

Prilly mengetuk pintu lalu Al mengalihkan pandangannya dari komputer.

"Masuk, Pril," titah Al menegakkan duduknya.

"Iya, Pak." Prilly langsung mendekati meja kerja Al. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Al?"

"Iya, Pril. Maaf sebelumnya sudah merepotkan kamu. Biasanya Pak Agus yang bantuin saya, malah kamu jadi lembur begini."

"Tidak apa-apa, Pak Al. Pak Agus juga sedang menjalankan tugas, kan?"

Siang tadi Agus, pria berusia 23 tahun itu, ditugaskan Al untuk mengikuti pengarahan di kantor cabang Surabaya. Untuk itu semua tugas dia kerjakan sendiri, Prilly membantu sekadarnya karena dia juga belum banyak memahami pekerjaan sebagai SDM.

"Tolong kamu tarik kursi itu ke sini," tunjuk Al ke sampingnya.

Segera Prilly mengikuti perintah Al. Dengan sabar, Al memberikan arahan dan penjelasan tugas Prilly agar dapat membantunya.

"Jadi, kamu rekap dulu presensi seluruh ABK, baru nanti karyawan yang kerja di lapangan dan kantor, ya?"

"Iya, Pak. Terus untuk kadet bagaimana, Pak?"

"Itu juga direkap. Tapi nanti ditandai."

"Baik, Pak."

Malam ini mereka lembur. Hampir tiga jam mereka saling diam dan berbincang seperlunya. Akhirnya pekerjaan pun selesai.

"Kamu sudah makan, Pril?" tanya Al beranjak dari duduknya lalu menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

"Belum, Pak."

"Kamu tunggu di sini, saya cari makan dulu."

Belum sempat Prilly berucap, Al sudah lebih dulu keluar. Walhasil Prilly pun menunggu Al di ruangan itu. Dia pindah duduk di sofa dekat dengan pintu yang memang sengaja dibuka lebar. Terdengar beberapa orang sedang becanda.

Mereka yang bekerja di lapangan, mengatur muatan saat kapal sandar. Jam kerja mereka dibagi tiga bagian, per kelompok memiliki delapan jam kerja. Saat menunggu kapal sandar, biasa mereka berkumpul di kantor. Jadi, kantor tidak pernah sepi sekalipun tengah malam.

Dering ponsel Prilly tanda panggilan masuk. Saat Prilly mengecek, dahinya mengerut dalam. Sepertinya nomor itu tidak asing baginya. Karena penasaran, dia pun mengangkat.

"Halo, siapa?" tanya Prilly sinis.

"Hai, masa lupa?"

Deg! Jantung Prilly berdetak kencang. Tubuhnya gemetar. Luka di hatinya yang hampir tertutup kini kembali terbuka. Suara itu menyiksa batinnya lagi.

"Ka-ka-ka Ali?" tanya Prilly terbata dan memastikan jika dia tidak salah orang.

"Iya. Kamu sekarang di mana?"

"Sa-sa-saya ... mmm ..."

Prilly tidak mau Ali mengetahui keberadaannya saat ini. Susah payah dia menata hati dan hidupnya. Jika Ali datang di hadapannya sekarang, dia tidak siap. Prilly takut benteng pertahanan yang sudah dia bangun akan kembali melemah dan hancur.

"Pril, maaf lama menunggu."

Prilly sedikit bernapas lega, Al datang tepat waktu.

"Kak Ali, udah dulu, ya? Maaf."

"Pril ..."

Tut tut tut

Panggilan berakhir, Prilly meletakkan ponselnya di meja.

"Kok dimatiin? Saya ganggu, ya?" tanya Al sambil meletakan plastik putih di meja lalu duduk di sofa samping Prilly.

Sambil tersenyum manis Prilly menjawab, "Nggak kok, Pak Al."

"Maaf, ya, ganggu waktu kamu. Harusnya jam segini kamu teleponan sama pacar sambil rebahan, ya?" ucap Al terkekeh saraya membuka plastik dan mengeluarkan dua kotak putih berisi nasi goreng dan dua cup plastik teh panas.

"Nggak kok, Pak. Saya nggak punya pacar."

"Masa sih? Nggak mungkin."

"Benar, Pak Al."

"Iya, saya percaya. Ini makan dulu." Al membukakan kotak nasi untuk Prilly dan menggeser ke depannya.

"Terima kasih, Pak Al."

"Iya, sama-sama. Ayo dimakan."

Mereka pun menyantap nasi goreng itu sambil berbincang kecil. Beberapa kali Al menjelaskan tentang pekerjaan sebagai SDM. Sampai makanan mereka habis, Prilly menyerap banyak ilmu yang Al bagi.

"Ayo, saya antar kamu balik ke kos." Al mengambil jaket yang tersampir di kursi kerjanya dan kunci motor di meja.

"Nggak usah, Pak Al. Dekat kok kosan saya."

"Iya, saya tahu. Tapi saya yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu di sini. Ini juga hampir pukul 12 malam, Pril."

Tanpa bisa menolak, Prilly pun mengangguk dan mengikuti Al keluar dari kantor. Banyak hal yang membebani pikiran Prilly. Selama ini Prilly tidak pernah tahu tentang pribadi Al. Entah dia sudah beristri atau belum dan berasal dari mana dia, Prilly pun tak tahu. Al tipe orang yang profesional dan tertutup mengenai pribadinya.

"Pak Al, boleh saya tanya sesuatu?" Kali ini Prilly memberanikan diri saat mereka berjalan beriringan menuju parkiran.

"Silakan."

"Pak Al aslinya dari mana? Kalau mendengar logat bicara Pak Al, sepertinya bukan dari Jawa."

Sekilas Al menoleh Prilly yang ternyata sedang menatapnya dan menunggu jawaban.

"Orang tua saya asli Jawa Timur, mereka lahir di Surabaya. Tapi saya lahir dan besar di Jakarta. Mereka merantau ketika tahun pertama menikah. Alhasil saya dan adik-adik besar di Jakarta dan logat medoknya luntur. Biarpun begitu, saya bisa bahasa Jawa kok. Tapi Jawa Timuran."

"Terus di sini ngekos juga?"

"Saya ngontrak rumah, Prilly. Memang agak jauh, di perumahan jalan Lingkar."

"Sendiri?"

"Terus sama siapa kalau nggak sendiri?"

"Istri mungkin."

"Hahaha, saya masih nyaman sendiri."

"Ah, masa sih, Pak Al? Seorang SDM muda, pinter, dan sekeren Bapak masih sendiri?"

"Iya, Prilly. Saya belum kepikiran ke sana. Masih menikmati kebebasan. Masih pengin kerja tanpa harus dituntut ini itu dan belum siap diatur-atur. Cewek kan gitu, suka ngatur tapi susah diatur, hehehehe."

"Nggak juga. Tergantung!" sangkal Prilly keberatan.

"Iyaaaaaa ... tidak semua cewek begitu sih."

Mereka sampai di parkiran. Motor Vixion merah siap mengantar Prilly sampai indekosnya. Selama perjalanan tak ada bembicaraan, ponsel Prilly terus berdering, entah panggilan masuk atau pesan yang masuk. Prilly tak memedulikannya.

Sampai depan indekosnya, Prilly turun. Deringan ponsel terus mengusiknya.

"Masuk sana, kasihan itu pacar kamu pasti sudah menunggu," ucap Al menduga jika sedari tadi yang menelepon Prilly kekasihnya.

Prilly hanya tersenyum lalu berucap, "Terima kasih."

"Sama-sama. Masuk gih, jangan malam-malam tidurnya, besok harus ngantor pagi."

"Siap, Pak Al."

Al masih menunggu di depan pagar, sampai Prilly tak terlihat barulah dia pergi. Setelah sampai kamar, Prilly mengecek ponselnya. Beberapa kali panggilan tak terjawab dan pesan masuk. Prilly membuka pesan-pesan itu.

Siapa suara cowok tadi?

Pril.

Hei!

Kenapa dimatiin?

Oooh, gitu, ya, kamu? Jaga diri.

Pril, tolong angkat telepon saya.

Apa tadi pacar kamu?

Belum juga Prilly selesai membaca chat dari Ali, panggilan dari nomor yang sama masuk. Meski malas, Prilly tetap mengangkat. Dia merasa sangat terganggu dengan sikap Ali yang terus meneleponnya.

"Halo, ada apa, Kak Ali?"

"Kenapa baru diangkat?" sergah Ali dengan suara tinggi di seberang sana. Seperti orang frustrasi.

"Saya baru sampai kos."

"Oh, habis kencan, ya?"

"Saya habis lembur."

"Lembur? Mana ada kadet kok lembur sampai tengah malam. Itu lembur atau cuma alasan aja biar bisa kencan?"

"Saya beneran lembur, Kak Ali."

"Sama cowok tadi?"

"I---" Prilly menghentikan ucapannya. Ngapain juga aku repot-repot jelasin sama dia. Kan dia bukan pacarku, batin Prilly.

"Halo. Pril, masih dengar saya bicara, kan?"

"Iya, Kak. Maaf nih, Kak, saya mau istirahat dulu. Besok saya ngantor pagi. Selamat malam."

"Eh, Pril ..."

Tut tut tut

Prilly langsung matikan ponselnya. Dia tidak mau pendiriannya untuk menjauhi Ali goyah. Untuk saat ini Prilly hanya mau fokus dengan kariernya.

Setelah membersihkan diri dan mengganti baju tidur, dia pun berbaring, berusaha melupakan sejenak tentang Ali.

Kenapa dia datang lagi dalam hidupku? Ya Allah, permainan apa lagi yang Engkau hadapkan padaku? Aku takut jatuh cinta lagi padanya. Aku masih takut patah hati karenanya.

Tak terasa air mata Prilly meleleh dan mengalir di samping matanya. Dia memejamkan mata meski terus bayangan Ali menghantuinya.

***

Hari berganti, seperti biasa, aktivitas rutin setiap hari kecuali Minggu. Berangkat ke kantor pagi dan lagi-lagi bertemu dengan teman baru yang menyenangkan. Setidaknya Prilly sementara dapat melupakan Ali saat bersama mereka.

"Selamat pagi, Mbak Hana," sapa Prilly berusaha selalu ceria walau sebenarnya hati bersedih.

"Pagi, Cimut," sapa Hana, resepsionis di kantor itu.

Cimut adalah julukan orang-orang kantor kepada Prilly. Biang keroknya Hana, sejak dia memanggil Prilly dengan julukan Cimut, hampir semua ikut-ikutan. Alasan Hana karena Prilly kecil dan imut, membuatnya gemas.

"Pak Al sudah datang?" tanya Prilly tidak langsung masuk ke ruangan SDM, tetapi mampir ke resepsionis dulu.

"Belum lihat. Kenapa? Kangen, yaaaa?" Hana mencolek-colek pipi Prilly dengan kerlingan jahil.

"Ih, apaan sih, Mbak Hana. Cuma nanya doang, masa nggak boleh. Kan Pak Al atasan saya."

"Hehehe, belum, Pril. Yang sudah datang Pak Agus. Tapi dia keluar lagi, kayaknya sih mau ngecek apa gitu ke syahbandar."

"Ooooh. Mbak Han, pernah nggak ngobrol lama sama Pak Al?"

"Kalau soal kerjaan sih, pernah. Tapi soal pribadi, nggak pernah. Kenapa emang?"

"Kadang saya canggung kalau Pak Agus lagi keluar, terus di ruangan cuma berdua sama Pak Al. Kan Pak Al pendiem, jarang banget ngobrol, saya jadi bingung mau ngapain kalau udah nggak ada kerjaan." Bibir Prilly cemberut.

"Keluar aja, main ke sini. Biar gak kesepian."

"Sungkan saya, Mbak. Masa Pak Al kerja saya ngobrol di sini sih?"

"Emang Pak Al gitu kok, Pril. Kalau kamu nuruti Pak Al, nggak ada selesainya. Kerjaaaaa terus. Nggak tahu tuh, kok betah banget kerja."

"Mbak Hana pernah ke kontrakannya Pak Al?"

"Belum. Ngapain ke sana? Nggak ada kepentingan juga."

"Pak Al tuh punya pacar nggak sih, Mbak? Perasaan kok HP-nya nggak pernah berisik. Paling telepon dari Pak Budi atau orang-orang syahbandar."

"Setahu aku sih, nggak punya. Soalnya selama aku kerja di sini, Pak Al nggak pernah kelihatan bawa cewek atau dicari cewek."

Berarti Pak Al jujur, batin Prilly memikirkan jawaban Al semalam.

Pintu kaca kantor terbuka, ternyata Al yang datang. Melihat Prilly berdiri di depan meja resepsionis, dia langsung menegur dengan suara lembut, tetapi tetap berwibawa.

"Pril, ngapain di situ?"

Prilly langsung menoleh ke sumber suara. "Eh, Pak Al. Ngobrol sama Mbak Hana, Pak."

Tanpa berucap, Al masuk ke ruangannya. Setelah pamintan dengan Hana, Prilly buru-buru mengikutinya.

Belum juga duduk, ponsel Prilly berdering, panggilan masuk. Awalnya Prilly mengabaikannya, dia duduk di kursinya yang bersebelahan dengan tempat duduk Agus.

"Angkat dulu teleponnya, Pril," titah Al sambil menyalakan komputer.

"Tidak penting kok, Pak."

"Kalau nggak penting kenapa telepon terus dari semalam? Angkat dulu."

Mau tidak mau Prilly pun mengangkatnya. Sambil setengah berbisik dia menjawab telepon itu.

"Halo. Ada apa lagi, Kak?"

"Lama banget angkatnya?"

"Maaf, Kak Ali, saya sedang di kantor. Sudah dulu, ya? Tidak enak ada atasan saya."

"Oh gitu, ya sudah. Nanti saya telepon lagi pas jam makan siang."

Panggilan pun berakhir, Prilly meletakkan ponselnya kembali di meja.

"Kalau ada masalah sama pacar itu harus segera diselesaikan. Biar tidak jadi beban dan terbawa pikiran. Nanti akibatnya bekerja tidak fokus," ujar Al seperti seorang kakak yang menasihati adiknya.

Sejuk hati Prilly mendengar sedikit perhatian Al. Entah mengapa, hatinya yang sejak kemarin malam gelisah, tiba-tiba tenang.

"Dia bukan pacar saya kok, Pak?"

"Kalau bukan pacar, kenapa selalu tidak sabar menunggu jawaban teleponmu?"

"Dia ... mmm ... dia ... mmm ... saya bingung mau menjelaskan."

Al memasang badan, bersiap mendengarkan cerita Prilly. Dia menyandarkan punggungnya dan menatap Prilly lembut.

"Ceritakan saja yang perlu kamu ceritakan. Siapa tahu saya punya solusinya."

"Jadi, kami itu sejak kecil selalu bersama, Pak. Karena orang tua kami bersahabat. Saya kebaperan dengan sikap dan perhatian dia selama ini. Ternyata dia punya pacar tanpa sepengetahuan saya. Tapi ..."

Prilly menatap Al sendu, air matanya menggantung. Al menarik napas panjang, dia berdiri sambil menarik tisu di mejanya. Lantas dia berikan kepada Prilly. Setengah pantat Al duduk di meja, berhadapan dengan Prilly.

"Ceritanya kamu jatuh cinta sama sahabat kecilmu. Tapi, dia sudah punya pacar dan kamu merasa patah hati. Cintamu bertepuk sebelah tangan. Gitu?"

Prilly mengangguk. Dia menyeka air matanya dengan tisu.

"Tapi katanya ... dia juga mencintai saya."

"Lalu masalahnya di mana? Bukannya bagus, kalian saling mencintai?"

"Saya nggak mau, Pak. Dia sekarang sudah tunangan dengan pacarnya. Saya nggak mau jadi pihak ketiga yang membuat hubungan mereka rusak."

"Terus ...?"

"Dia terus mengganggu saya. Biarpun saya sudah tidak mau berhubungan dengannya. Sengaja saya tidak memberi tahu posisi saya sekarang. Padahal saya sudah ganti nomor HP, tapi entah dari mana dia dapat nomor baru saya."

"Mungkin keluarga kamu."

Sejenak Prilly berpikir, dia menduga Teguh yang memberikan nomornya kepada Ali. Karena selama ini, Ali lebih dekat dengan Teguh.

"Bisa jadi, Pak."

"Ya sudah, kamu jangan pikirkan itu. Kita kerja dulu, ya? Pulang kerja, saya ajak kamu ke kota, kita cari es krim cokelat untuk menghilangkan stres." Al memberanikan diri mengusap rambut Prilly.

Beberapa detik tatapan mereka bertabrakan. Hazel Prilly mengingatkan Al pada seseorang. Bayangan wanita itu mencumbui otaknya.

"Kamu cantik," ucap Al mengusap pipi Prilly.

######

Jreng, jreng! Jadi pengin es krim sultan yang lagi viral. Satu kotak 50 rb, es krim viennetta😅.

Makasih, yaaaa, dah sabar nungguin aku.

Banyuwangi, 9 April 2020
Pukul : 07.30 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top