Apa Itu Cinta?

"Kamu nggak bisa ngertiin perasaan aku, ya?" Prilly mendorong dada Al. Namun, tak sedikit pun Al goyah.

Angin bertiup kencang menerpa rambut Prilly yang tergerai. Ombak laut berlarian, berlomba-lomba sampai ke tepi pantai hingga menerjang kaki mereka.

"Aku selalu ngertiin kamu. Sekarang kamu bayangin, pacar mana yang betah selalu mendengar ceweknya cerita cowok lain? Hm?" kata Al lembut, tetapi menohok ulu hati Prilly.

Wajah Al tampak kesal. Namun, dia tak tega jika meninggikan suaranya. Meski amarah Prilly meluap-luap, tetapi Al bersikap tenang dan berusaha menghadapinya dengan kepala dingin.

"Terus kalau kamu selalu dideketin cewek-cewek, kamu pikir aku diem itu baik-baik saja? Hah!" bentak Prilly tak mau kalah dari Al. Air mata Prilly mulai menggantung.

"Cewek siapa sih yang pernah kamu lihat deket sama aku?" ucap Al sangat lembut, menghapus air mata Prilly yang mengalir di pipi.

"Kak Gisel, Kak Febri, Kak Uki, Kak Jeje, mereka itu kalau deket sama kamu suka caper! Aku nggak suka!" Prilly mulai terisak, dia menyeka air matanya kasar dengan lengan.

"Kamu cemburu?" Al menangkup kedua pipi Prilly.

"Wajar kan, aku cemburu?" Prilly memalingkan wajahnya. Dia tidak tahan melihat tatapan Al yang meneduhkan. Bisa-bisa hatinya luluh tak jadi marah padanya.

"Cemburu kamu itu karena cinta atau hanya takut kehilangan?" Sengaja Al menggoda Prilly. Dia juga ingin tahu alasan Prilly marah ketika banyak wanita mendekatinya.

"Mmm ... mmm ... eeeeng ...." Prilly bingung menjawab.

"Apakah menurutmu sekarang kata cinta itu berarti untuk kita?" tanya Al mengerling, membuat Prilly tersipu.

Detik itu juga air matanya berhenti dan berganti senyum malu-malu. Namun, karena gengsi, Prilly mengulum bibir agar tidak ketahuan jika dia sedang tersenyum bahagia. Al terus menatap Prilly dengan tatapan lembut, dia jadi salah tingkah.

"Jangan melihatku begitu." Prilly menutup wajahnya malu.

Dia juga tak bisa menahan senyumnya. Prilly menyembunyikan senyum itu di balik tangannya.

"Kamu lebih suka cinta hanya karena kata-kata atau aksi?"

"Aksi dong," jawab Prilly menangkup pipinya yang merah agar tidak ketahuan Al jika saat ini dia sedang tersipu malu.

"Terus kenapa kamu mempermasalahkan ini?"

"Itu karena kamu duluan yang mulai."

"Wajar, kan? Coba kamu di posisiku. Aku selalu cerita tentang wanita lain yang jelas-jelas pernah aku cintai dan dia juga mencintaiku. Apalagi jika wanita itu sampai saat ini sering menggangguku."

"Ya aku akan sangat marah. Kamu nggak menghargai aku dan nggak menjaga perasaanku. Aku akan labrak cewek itu, terus aku bakal cakar-cakar wajahnya."

"Tuh, kan? Kamu aja akan melakukan hal sekejam itu. Masih untung aku, Ali nggak aku samperin dan nggak aku labrak terus cakar-cakar wajahnya."

"Ooooh, jadi Kak Al tuh cemburu sama Kak Ali? Gitu?"

"Wajar, kan? Seminggu ditinggal cuti, balik ke sini malah dengerin kamu curhat tentang Ali. Kamu itu pacarku atau pacarnya Ali sih?"

"Iya, maaf. Jangan ngambek, ya?" Prilly melendot di lengan Al sambil jawil-jawil dagunya.

"Aku nggak ngambek. Tapi tolong hargai perasaanku yang mulai terbuka buat kamu. Susah loh, membuka hati yang sudah lama mati rasa."

"Iya, iya. Aku minta maaf, ya?" Prilly mengedipkan mata manja.

"Maafin nggak, yaaaa?" Al melirik ke atas seolah berpikir sambil mengetukkan jari telunjuknya di dagu. "Kejar dulu, kalau ketangkap aku maafin." Al berlari biasa, sengaja tidak cepat agar dapat mudah Prilly tangkap.

"Iiiih, tungguin." Prilly mengejar, begitu dekat, dia lompat naik ke punggung Al.

Tawa mereka lepas, tampak indah dengan latar belakang matahari terbenam seperti tertelan air laut.

***

Di ruang keluarga rumah Herman, mereka berkumpul. Suasana sedikit tegang karena Ali tidak setuju jika rencana pernikahannya bersama Vanya diajukan. Dia merasa belum siap karena banyak hal. Terutama mengenai pekerjaan dan perasaannya kepada Vanya.

"Apa jangan-jangan kamu masih berharap kalau Prilly mau sama kamu, ya?" ujar Vanya sengaja membuka masalah itu di depan orang tua Ali, terutama Herman yang tidak mengetahui masalahnya.

"Ck, jangan mulai deh, Van. Nggak ada hubungannya sama Prilly. Saya memang merasa belum siap, pekerjaan saja belum jelas," bantah Ali sedikit kesal karena mulut Vanya tidak bisa dijaga.

"Halah! Kamu mah suka ngeles. Bilang aja kalau kamu masih suka sama Prilly. Iya, kan?"

Lesti dan Herman menyimak perdebatan itu. Herman mempelajari apa yang terjadi di antara mereka.

"Ali, tolong jelaskan apa yang dimaksud Vanya. Suka sama Prilly? Apa maksudnya itu?" sela Herman sangat penasaran.

Sebelum menjawab, Ali menatap Lesti lebih dulu. Mamanya itu mengangguk, setuju jika Ali mengatakan yang sejujurnya. Padahal niat Lesti agar Herman menasihati Ali supaya tidak mengharapkan Prilly lagi.

"Maaf, Pa, Ma. Tapi itu kenyataannya," ujar Ali lalu menunduk, bersiap untuk menghadapi amarah orang tuanya dan Vanya.

"Kamu nggak tahu aja kelakuan Prilly aslinya bagaimana." Kali ini Vanya tak dapat bersabar lagi.

Sejak mengetahui Ali memiliki perasaan kepada Prilly, dia berusaha sabar dan mempertahankan hubungan mereka agar tetap utuh tanpa adanya orang ketiga.

"Maksud kamu apa sih, Vanya?" Ali mengerutkan dahi dalam.

"Om, Tan, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Malam itu pas aku nginep di kamar kosnya, tengah malam Prilly dijemput cowok. Ngakunya sih pacar dia, sampai pagi baru pulang. Aku disuruh diem, nggak boleh sampai Ali tahu." Dalam hati Vanya tersenyum licik.

Padahal tidak ada kata-kata dari Prilly agar Vanya merahasiakan hal itu. Vanya sendiri yang menambahkan cerita agar image Prilly hancur di depan Ali dan orang tuanya.

Wajah Lesti dan Herman tampak sangat terkejut. Begitupun Ali, tetapi dia tidak serta merta mempercayai ucapan Vanya.

"Nggak mungkin!" Ali menggeleng. "Saya kenal Prilly lama, dia tidak mungkin melakukan itu, Vanya!" sentak Ali membela Prilly.

"Kamu nuduh aku berbohong dan mengada-ada? Kamu ingat kan, waktu itu pagi-pagi Prilly diantar cowoknya pulang. Sampai kosan cuma ganti baju, terus katanya mau pergi kerja bareng sama cowoknya itu. Ingat, nggak kamu?"

Flashback

Pagi itu Al mengantar Prilly ke indekos. Baru saja Prilly turun dari motor, terlihat Ali membuka pintu kamar. Prilly tak mengacuhkannya, dia lalu masuk ke kamar. Sedangkan Al menunggu Prilly di depan gerbang, seperti biasanya.

Di dalam kamar, tanpa menyapa Vanya yang sudah rapi dan wangi, Prilly mengganti pakaian di kamar mandi. Dari motornya, Al mengangguk menyapa Ali. Namun, Ali tak membalas, dia bersikap tak acuh.

"Sudah siap?" tanya Ali kepada Vanya.

Vanya mengangguk, dia menyelempang tasnya. Prilly keluar dari kamar mandi sambil menyisir rambut. Tampak Prilly buru-buru.

"Mau ke mana, Pril?" tanya Ali dari ambang pintu.

"Mau ke kantor, Kak," jawab Prilly memasukan ponsel ke tas selempang kecil yang biasa dia pakai ke kantor.

"Dah makan?" tanya Ali lagi.

Vanya memutar bola matanya malas sambil bersedekap, bersandar di tembok.

"Sudah kok, Kak. Tenang saja, tadi saya sarapan sama Kak Al."

Setelah bicara, tanpa menoleh Vanya sama sekali, Prilly ke luar kamar.

"Duluan, Kak Ali." Pamit Prilly sembari berlari kecil menghampiri Al.

Setelah Prilly membonceng, Al menarik gasnya. Ali tak tahu kejadian semalam. Dia pikir Prilly habis keluar mencari sarapan bersama Al. Vanya pun tak peduli dengan kejadian semalam, dia pikir itu bukan urusannya.

Flashback off

"Kamu masih mau membela Prilly, Li? Mama nggak nyangka, gadis yang terlihat kalem, pendiam seperti Prilly, di belakang kita begitu," ujar Lesti langsung menelaah informasi dari Vanya mentah-mentah.

"Papa akan sampaikan masalah ini ke Om Teguh. Biar dia bisa bilangin Prilly. Jadi rusak anak itu nanti kalau lama-lama didiemin. Kok jadi nakal begitu setelah punya pacar." Herman menghela napas dalam lalu menggeleng.

"Jangan, Pa," larang Ali masih tidak percaya sebelum dia mendapat penjelasan langsung dari Prilly.

"Kamu nggak sah belain dia lagi, Li. Berarti pacarnya yang mempengaruhi Prilly jadi nakal," timpal Lesti mendapat dukungan Vanya dengan anggukan mantap.

"Jangan menilai masalah dari satu sudut pandang. Itu kan kata Vanya, belum tentu alasan Prilly sama dengan Vanya." Ali tetap berusaha mempertahankan image Prilly yang selama ini baik di mata orang tuanya.

"Sudah. Jangan dibela terus. Kenyataannya memang begitu. Coba kamu tanya saja sendiri." Vanya merasa menang karena berhasil mempengaruhi orang tua Ali agar tidak menyukai Prilly.

"Kamu kalau cemburu jangan semua hal dihalalkan, ya, Van."

"Ih, ngapain aku cemburu sama Prilly. Aku cuma pengin kamu tahu aja, kalau selama ini dia di Banyuwangi diam-diam kelakuannya begitu."

Ali tak tahu lagi harus bagaimana membela Prilly. Toh dia juga belum tahu masalah sebenarnya apa. Dan juga tidak tahu apakah yang Vanya ucapkan benar atau salah.

"Sudah, mulai sekarang kita jaga jarak dengan keluarganya. Kamu nggak usah lagi datang-datang ke rumah Om Teguh, Li. Jangan minta tolong lagi sama dia. Papa juga bisa cariin kamu kapal untuk kerja. Terpengaruh nanti kamu sama pergaulan bebasnya Prilly. Malah jadi anak nakal kamu nanti," ujar Herman tegas tak terbantahkan.

"Tapi, Pa ..."

"Liiiii ...." Lesti langsung menyela. Dia mengelus lengan Ali agar tidak membantah. Lesti tidak mau situasinya semakin panas.

Saya tidak percaya kamu seperti itu, Pril. Ali membatin, dia mengusap wajahnya gusar. Ali berusaha menahan amarahnya.

***

Saat sedang santai menonton televisi sendiri, dering ponselnya mengusik. Bergegas Al mengambilnya yang tergeletak di meja depan sofa panjang tempatnya berbaring.

"Om Teguh? Ngapain ya, malam begini telepon?" gumam Al tak biasanya Teguh meneleponnya di atas pukul 22.00 WIB.

Sebelum panggilan berakhir, Al pun menjawabnya, "Assalamualaikum."

Al mengecilkan volume televisi.

"Waalaikumsalam. Maaf mengganggu waktunya malam-malam begini, Pak Al."

"Tidak apa-apa, Pak. Kebetulan saya juga sedang santai ini. Ada yang bisa saya bantu?" Al mengubah posisi rebahannya menjadi duduk bersandar santai.

"Saya mau bicara antara calon mantu dan calon mertua," ujar Teguh disusul kikihannya. "Jadi, begini, Pak ..."

"Maaf, Pak Teguh, tidak sopan memotong pembicaraan. Jika pembicaraan ini antara calon mantu dan calon mertua, jangan pakai embel-embel pak kalau menyapa saya. Kok rasanya jadi canggung." Meskipun sungkan, tetapi ini harus disampaikan supaya obrolan mereka nyaman.

"Oke, oke, oke. Mas Al saja, ya? Lebih nyaman begitu."

"Baik, Pak."

"Eh, jangan panggil saya pak juga dong. Om saja, biar kita akrab."

"Baiklah, Om. Bagaimana tadi lanjutannya?"

"Jadi, tadi ada kawan saya memberi tahu. Apa benar kamu pernah bawa Prilly keluar tengah malam?"

Deg! Jantung Al seperkian detik seperti berhenti. Dia tak habis pikir, tahu dari mana Teguh?

"Iya, Om. Saya memang pernah menjemput Prilly tengah malam dan saya ajak menginap di kontrakan. Tapi demi Allah, kami tidak melakukan apa pun di kontrakan saya. Insya Allah, saya sama Prilly tahu batasan dan aturan."

"Iya, Om percaya kamu, Al. Tapi, tidak semua orang bisa menerima alasan apa pun mengenai hal itu. Kalau boleh tahu, mengapa kamu ajak Prilly ke kontrakanmu tengah malam? Kalau sampai warga tahu, bagaimana? Apa tidak memperburuk citra kamu dan Prilly di sana? Kalian jauh dari pantauan orang tua. Jadi, harus bisa menjaga diri baik-baik." Teguh menasihati dengan nada tegas, bukan galak.

Mau tak mau, akhirnya Al menceritakan kejadian sejujur-jujurnya. Dia juga menjelaskan jika mereka tidak tidur satu kamar.

"Oooh, jadi begitu ceritanya?"

"Iya, Om. Maafkan saya sudah bikin Om tidak tenang di sana. Saya janji tidak mengulanginya lagi."

"Ya sudah, kalau begini kan, jelas. Om sama Tante jadi tidak terus-terusan kepikiran. Tolong jaga Prilly, ya, Al. Nanti kalau sudah waktunya, Om akan buka pintu rumah lebar-lebar untuk menerima kedatangan keluargamu. Tapi untuk saat ini, Om minta tolong bimbing dan arahkan Prilly supaya menyelesaikan kuliahnya dengan baik."

"Pasti itu, Om. Insya Allah saya akan selalu menjaga Prilly dengan baik."

"Makasih, calon mantu."

Hati Al menghangat, bibirnya tersenyum lebar. "Sama-sama, Om."

"Ya dah, Om istirahat dulu, ya? Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Panggilan itupun berakhir. Ada yang mengganjal di pikiran Al sekarang. Siapa yang menyampaikan kabar itu kepada Teguh? Al menduga antara Ali atau Vanya karena hanya mereka yang saat itu ada dan dekat dengan keluarga Prilly.

Video call Prilly masuk, segera Al menerimanya.

"Kamu habis telepon siapa? Kenapa dari tadi di-VC berada dalam panggilam lain?" keluh Prilly sebal.

"Maaf, tadi papamu telepon."

"Oh, iya? Apa katanya?"

"Nanyain kabar kamu. Biasa, namanya orang tua pasti khawatir. Kamu kenapa belum tidur?"

"Nggak apa-apa. Tadi habis streaming drama Korea."

"Ck, dasar korban film. Sudah, tidur. Besok pagi harus berangkat pagi ke kantor. Ada yang harus aku kerjakan. Bantuin, ya?"

"Siap, Pak!"

"Bobo, ya? Aku juga mau bobo ini."

"Iya. Selamat malam."

"Malam, Sayang." Al tersenyum manis. Baru kali ini dia memanggil Prilly sayang.

"Ah, jadi nggak rela matiin VC-nya."

"Loh, kenapa?"

"Habis kamu panggil aku sayang. Kan, malah bikin aku susah tidur karena mikirin kamu."

"Halah! Gombal aja kamu. Dah, ayo tidur. Aku dah ngantuk nih."

"Iya, iya. Selamat malam, Sayang." Prilly berucap sambil malu-malu. Takut digoda Al, buru-buru dia matikan video call-nya.

Sengaja Al tidak menyampaikan tentang yang Teguh bicarakan padanya tadi. Al menjaga perasaan Prilly, dia tidak mau Prilly kepikiran tentang hal itu.

Karena larut malam, Al pun beranjak ke kamarnya. Dia berbaring di tempat tidur lalu memejamkan mata.

#######
Selamat malam, cintaku. Cepet bobo, ya? Jangan bergadang. Aku nggak mau kamu sakit. Kalau sampe kamu sakit, nanti siapa yang nyakitin aku? Hahahahaha

Banyuwangi, 19 April 2020
Pukul : 22.10 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top