00:00 WIB
Rasanya gelisah, setelah pelantikan staf batalion kemarin. Ali sudah tidak menjabat komandan batalion, berarti sebentar lagi dia akan berangkat praktik ke Singapura.
Pukul 00:00 WIB Prilly masih terjaga, harusnya dia sudah tidur sejak pukul 22.00 WIB yang lalu. Suasana di kamar juga sudah sepi, teman-temannya sudah tidur semua. Prilly bangkit dari tempat tidur, dia ke luar kamar. Saat Prilly menutup kamar, seseorang mengejutkannya.
"Hei, kamu mau ke mana?"
Sontak Prilly menoleh ke sumber suara.
"Bu Fatimah, saya mau buang air kecil, Bu. Sekalian wudu, mau salat malam," ucap Prilly kepada penjaga asrama putri.
"Oh, habis itu langsung balik ke kamar, ya?"
"Baik, Bu."
Fatimah lanjut mengontrol ke koridi kamar lain. Sedangkan Prilly ke kamar mandi. Usai itu, dia kembali ke kamarnya.
Sampai di kamar, Prilly mengambil mukenanya. Dia salat Tahajud, supaya hati dan pikirnnya tenang.
Samar-samar Dea mendengar tangis seseorang. Karena terganggu, Dea membuka mata. Dia melihat Prilly bersimpuh di lantai, masih menggunakan mukena, sambil berdoa dan menangis. Dea memerhatikannya.
Selang beberapa menit, Prilly menyudahi doanya. Dia melepas mukena lalu melipatnya rapi.
"Pril," panggil Dea mengejutkan Prilly.
Dea bangung lalu menghampiri Prilly yang duduk di kursi meja belajar.
"Kamu kenapa?" tanya Dea menuangkan air minum ke gelas lalu diberikan kepada Prilly.
Setelah Prilly minum, dia menjawab, "Hati saya risau, De."
"Soal Dan Ali?" tebak Dea mengelus bahu Prilly.
Tanpa berucap, Prilly hanya mengangguk. Dea menghela napas berat, lalu dia menarik kursi lain untuk duduk.
"Pril, maaf sebelumnya. Tapi kalau dipikir-pikir, kamu nggak perlu menangisi dia sampai begini. Iya kalau dia mikirin kamu, kalau nggak, kamu yang nanti sakit sendiri loh. Boleh kita suka sama cowok, tapi jangan berlebihan. Takutnya kalau tidak terbalas, sakitnya lebih dari orang patah hati."
"Maunya begitu, tapi saya tidak bisa mengendalikan persaan ini, De."
"Yaaaa ... memang begitu kalau sudah telanjur cinta. Tapi, kasihan kamu kalau ternyata Dan Ali cuma anggap kamu adik, tidak lebih."
"Gimana dong, De? Saya sudah terbiasa sama dia, saya juga sudah nyaman sama dia."
"Dianya gimana?" sahut Dea sukses membungkam mulut Prilly.
Terdiam, Prilly berpikir. Sejauh ini, ketika dia sama Ali, Prilly merasa tidak ada masalah. Nyaman-nyaman saja dan Ali juga bersikap sewajarnya lelaki melindungi wanita.
"Saya nggak tahu, De. Dia memang tidak pernah mengungkapkan langsung kepada saya, tapi saya merasa, dia juga nyaman bersama saya."
"Bisa mengukur itu dari mana, Prilly?"
"Kenyamanan orang kepada kita, kan, bisa diukur dari jarangnya kita berselisih dan saling memahami, De."
"Ya sudah, Pril. Kita lihat saja, sejauh mana Dan Ali mempertahankan kamu. Kita akan tahu setelah dia pulang ngadet," ujar Dea lelah menasihati Prilly.
Kata orang, menasihati orang sedang jatuh cinta seperti menasihati batu. Percuma!
"Ayo tidur, sudah jam dua nih. Awas besok kesingan loh," ajak Dea kembali ke tempat tidurnya.
Disusul Prilly, dia berbaring di tempat tidurnya. Sebelum memejamkan mata, Prilly berdoa dalam hati.
Tanpa kita tahu, ada seseorang yang mendoakan kita di setiap sujudnya.
***
Ali dan tema-teman seangkatannya bersiap meninggalkan kampus. Satu tahun ke depan, mereka bakal praktik di kapal niaga. Kamar mes Ali sudah bersih, dia akan pulang ke rumah sebelum lusa berangkat ke Singapur. Dalam hatinya ada yang mengganjal, itu soal Prilly. Namun, Ali enggan mengurai keganjalan itu.
Pagi sekali, sesampainya Ali di kampus untuk mempersiapkan berkas-berkasnya, dia menyempatkan datang ke kelas Prilly. Namun, baru Ali sampai di persimpangan koridor, dia melihat Firman duduk bersama Prilly di bangku kayu depan kelas. Ali mengurungkan niatnya, dia pergi dari sana sambil menahan perasaan engkel.
"Pril, kok malah ngelamun sih? Saya ngomong bukannya didengar," ucap Firman menyadari jika Prilly sedari tadi melamun bukan mendengarkannya.
"Eh, maaf, Dan. Saya lagi mikirin sesuatu."
"Apa? Pelajaran?" tebak Firman menatap wajah Prilly yang merasa sungkan padanya.
"Bukan, Dan."
"Terus? Kamu ada masalah? Cerita saja."
"Mmm ... kalau masalah sih bukan, Dan. Cuma apa, yaaaa ... saya juga bingung."
"Kok bingung? Kamu yang menjalani, kenapa bingung?"
"Pernah nggak, Dan Firman suka sama seseorang, tapi orang itu tidak pernah bilang sayang sama Dan Firman? Tapi, kalian sudah sangat dekat," tanya Prilly membesarkan hati Firman, dia sudah ke-PD-an. Dia mengira, Prilly mengatakan itu tertuju untuknya.
"Pernah."
"Terus apa yang Dan Firman lakukan?"
"Mengungkapkan perasaanlah! Memberi dia kepastian biar nggak merasa digantungkan."
"Enaknya cowok begitu, kalau cewek cuma bisa menunggu."
Seperti mendapat kode, Firman pun menggunakan kesempatan ini untuk mengungkapkan perasaannya kepada Prilly.
"Pril, saya bukan tipe cowok yang romantis. Sebenarnya ini tidak pantas dibicarakan sekarang. Tapi, kapan lagi? Soalnya besok saya sudah berangkat ke Semarang."
Prilly menyimak serius apa yang akan diucapkan Firman padanya.
"Sudah lama saya menyimpan perasaan ini sama kamu, Pril. Sebelum kita berjauhan, saya mau memperjelas hubungan kita."
"Maksud, Dan Firman?" Prilly mengerutkan dahinya dalam, menatap Firman bingung.
"Saya suka kamu sudah lama. Saya pengin berkomitmen sama kamu, Pril," ucap Firman sekali helaan napas sambil menatap kedua mata Prilly.
Terkejut! Sudah pasti! Prilly seperti dihantam ribuan ton beban. Bukan ini yang dia inginkan, kenapa orang lain malah mengungkap isi hatinya? Kenapa bukan Ali? Orang yang sudah dia tunggu-tunggu.
"Dan Firman, maaf, tapi saya ... mmm ...." Prilly seperti orang linglung. Pikirannya kosong.
Firman seketika paham, dia langsung menyahut, "Apa yang kamu bicarakan tadi bukan saya, tapi Dan Ali?"
Deg!
Jantung Prilly berdebar kencang. Dia semakin bingung, Prilly berharap ada seseorang yang bisa membantunya keluar dari situasi itu. Prilly meremas-remas tangannya, keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"Dan Firman ... ma-ma-maaf," ucap Prilly sangat tidak nyaman dengan situasi ini.
Firman langsung menunduk, dia berpikir sesuatu. Cinta tidak bisa dipaksakan. Firasat Firman selama ini benar, jika Prilly tidak akan mau menerimanya karena sudah menjadi rahasia umum bahwa dia dekat dengan Ali.
"Saya paham, Prilly. Kamu jangan pikirkan ucapan saya tadi, ya?" Firman melempar senyum yang sulit diartikan kepada Prilly. Senyuman itu terlihat manis, tetapi ganjal.
"Maafkan saya, Dan Firman," ucap Prilly menundukkan kepala.
"Tidak apa-apa." Firman mengusap bahu Prilly sambil tersenyum manis meski hatinya sedang terluka. "Ini risiko kita mencintai seseorang. Tidak selalu cinta itu terbalas, berani jatuh hati, harus siap sakit hati juga, kan?"
Ucapan Firman seperti menampar hatinya, Prilly menegakkan kepala membalas tatapan Firman. Risiko mencintai adalah sakit hati. Jika memang itu benar, Prilly harus mempersiapkan diri untuk sakit hati jika cintanya tidak terbalas Ali. Bukankah itu benar?
"Dan Firman ..."
"Saya tetap akan sayang sama kamu, Pril. Tapi sebagai kakak, sayang kakak ke adik, kan, nggak pernah putus. Anggap saya kakak kamu, cerita dan berbagilah sama saya jika kamu sedang gundah." Firman mengusap kepala Prilly.
Ingin rasanya Prilly mengerutuki kebodohannya. Ada pria yang jelas ingin memberikannya harapan pasti, malah dia sia-siakan. Namun, bagaimana lagi? Hatinya tidak mencintai Firman.
"Maafkan saya, Dan," ucap Prilly tidak enak hati kepada Firman.
"Tidak apa-apa, Pril. Saya bisa mengerti kok."
Beberapa menit saling diam, karena suasana menjadi canggung, Prilly berusaha mencairkan.
"Dan Firman, di Semarang nanti praktik di kapal apa?"
"Peti kemas, dari Tanjung Mas ke Priok. Ngangkut beras sama pupuk."
"Betah-betah, ya, Dan. Di sana pasti panas."
"Iya, cuma setahun, insya Allah betah. Doakan, ya?"
"Iya, Dan. Pasti saya doakan, semoga Dan Firman selalu dilindungi Allah di mana pun berada."
"Aamiin."
Sambil menunggu lonceng apel bunyi, Firman dan Prilly mengobrol. Sedangkan Ali di kelas, sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk.
Pulang dari kampus, Ali sengaja menunggu Prilly di pagar. Dia ingin berpamitan sebelum berangkat. Hanya waktu ini yang bisa mempertemukan mereka, jika sudah di mes, tidak mungkin bisa mereka bertemu.
"Prilly!" panggil Ali saat melihat Prilly ke luar gerbang bersama Fahira dan Ira.
Mereka berhenti, setelah tahu bahwa Ali yang memanggil Prilly, Fahira pamitan, "Pril, kami duluan, ya?"
"Iya, nanti saya nyusul," ucap Prilly melambaikan tangan kepada Ira dan Fahira.
Selang beberapa menit setelah kepergian Fahira dan Ira, Ali mendekati Prilly.
"Pril, saya besok lusa sudah berangkat ke Singapura. Kamu jaga diri baik-baik, ya? Saya akan telepon papa kamu setelah sampai di sana. Kalau kamu pulang ke rumah, sempatkan telepon saya, ya?" ucap Ali agak berat menatap mata sendu Prilly.
"Iya." Hanya itu yang dapat Prilly ucap karena rasanya tangis sudah tersangkut di tenggorokannya.
Ini akan sulit untuk mereka, Prilly di mes tidak diizinkan membawa ponsel. Mungkin mereka akan menabung rindu selama setahun ke depan.
"Saya antar ke mes yuk!" Ali menuntun sepeda motornya sampai di depan Prilly.
Tubuh Prilly seperti kaku, sulit digerakkan, rasanya ... dia ingin waktu berhenti saat ini. Jika boleh, Prilly ingin meminta Ali untuk bertahan, tetapi tidak mungkin karena praktik ini menjadi salah satu syarat kelulusan. Ali memakaikan helm di kepala Prilly setelah dia memakai helmnya.
"Ayo naik!" pinta Ali menuntun Prilly agar mendekatinya.
Setelah Prilly naik ke boncengan, segera Ali menarik gasnya. Di tengah perjalanan ke mes, Prilly tak kuasa menahan tangisnya. Dia menempelkan wajahnya di punggung Ali lalu memecahkan tangisannya. Ali yang menyadari itu, lagsung mengelus tangan Prilly yang memeluk perutnya.
Sampai di depan gerbang mes putri, Ali menyandarkan motornya. Prilly turun, disusul Ali. Ali melepaskan helm yang Prilly pakai. Wajahnya merah, bekas menangis, sisa air mata masih memebekas di mata Prilly.
"Jangan nangis, saya pasti kembali," ucap Ali menyeka air mata Prilly dengan kedua ibu jarinya.
"Janji." Prilly menatap kedua mata Ali, ada sesuatu yang membebani hati Ali.
Bukannya dia tak mau berjanji pada Prilly. Namun, dia takut tidak bisa menepatinya.
"Sudah, masuk sana. Jaga diri baik-baik, ya? Jangan lupa salat, belajar, dan makan. Kesehatan nomor satu." Ali berusaha tersenyum sambil mengusap kepala Prilly.
Hati Prilly sedikit membaik mendapat perlakuan kecil dari Ali itu.
"Kak Ali juga jaga diri dan jangan lupa balik, ya?"
Firasat Prilly, dia takut Ali tidak kembali. Ali hanya tersenyum, dia merogoh saku celanya.
"Biar kamu selalu ingat saya dan selalu ingat waktu," ucap Ali memasang jam tangan di pergelangan tangan kanan Prilly. "Jam kita sama, walau nanti waktu kita berbeda," lanjut Ali memamerkan jam tangan yang dia pakai. Jam itu ternyata kopel.
Hati Prilly senang, setidaknya Ali meninggalkan kenang-kenangan untuknya.
"Bagus jamnya, terima kasih, Kak," ucap Prilly melihat jam yang melingkar indah di tangannya.
Tuhan, jagakan dia saat aku jauh darinya, ucap Ali dalam hati.
#####
Huft! Bingung, kan? Hehehehe
Bagaimana Senin-mu? Ada cerita apa kamu hari ini?
Kalau saya, hari ini senang karena bisa melanjutkan cerita ini. Walaupun ngetiknya nyicil-nyicil, hehehehe.
Terima kasih banyak, jangan lupa selalu bahagia.
Banyuwangi, 18 November 2019
Pukul : 23.25 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top