2. Déjà vu


Secangkir teh hijau yang masih mengepulkan asap ditaruh di atas meja kerja. Alas kayu berbentuk kristal salju menjadi saksi betapa seringnya minuman itu bertengger di sana. Menjadi saksi kegiatan penutup hari sang empunya; sekadar memainkan ponsel atau membaca novel.

Hanin bukan tipe orang yang akan menyibukkan diri dengan pekerjaan begitu dirinya berada di dalam unit apartemen yang dia sewa di kawasan Jakarta Pusat tersebut. Otaknya sudah sangat lelah, dikuras habis-habisan di tempat kerja pada siang hari. Dia tidak mau mati muda dengan membawa kesibukan itu ke rumah. Jadi, apartemen berbentuk studio ini menjadi tempat yang benar-benar dia pergunakan untuk beristirahat.

Meski panas, Hanin segera menyeruput tehnya. Rasanya sangat menenangkan. Ponsel di tangannya menampilkan ruang obrolan bersama beberapa teman kantor, termasuk Sena. Dia tidak berminat untuk ikut andil dalam percakapan yang sedang berlangsung di sana. Seperti biasa, perempuan itu hanya menjadi pemerhati dan hanya akan menimpali sesekali-jika merasa benar-benar diperlukan.

Seanina: Kayaknya kalau ke Puncak kita cuman ngabisin waktu doang. Udah sering juga ke sana

Keanu: Iya juga sih. Ke mana menurut lo enaknya?

Prita: Bandung sekalian aja apa?

Keanu: Kagak dah. Gue kapok pake banget anjir

Seanina: Wkwkw
Seanina: Trauma susah berak dia tuh

Prita: Bloon. Dikiranya Bandung tempat bininya doang kali

Di balik cangkir teh, Hanin tertawa kecil. Dia ingat ketika Keanu menceritakan tempat asal istrinya-saat itu masih calon. Berada di pedalaman Bandung. Sudah tersentuh teknologi berupa ponsel dan televisi, tetapi untuk sanitasi, masih mengandalkan sungai yang harus ditempuh selama sepuluh menit berjalan kaki. Bagi Keanu, itu sangat jauh. Apalagi, ketika isi perutnya sedang meronta-ronta minta dikeluarkan. Menjadi siksaan tersendiri bagi laki-laki berusia tiga puluh tahun tersebut.

Kalau dipikir-pikir lagi, kasihan juga. Apalagi, Keanu adalah orang Jakarta tulen yang dari lahir sudah terbiasa melakukan segalanya dengan mudah. Dihadapkan dengan situasi seperti itu, dirinya juga belum tentu bisa beradaptasi dengan baik. Jadi, dia bisa memaklumi ketakutan yang dirasakan oleh Keanu. Meski sedikit berlebihan, karena semua orang tahu bahwa Bandung sangat luas.

Hanindira: Ciwalk banyak toilet deh, Nu. Nggak usah takut

Setelah mengetik itu, Hanin menutup ruang obrolan, bersamaan dengan habisnya teh hijau dalam cangkir. Perempuan itu beralih ke tempat tidur. Meski tidak langsung lelap, setidaknya dia bisa meluruskan punggungnya yang seharian ini dibawa duduk menelisik kata demi kata dalam novel yang sedang dia edit.

Menjadi editor di sebuah perusahaan besar memang tidak mudah. Saat pertama kali diterima bekerja setelah beberapa bulan lulus kuliah, senangnya bukan kepalang. Sebagai lulusan Sastra Indonesia, dia yakin bisa menjadi penyunting andalan di masa depan. Namun, setelah berkecimpung beberapa lama, rupanya tak semudah yang dibayangkan.

Menjadi editor tidaklah mudah. Apalagi, menjadi editor andalan.

Karirnya sudah berjalan beberapa tahun. Namun, tidak ada peningkatan apa pun pada perkembangannya. Ia hanya diserahi beberapa buku hasil buruan tim. Harus selesai dalam tenggat waktu tertentu, dengan target yang telah ditetapkan. Dirinya hanya fokus pada kegiatan membaca, menyunting, dan repeat. Begitu saja setiap harinya.

Meski begitu, Hanin cukup puas dengan angka-angka yang memenuhi rekening setiap tanggal gajian tiba. Baginya, angka-angka tersebut cukup pantas ia dapatkan. Sebanding dengan kerja kerasnya selama ini. Ambisi untuk menjadi penyunting andalan pun terkikis seiring bertambahnya usia. Dia hanya menginginkan kehidupan yang nyaman tanpa perlu terlalu memusingkan tagihan-tagihan yang rutin datang setiap bulan.

Dahinya berkerut cukup dalam saat netra sekelam malam itu mengamati baris demi baris kalimat yang tertuang di layar. Bukan tanpa alasan, sebenarnya. Entah mengapa, dia merasa adegan yang sedang dihadapinya ini tampak sangat familiar. Seperti ... déjà vu?

Betrand sangat menyukai cokelat putih. Jadi, dengan tekad yang sangat kuat, aku membuatnya. Setelah beberapa kali percobaan-mungkin yang kelima, akhirnya cokelat ini berhasil kubuat. Tentu saja, dengan bentuk yang sempurna. Tepukan pada tangan sebanyak satu kali menjadi penanda bahwa aku puas dengan hasil tersebut, dan akan memberikan inj pada Bentrand saat white day dua hari lagi. Orang-orang, sih, merayakan hari itu dengan kekasihnya. Kalau aku, akan memanfaatkan hari spesial tersebut untuk mengungkapkan perasaan yang sudah kupendam selama setahun belakangan.

Antusiasme dan perasaan bahagia saat membuat cokelat, harus hilang. Lenyap digerus rasa kecewa saat hari itu tiba. Rupanya, Betrand mempermainkanku. Kedekatan kami selama ini hanya demi sebuah pembuktian pada teman-temannya, bahwa seorang Bentrand Bratawisesa dapat menaklukkan siapa pun, termasuk aku, seorang Salsa yang begitu antipati terhadap lawan jenis.

Sampai pada kalimat terakhir itu, Hanin berhenti menelisik. Dia tidak siap untuk membaca kelanjutan cerita tersebut. Buku ini memang kewajibannya, tapi dia benar-benar membutuhkan istirahat untuk sekarang. Sepertinya, dia akan tidur saja. Jika dugaannya benar, narasi selanjutnya akan sangat menyakitkan, dan dia ... tidak siap.

***

Tidur lelap dan melupakan bacaan semalam untuk beberapa saat hanya menjadi angan belaka. Faktanya, pagi ini, Hanin datang ke tempat kerjanya dengan mata panda dan raut wajah yang tampak redup. Kentara sekali bahwa tidurnya semalam tidak nyenyak dan terganggu. Tubuhnya terasa melayang. Rasanya, tak ingin bekerja saja. Namun, dia harus siap kehilangan gajinya hari ini jika melaksanakan itu.

"Masih pagi, tapi muka lo udah kayak zombie aja, Nin." Keyla, salah satu rekan kerjanya, berucap sembari menyeruput cokelat panas.

Hanin meresponsnya hanya dengan mengedikkan bahu. Sungguh, dia menyesal telah memilih novel berjudul Sesal yang ditulis oleh seorang ... anonim. Hanin tidak mengada-ada. Nama pena penulis buku yang semalam dia baca, benar-benar anonim. Literally anonim tanpa huruf kapital.

Novel itu telah membuatnya penasaran setengah mati. Otaknya terus-menerus mempertanyakan siapa gerangan yang menulis novel tersebut. Kenapa hanya dengan beberapa paragraf saja, sudah bisa membuatnya merasakan déjà vu? Apakah dia mengenal penulis ini? Atau ini hanya kebetulan semata?

"Kenapa lo?"

Tepukan di bahu kanan membuatnya berjengit kaget. Saat menoleh, perempuan itu refleks berdecih. Sebal, karena paginya yang buruk akibat kurang tidur, harus ditambah buruk dengan pertanyaan dari orang-orang yang ditemui, termasuk Seanina.

"Muram banget," lanjut Sena setelah dirinya duduk dengan nyaman. "Tambah tebal aja itu kantong."

Hanin makin mendecih. Tak mau meladeni kelakar sang sahabat. Bukan apa-apa. Kurang tidur memang membuat energinya seolah direnggut oleh makhluk lain. Habis tak bersisa. Untuk bersiap dan berangkat kerja saja, dia benar-benar memaksakan diri untuk bergerak. Menyantap sandwich dan secangkir teh hijau favoritnya pun tidak membantu banyak. Hanya memberi sedikit tenaga supaya dirinya bisa berjalan ke stasiun terdekat.

"Ngopi, nggak? Gue bikinin sekalian kalau lo mau," tawar Sena. Perempuan itu paham sekali jika sudah terlihat begini, Hanin sulit sekali untuk diganggu.

"Espresso tanpa gula, ya." Hanin menjawab pelan tanpa mau repot-repot mengangkat wajahnya yang tertelungkup di atas meja.

Sena berdecih. Namun, tanpa banyak bicara lagi, perempuan itu bergegas ke pantry untuk membuat kopi. Dia dan Hanin sudah terbiasa saling merepotkan seperti ini. Sering bergantian. Terkadang, rekan-rekan kantor yang lain menganggap pertemanan mereka itu aneh. Tapi baik bagi Hanin mau pun Sena, pertemanan mereka normal-normal saja. Keduanya sama-sama nyaman. Jadi, tak pernah diambil pusing anggapan-anggapan itu.

Ketika Sena kembali, Hanin bergegas mengambil espresso yang masih mengepul. Lalu, menghirup uapnya dengan mata terpejam. Teh hijau memang favoritnya. Namun, aroma kopi selalu menjadi pelarian ketika otaknya mengalami kebuntuan seperti saat ini.

Sena yang melihat itu hanya berdecih pelan. Tinggal menunggu waktu saja sampai Hanin mau buka suara. Dan itu tidak akan lama lagi.

Benar saja. Setelah menyeruput sedikit kopi itu, Hanin mengubah posisi menjadi menghadap pada Sena.

"Lo tahu penulis namanya anonim, penulis Sesal yang lagi gue garap?" tanya Hanin.

Dahi Sena mengerut. "Enggak," jawabnya.

Hanin berdecak. Raut wajahnya kembali murung. Dia pikir, Sena akan tahu, mengingat perempuan itu terkadang aktif sekali bergosip dengan tim script hunter. Siapa tahu, kan, si anonim ini pernah menjadi bahan gosip mereka? Kalau Sena saja tidak tahu, bagaimana mungkin dirinya bisa mendapatkan identiras penulis itu dengan mudah?

"Kenapa, sih, emangnya? Biasanya lo nggak pernah KEPO sama penulis novel yang lagi lo garap."

"Nggak ada," jawab Hanin singkat. Perempuan itu kembali menelungkupkan wajah pada meja. Sedikit energi yang sempat dia dapatkan dari menyeruput espresso buatan Sena pun ikutan lenyap.

Anonim sialan! Hanin memaki dalam hati.

***

Selamat Hari Raya Idulfitri 1444 H, Teman-teman. Mohon maaf lahir dan batin❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top