1. Wisata Masa Lalu
"Nin! Cowok lo nyariin, tuh!"
Hanindira menoleh ke arah kantin yang ditunjuk sang sahabat. Mendengar penyebutan cowok lo keluar dari mulut perempuan itu, secara otomatis telah menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam diri Hanin.
"Apaan, sih, Sen? Gue kan udah bilang, dia bukan cowok gue lagi." Hanin membantahnya dengan wajah cemberut.
Memang, dirinya dan laki-laki itu sudah tidak lagi menjalin hubungan sejak beberapa bulan lalu. Hubungan yang diawali dengan perasaan penuh cinta yang menggebu itu, kandas dalam semalam akibat kecerobohan pihak lain. Kecerobohan yang menunjukkan bahwa sebuah kesalahan teramat fatal telah dilakukan oleh laki-laki itu.
Seanina, sahabat Hanin itu, tertawa saja. Dia tahu—sangat tahu, bahwa keberadaan seorang Mahardika Rusydi di hadapan mereka akan menjadu penyebab suasana hati Hanin memburuk untuk beberapa hari ke depan. Namun, dia juga tidak ingin membiarkan sahabatnya itu berlarut-larut dalam kubangan menyakitkan tersebut. Jadi, Jenna selalu berusaha menjadikan kehadiran Dika sebagai bahan candaan.
"Kurus banget sekarang. Nggak diurus kali ama si pelakor."
Celotehan Sena sontak membuat Hanin menoleh dengan kedua mata yang melotot. Hubungannya dengan Dika memang berakhir karena adanya orang ketiga. Akan tetapi, entah kenapa, dia tidak suka menyematkan gelar pelakor—perebut laki orang—kepada orang ketiga itu.
Entah, rasanya kurang benar saja ketika hanya salah satu pihak yang diberi label menyedihkan. Padahal, ada dua orang yang melakukannya secara sadar.
Tidak. Perasaannya itu tidak menampik fakta bahwa seorang Seanina Agista telah menempelkan berbagai label yang menunjukkan kebenciannya terhadap seorang Mahardika Rusydi yang telah berselingkuh dari sang sahabat.
"Kebiasaan, lo!" tukasnya.
Sena nyengir saja. Dia sudah biasa mendapat pelototan itu dari sahabatnya saat membahas hal ini. Toh, hubungan pertemanan mereka akan tetap baik-baik saja meski nanti akan ada drama bad mood yang melanda.
"Balik nanti mie nyemek dulu, ya?" Hanin melanjutkan sembari kembali fokus pada komputer di atas meja kerjanya.
Sena hanya mengangguk. Tanpa ada rasa antusias sama sekali. Pasalnya, dia tidak suka mie jenis tersebut. Prinsipnya, untuk apa memakan mie lembek dan becek seperti itu ketika di luaran sana banyak mie yang kenyal dan segar di lidah? Dia bisa memilih menu lain, memang. Namun, melihat Hanin memakan mie lembek itu dengan penuh cabai membuat nafsu makannya turun.
Sayangnya, dia tidak bisa menolak. Selain demi menjaga keharmonisan pertemanan mereka, alasan utamanya adalah rasa tidak tega membiarkan sang sahabat makan sendirian di kala hatinya sedang dirundung pilu.
"Ya, serah lo." Sena pasrah.
Sementata itu, dari sisi lain di ruangan ini, Mahardika menatap tempat kerja sang mantan dengan sendu. Hatinya sangat ingin menghampiri perempuan itu, lalu mengajaknya bicara, dan memeluknya—kalau bisa. Seperti yang biasa dia lalukan beberapa bulan lalu, sebelum kebodohannya menimbulkan sesal mendalam yang masih bercokol hingga saat ini.
Dia ingat sekali. Setiap datang ke perusahaan ini, dirinya tak pernah absen untuk menganggu perempuan bernama Hanindira Aulia itu. Mereka akan tertawa bersama untuk beberapa waktu, lalu diakhiri dengan janjian makan siang bareng di salah satu restoran sekitaran kantor yang menjadi favorit mereka.
Makan siang itu akan mereka lalui dengan penuh canda dan tawa, atau dengan obrolan serius tentang apa pun yang menyangkut hidup keduanya.
Masa lalunya bersama Hanin begitu menyenangkan. Masa lalu yang tidak akan bisa dia ulang lagi.
***
Hanin tak sengaja melihat ke arah restoran yang terletak di seberang tempat dirinya dan Jenna makan malam. Di sana adalah tempat biasa Dika mengajaknya makan siang setiap kali laki-laki itu berkunjung ke kantor. Restoran seafood yang menyimpan banyak kenangan manis. Dia bersyukur, setidaknya, tempat itu tidak sekaligus memberinya kenangan pahit seperti ketika berada di pantai favorit mereka berdua.
Benar. Hanin memergoki Dika berselingkuh dengan rekan kerja laki-laki itu di sana. Tidak secara langsung, memang. Namun, kondisinya, Hanin dan Dika sedang berdua. Menikmati akhir pekan setelah minggu-minggu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suasana sangat damai dan menenangkan, dengan Hanin bersandar di bahu Dika sembari menikmati langit di atas Pantai Ancol yang kemerahan.
Belum hilang kemerahan di langit, Hanin tak sengaja melihat layar ponsel Dika berdering, menerima panggilan masuk. Tidak seperti biasanya, Dika menjawab panggilan tersebut dengan meminta izin untuk menjauh sebentar. Katanya, urusan pekerjaan yang sangat genting. Padahal, segenting apa pun, laki-lali itu tidak pernah beranjak barang sejengkal pun saat menerima telepon.
Tentu saja, Hanin tidak terlalu ambil pusing. Pada awalnya. Namun, sikap Dika saat kembali, membuat radar curiganya menyala. Benar saja. Saat Dika menitipkan tas untuk pergi ke toilet, ponselnya tidak dibawa. Laki-laki itu memang tidak pernah membawa barang elektronik atau lainnya jika ke toilet. Tentu, sangat menguntungkan bagi Hanin yang sedang dilanda curiga.
Hanin tidak pernah mengotak-atik privasi sang pacar. Sekalipun dia memegang ponsel atau tablet, yang dilalukan hanyalah mencari layanan streaming jika mereka sedang ingin menonton. Kali ini, Hanin akan melanggar batasannya. Tingkah aneh Dika baru terjadi sekali, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk membiarkan rasa penasaran bercokol lebih lama. Ditambah, kesempatan datang dengan sangat cepat.
"Lo ngapain, sih, bengong ke arah resto itu mulu?" Pertanyaan yang dibarengi jentikan jari Sena telah menarik Hanin dari lamunannya.
Perempuan itu menggeleng saja tanpa berniat memberi jawaban. Toh, dia yakin Sena sebenarnya sudah hafal dengan kebiasaannya me-recall masa lalu di sini.
"Kalau menurut gue, ya, mending lo cari pacar baru, deh. Biar nggak ngelamunin tu cowok kardus melulu." Sena kembali berucap panjang lebar sembari mengunyah kwetiau goreng dengan khidmat.
Hanin mendengkus sinis. "Gue bukan lo, ya."
Seanina Agista terkenal di lingkungan mereka sebagai perempuan yang mudah sekali melupakan masa lalu. Beberapa waktu setelah putus, pasti ada saja laki-laki baru yang digandengnya. Rekor terlama seorang Seanina menyendiri hanya dalam hitungan bulan. Itu pun lima bulan. Tidak pernah lebih dari itu. Setidaknya, selama tiga tahun mereka saling mengenal.
Tidak ada raut tersinggung atau marah dari raut Sena saat mendengar ucapan Hanin. Pertemanan mereka memang baru tiga tahun, tapi toleransi terhadap diri masing-masing sudah melebihi saudara.
"Lagian, udah putus, putusnya disakitin, masih aja dikenang. Kurang kerjaan banget hidup lo."
Ocehan sang sahabat tak membuat Hanin bereaksi lagi. Dia berusaha mengenyahkan kenangannya bersama Dika yang sering sekali mampir tanpa permisi dan membuat suasana hati berantakan seharian. Perempuan itu melahap kembali mie nyemek pedas yang tersisa setengah. Rasanya sangat memuaskan, karena tingkat pedas yang diberi si penjual sudah sesuai dengan keinginan.
Sena menggeleng. Dia mungkin tidak akan pernah mengerti rasa sakit yang dialami seorang Hanindira Aulia. Namun, dia sungguh-sungguh tulus berharap bahwa sahabatnya itu bisa segera menghilangkan laki-laki yang telah mengkhianatinya dari pikiran. Dia ingin Hanin kembali bahagia dalam menghadapi masa depannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top