7. Malam Pengantin
Aku berjalan perlahan diapit Ibu dan Tante Maryam. Aku masih ingat bagaimana dia menangis memelukku saat aku mengatakan menerima pinangannya. Sekarang pinangan itu sudah menjadi nyata. Pernikahan ini nyata. Aku menggeleng meyakinkan pikiranku sendiri.
“Ibu senang akhirnya kamu menjadi menantuku.” Tante Maryam berbisik di telinga kiriku. Sejak aku memberi jawaban, dia bersikeras menyuruhku memanggilnya ibu. Hanya saja, saat ini lidahku belum terbiasa.
“Lihat, Saila. Ardi sangat tampan duduk di sana.” Ibuku sendiri senang menggodaku rupanya. Aku tak berani melirik, bahkan kepalaku terlalu dalam menunduk.
Aku tak sanggup membayangkan bagaimana wajah lelaki itu saat menatapku. Mungkinkah dia akan tersenyum? Atau menatapku penuh kebencian?
Tiba di depan penghulu, aku melihat kaki lelaki yang duduk di sebelahku. Sebelum meninggalkanku, Ibu dan Tante Maryam mengusap lembut bahuku. Penghulu memintaku menandatangani berkas-berkas, saat itu lah mataku bertemu dengan air mata Mbak Rista yang sedang dia tahan. Wanita itu tersenyum dan mengangguk menatapku. Aku membalasnya juga dengan senyuman.
Setelah selesai dengan urusan berkas-berkas pernikahan, penghulu memintaku mencium tangan suamiku. Leherku menjadi kaku saat aku berusaha menoleh. Aku belum berani menatap matanya, masih kutundukkan tanganku saat meraih tangannya yang kekar dan membawanya ke bibirku.
Tangan itu hangat dan sedikit bergetar. Ternyata bukan aku saja yang gugup. Kupikir, karena ini yang kedua, dia bisa lebih santai.
Tante Maryam setengah berbisik di belakang Ardi. Meski sedikit gemetar, kedua tangan itu meraih kepalaku dan dia memberiku ciuman pertama.
Bibir hangat menyentuh keningku. Tidak lama, hanya sebentar tapi mampu memberikan getaran-getaran lembut yang belum pernah kurasakan. Saat dia menjauhkan wajahnya, aku memberanikan diri menatap matanya.
Kami saling menatap beberapa detik sebelum dia kembali menatap ke depan. Aku tak menemukan tatapan penuh kebencian. Tapi tak kudapati juga tatapan penuh cinta. Aku menghela napas, tersadar bagaimana kami bisa menikah. Mungkin dia belum mencintaiku. Mungkin dia masih merasa bersalah pada Mbak Rista. Atau mungkin dia ingin aku menyerah?
*
“Kamu istirahat saja, Saila. Jangan ikut beres-beres.” Tante Maryam mencegahku memungut gelas minuman bekas. Aku hanya mengangguk dan mundur.
Setelah acara akad selesai, para tamu yang sebagian besar adalah tetangga Tante Maryam segera pulang. Menyisakan beberapa kerabat yang masih mengobrol. Ibu dan Ayah pulang setelah makan siang bersama. Dia memelukku erat dan menitipkanku pada Tante Maryam dengan air mata.
“Titip Saila ya, Mar. Tolong jaga dia. Dia satu-satunya permata yang kumiliki.” Ibu memeluk Tante Maryam dan mengusap punggungnya.
“Tentu, Rianti. Pasti aku pasti akan menjaga Saila seperti anak kandungku sendiri. Kamu berbahagia lah dengan suamimu. Jangan khawatirkan gadis nakal ini. Dia aman bersamaku.”
Aku tersenyum melihat keduanya tak lagi menitikkan air mata kerisauan. Ayah dan Ibu benar-benar pergi setelah aku dan suamiku mengantarnya ke depan.
Setelahnya, aku tak menemukan Ardi di mana pun. Mungkin dia sedang istirahat.
Aku akhirnya memilih ke dapur mengambil makanan. Sejak tadi perutku tak bisa terisi makanan.
Saat aku hendak mengambil lauk di meja makan, aku melihat seseorang juga ke dapur. Dapur dan ruang makan memang terletak berdampingan tanpa sekat. Memberi kesan lapang sekaligus tenang.
“Eh,” aku refleks mengunci bibirku. Takut mengganggu kenyamanannya.
“Kamu mau makan, Di?” Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Tante Maryam ada di belakang Ardi. “Sekalian temani Saila makan, ya? Saila, tolong kamu layani suamimu.” Tante Maryam berkedip sebelum meninggalkan kami berdua di dapur.
“Mm... Mas Ardi mau makan apa?”
“Sama seperti punyamu saja.” Dia memilih duduk di sebelahku, membuat tanganku bergetar saat mengambil beberapa potong empal daging dan mengguyurnya dengan kuah hitam.
“Ini, Mas.”
Kami makan dalam hening. Entah hanya perasaanku saja atau memang dia sengaja melambatkan makannya. Perutku yang sudah berteriak memintaku segera melahap semua makanan di piring. Begitu aku selesai makan, dia hanya menyuruhku segera beristirahat tanpa repot-repot menatapku.
Aku berusaha tenang. Kami masih butuh waktu. Kami butuh saling mengenal kembali. Aku segera mencuci piring bekasku, dan pamit ke kamar.
“Sudah selesai makannya, Saila?”
Kami bertemu di ruang keluarga, saat Tante Maryam tengah memilih tayangan televisi dengan remot di tangan.
“Sudah, Tan. Eh, Bu.”
Tante Maryam tersenyum padaku. “Ya sudah, kamu ke kamar saja. Bersih-bersih diri. Jangan lupa pakai parfum yang banyak, ya.”
Aku mengangguk kaku dan berjalan cepat ke kamar yang sudah kutempati saat akad tadi. Berusaha mengabaikan godaan mertuaku sendiri.
Sudah pukul sepuluh malam, tapi aku tak bisa terlelap. Aku sudah mandi dan berganti baju tidur. Beruntung Ibu tidak menjejali koperku dengan ratusan lingerie. Tubuhku sudah lelah berbaring dengan berbagai posisi, telentang, tengkurap, miring bahkan setengah duduk.
Aku bukan menunggu Ardi, tidak. Aku hanya masih berjaga jika tiba-tiba dia datang tanpa sepengetahuanku. Aku ingin mengobrol banyak hal sebelum dia meminta haknya. Aku ingin mendengar apa pendapatnya tentang pernikahan kami. Tubuhku menjadi gerah memikirkan yang bukan-bukan. Aku meraih botol air mineral di nakas dan mendapati isinya telah habis. Mau tak mau aku turun ke dapur mengisi botol minumanku.
Rumah terlihat sepi. Lampu utama sudah padam, berganti dengan lampu kecil. Aku meraba dan menerka arah dapur hingga tanpa sengaja aku mendengar suara lembut seorang wanita dan lelaki saling beradu.
Aku tidak mendengar jelas percakapan mereka. Aku memutuskan segera pergi dari pada menguping. Namun saat hendak berbalik aku mendengar suara Ardi.
“Aku ingin menghabiskan malam ini denganmu, Ris.”
Tubuhku bergetar, secepat kilat aku menuju dapur dan mengisi botol minumanmu. Aku bahkan lupa tidak segera mengambil minum. Setengah berlari kembali ke kamarku dan menutup pintu sepelan mungkin.
Dadaku bergetar, tubuhku gemetar. Kakiku lemas. Aku memukul dadaku berulang kali, bukannya berhenti, dentuman di dada justru melesakkan air mata. Aku mengusap kasar mataku, tapi cairan bening itu semakin deras.
Aku tidak tahu kalau kamarku dan Mbak Rista bersebelahan.
Aku menutup telingaku. Tidak ingin mendengar jeritan kepuasan suamiku.
Ini malam pengantinku.
Dan suamiku tidak mau menghabiskannya denganku.
Dia justru asyik mencumbu istri pertamanya. Bermesraan berdua. Tak memedulikan keberadaanku.
Aku melirik cermin di samping tempat tidur, bayangan seorang gadis dengan lelehan air mata mungkin tak menarik baginya.
Tapi aku juga istrinya!
Tidak kah bisa dia berbicara baik-baik padaku? Menjelaskan semua kegilaan ini?
Apakah aku seburuk itu di matanya?
Ibunya yang memintaku menjadi istri keduanya, kenapa dia tidak bisa menganggapku ada?
Aku bertanya-tanya dalam keheningan.
Aku mengambil botol minuman yang ada di pangkuan, segera kuteguk hingga sepertiga bagian. Kurebahkan tubuhku. Kuatur napasku. Aku ingin malam ini segera berlalu.
*
Terima kasih sudah bertahun sampai di bab ini. Semoga terus bertahan di bab-bab selanjutnya.
Salam
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top