5. Alasan Tante Maryam
Hai, maaf lama gak update. Semoga bab ini bisa memuaskan kalian.
*
Apa yang menjadi keputusan adalah pilihan hidupku.
Selama tiga hari ini aku berpikir, menimbang-nimbang semuanya. Dan aku masih belum punya cukup keberanian untuk memilih.
Setelah pulang mengajar, untuk sesekian kalinya, Faras menjemputku. Tentu alasan makan siang adalah senjata untuknya. Aku tak risi. Karean kehadirannya sedikit banyak membuatku melupakan masalah hidup.
“Sudah selesai semuanya?”
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya begitu tiba di mobil miliknya. Faras yang berdiri di depan mobilnya sigap melangkah menghampiri dan membukakan pintu untukku.
“Silakan masuk Tuan Putri.”
“Apaan, sih.” Aku menepis senyumnya yang melebar. Dia hari ini sangat tampan dengan kemeja hitam, kulitnya yang cerah seakan bersinar di balik kegelapan.
“Mau langsung makan?”
Aku mengangguk. “Memangnya kamu mau ke mana, Ras?”
Aku memanggilnya dengan nama, sesuai permintaannya beberapa tahun yang lalu. Alasannya, biar lebih akrab. Aku hanya menurut, karena yang terpenting bagiku adalah bisa dekat dengan anak-anak Ayah.
“Mau temani aku beli hadiah, nggak?”
“Mau nyari apaan?” Aku balik bertanya. Kalau yang dicarinya benda yang sulit didapatkan, tentu aku menolak.
“Perlengkapan bayi. Temanku ada yang baru memiliki anak perempuan. Kupikir, kamu bisa memilihkan beberapa baju yang lucu untuknya.”
Kedua alis Faras terangkat, sedikit merayuku. Dia tahu aku menyukai anak-anak. Karena itu lah aku memilih bekerja sebagai guru taman kanak-kanak.
“Baik lah, asal nanti upahnya bakso dobel.”
Kami tertawa. Tidak lama kami tiba di sebuah babyshop yang terlihat besar. Aku masuk mendahului Faras yang masih mengunci pintu mobil. Begitu membuka pintu, mataku sibuk memindai baju-baju bayi yang sangat lucu.
“Ah, ini bagus sekali, Ras!” Aku berseru saking senangnya. Faras mendekat dan menilai pilihanku.
“Babynya cewek, Saila. Kenapa memilih kemeja?”
Aku menepuk keningku, lupa pada pesan Faras. “Oke, aku cari lagi. Wait!”
Aku menelusuri rak-rak yang menggantung dres bayi berbagai warna. Pilihanku jatuh pada rok tutu dengan warna soft blue.
“Ini?”
Faras yang mengekor mendekat, dia menyentuh dress yang kupilih.
“Boleh, ini bagus.”
Mataku pasti berbinar. Aku menoleh sekali lagi ke deretan pakaian anak, dan tak sengaja menangkap sebuah dress simpel berbahan katun dengan motif bunga-bunga.
“Ini bagus, Faras. Lihat, deh. Gemes banget!”
Faras menatap pilihanku. Dia mengangguk menyetujui.
“Jadi yang mana?” tanya Faras dengan bersedekap.
Aku menoleh bergantian pada kedua tanganku. Dua dress ini sangat lucu dan mencuri mataku.
“Dua-duanya aja lah. Bagus. Sayang kalau enggak dikasih.”
Lelaki yang menyingsing lengan bajunya itu menghela. “Aku mana bisa gak nurutin kamu. Udah kayak simulasi suami istri, belum?”
Faras tertawa mendapati mataku yang melebar padanya. Aku memang dekat dengannya, tapi aku tidak suka dia membahas lebih tentang kami.
“Baiklah, ayo ke kasir.”
Kami keluar dari babyshop dengan sedikit canggung, Faras sibuk menerima telepon dari temannya. Sementara aku sibuk membayangkan bagaimana bayi yang akan Faras jenguk memakai hadiah darinya.
Setelah makan siang dengan semangkuk bakso urat, aku menggiring Faras mengantarku pulang. Aku tidak jadi meminta traktir lebih karena masih sedikit canggung akibat pembahasan tadi.
Begitu tiba di depan rumah, Faras mengernyit. Dia menoleh padaku dan menunjuk dengan dagunya.
“Oh, itu temen Ibu mungkin.”
Aku yang masih terkejut hanya memberi jawaban singkat. Tak mungkin aku menjelaskan siapa pemilik mobil itu padanya.
“Kalau gitu aku langsung balik aja.”
“Loh, enggak pamit dulu sama Ibu?” Bibirku lancang sekali menahannya.
Dia berpikir lalu mengangguk. “Bentar, doang, ya? Takut ganggu.”
Kami turun dengan perasaan yang hampir sama.
Ingin pergi secepatnya.
Tapi aku mana bisa?
“Assalamu’alaikum” Hampir bersamaan kami berucap ketika mendorong pintu. Ruang tamu sepi. Hanya ada jejak berupa tas tangan.
“Kayaknya lagi makan, deh. Masuk aja, Ras.” Aku melenggang memimpin jalan. Di ruang makan kutemukan Ibu dan Tante Maryam sibuk membereskan sisa makanan dan piring kotor.
Ibu menyadari kehadiran kami. Dia tersenyum menghampiri.
“Loh, ada Faras. Sini makan dulu.”
Faras tersenyum singkat dan menggeleng. “Kami baru aja makan, Tan.”
Ibu mengangguk mengerti. Dia menerima uluran salam dari Faras. Aku tersenyum melihat keduanya berpelukan sebentar. Ibu bukanlah orang yang melahirkan Faras, tapi dia bisa diterima dengan baik.
Faras tak membencinya meski dia tak bisa memanggil Ibu sepertiku. Dan Ibu tak mempermasalahkannya. Baginya, dia bisa dekat dengan anak-anak Ayah adalah sebuah kebahagiaan tersendiri.
“Faras langsung balik, Tan. Kerjaan belum kelar.”
Lelaki bertubuh lebih tinggi dariku itu mengangguk pada Tante Maryam dan berbalik diantar Ibu. Meninggalkan aku dan Tante Maryam. Aku mendekat dan mengulurkan salam. Tante Maryam menghelaku duduk di sampingnya.
“Baru pulang ngajar, Saila?” Meski senyum di bibirnya terpasang sempurna. Aku tahu tidak lama lagi pertanyaan maut akan segera tiba.
“Iya, Tan. Pulang ngajar, nganter Faras mampir beli kado buat temennya yang baru punya baby.”
Tante Maryam mengerjap, dia menoleh pada Ibu yang baru datang dari luar.
“Kamu dari babyshop, Saila?” Ibu kembali mencercaku.
Aku mengangguk, wajah bahagia sisa dari toko tak bisa kututupi.
“Lihat baju-baju bayi aku ikutan gemes, Bu. Faras bahkan beli dua baju pilihanku. Kami sama-sama bingung.”
“Saila....” Ibu menegurku, tapi tak kuhiraukan.
“Sudahlah Rianti. Tidak apa-apa.” Tante Maryam mengambil tanganku, membawanya ke pangkuan. “Kamu bisa senang hanya dengan membeli baju-baju untuk bayi orang lain. Gimana kalau kamu membelikan baju untuk bayimu sendiri? Pasti rasanya lebih berbunga-bunga.”
“Tentu, Tan. Aku akan memilihkan baju yang lucu dan menggemaskan untuk bayiku kelak.” Aku menengadah membayangkan sedang menggendong bayi lucu. Senyum tak dapat kuhentikan.
“Kamu masih memiliki kesempatan menimang bayi. Tapi Tante tidak.”
Aku menatap mata Tante Maryam. Ada kesedihan yang dia pendam.
“Mar...”
“Kenapa Tante tidak bisa?” Aku belum tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kepalaku mendadak kosong. Bahkan bayangan bayi-bayi lucu pun ikut menghilang.
“Rista mandul. Ardi tidak akan punya anak. Artinya aku tidak akan pernah menggendong cucuku. Darah daging anakku sendiri.”
Dadaku tersengat seperti terkena petir. Aku mulai memahami situasi. Kubalas genggaman Tante Maryam.
“Tante yang sabar, pasti ada jalan untuk mereka memiliki momongan.”
Aku melirik Ibu yang menatap sedih Tante Maryam.
“Garis keturunan Ginanda harus terhenti. Aku sudah menyuruh mereka berobat, tapi kata dokter walau berobat, hasilnya pun sangat minim. PCOS yang dia derita cukup parah.”
Hening.
Aku seperti mengurai benang kusut.
“Apa... Apa ini alasan Tante Maryam melamarku?”
Wajah letih itu menengadah, menatapku dengan mata penuh air mata. Dia mengangguk dan meminta maaf.
“Tante hanya ingin garis keturunan Ginanda tidak putus. Karena itu Tante menyuruhnya menikahimu.”
Aku menggeleng, “Kenapa dia tidak mencoba cara lain? Ibu pengganti atau rahim pengganti, misalnya?” Tiba-tiba aku teringat pada novel-novel yang kubaca.
“Tidak akan bisa, Saila. Hukum di negeri kita tidak merestui itu. Hanya kamu yang bisa membantu Ardi.” Isak lirih terdengar meski Tante Maryam mencoba menghapus air matanya.
“Kenapa harus aku?”
“Karena Tante percaya padamu, Saila.”
*
Jadi, maukah Saila menerima pinangan Maryam?
Salam
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top