4. Lelaki Lain
Satu minggu kuhabiskan dengan berdiam diri di kamar. Tidak masuk kuliah, bahkan tidak bersosialisasi dengan siapa pun. Ibu dan Ayah tak pernah berhenti bergantian membujukku keluar.
Tapi aku menolak.
Aku butuh sendiri.
Aku berusaha menerima takdir yang sudah digariskan untukku.
Jangan tanya bagaimana keadaan hatiku. Seperti kamu sudah menabung untuk sesuatu yang ingin kamu beli tapi ternyata sudah dibeli orang lain, rasanya sesak. Kecewa tak dapat kuhindari. Kalau kata orang Jawa, mergelo.
“Saila, Faras menunggumu di ruang tamu.”
Ketukan pelan di pintu kamar menjelang senja membuatku terkejut. Cukup lama aku berpikir, akhirnya aku memutuskan mulai membuka diri. Tidak menduga lelaki itu pertama kalinya menemuiku secara pribadi di rumah. Biasanya kami hanya bertemu di kampus atau saat Ayah mengajak kami keluar. Tidak baik juga membiarkan tamu kembali tanpa berjumpa denganku. Aku merapikan pakaianku dan mencuci muka. Berharap wajah layu ini sedikit segar.
Lelaki dengan jaket jins itu menegakkan tubuh begitu melihat kedatanganku. Aku tersenyum tipis, menyambutnya dan duduk di depannya. Lama kami hanya terdiam. Biasanya dia selalu ramai.
“Hai—“
“Ada apa—“
Kami tergelak, Faras memamerkan lesung pipinya.
“Pasti kamu nanya, ngapain aku ke sini. Iya, kan?”
Aku mengangguk, kuamati wajahnya yang semakin berisi. Aku menghitung berapa lama kami tidak bertemu, hanya beberapa hari dan dia sudah berubah.
“Kata Ayah kamu lagi patah hati. Pantesan nggak nemu di kampus. Ternyata lagi dikurung di sini.” Faras menatap isi ruang tamu, dia mengangguk entah karena suka dengan desainnya atau menilai kurang sempurna.
Aku mencebik. “Hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.”
“Keluar, yuk?”
Aku menoleh keluar. Matahari semakin turun, aku memicing padanya. “Kata orang tua dulu, enggak boleh keluar waktu magrib.”
“Ya enggak sekarang juga, Saila. Tapi kamu mau, kan?”
Aku menimbang-nimbang ajakan Faras. Kami lalu keluar mengelilingi kota menggunakan motor miliknya. Tak ada tempat khusus, hanya berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Kami pulang tidak terlalu larut. Bahkan Ayah dan Ibu masih bercengkerama di ruang tv.
Sejak saat itu dia semakin sering membawaku keluar rumah. Membuat luka di hatiku perlahan mulai kering.
Kehadirannya yang selalu ada di saat-saat terpurukku menyentil sudut hatiku. Aku tak boleh rapuh, aku tak boleh lemah. Jika Ardi bukan jodohku, aku masih pantas mendapatkan jodoh terbaik dari Tuhan.
Faras selalu ada saat aku butuh. Dia bahkan rela membuang waktu liburnya demi aku. Terkadang, dia menyelesaikan pekerjaannya di rumahku sambil menemaniku menyelesaikan tugas akhir.
*
Pagi setelah pinangan tak terduga, aku sudah bersiap dengan kemeja linen dan celana serupa. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi untukku.
“Kamu harus makan yang banyak. Kepalamu butuh tenaga untuk berpikir keras.” Ibu tersenyum dengan mengedipkan sebelah matanya. Aku membalas senyumnya disertai dengan gelengan. “Kamu sudah memutuskannya, Saila?”
Aku menelan nasi sedikit tergesa. Kudorong dengan beberapa teguk air.
“Aku belum tahu, Bu.”
Nasi goreng yang baru kusentuh beberapa sendok itu tak lagi menarik nafsuku. Meski sejak kemarin perut tak terisi, aku mendadak kenyang.
“Perasaanmu padanya, apakah masih sama?”
Aku menggeleng, “Seharusnya aku sudah bisa melupakan dia. Tapi pinangan itu? Rasanya....” Aku tak bisa meneruskan suaraku. Perasaan yang tiba-tiba membuncah tak dapat kutahan.
Ibu meletakkan sendoknya dan meneguk air putih. Dia sepertinya juga tidak bernafsu menghabiskan masakannya sendiri.
“Masih ada beberapa menit, kami bisa cerita ke Ibu agar kamu bisa bekerja lebih tenang.”
Aku melirik jam di samping lemari, mengikuti arah mata Ibu. Pukul enam lewat lima menit.
“Ibu tahu, kan, bagaimana aku berjuang untuk move on?” Ibu mengangguk. “Aku berusaha bangkit, sebisaku, sendirian. Mungkin dengan bantuan kalian juga. Tapi yang menata hatiku adalah aku sendiri. Kini, saat aku sudah bisa berdiri tegak melangkah menatap masa depan, kenapa lamaran ini justru datang?”
“Kita tidak pernah ada yang tahu takdir, Saila. Jangan salah kan siapa pun. Saat ini Ibu hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu?”
“Aku tidak tahu, Bu. Aku bingung.”
Ibu bersandar dengan mendekap dada, mengamatiku.
“Semua jawaban ada di kamu, Sayang. Ibu hanya bisa memberi nasehat dan mendukung keputusanmu. Apa pun itu.”
Aku mendesah, Ibu benar.
Semua keputusan ada padaku. Aku berhak menolak atau menerima. Terserah padaku. Hanya saja, hati ini. Kenapa jadi seperti ini?
Aku tidak tahu apa yang membuatku menjadi seperti ini. Kukira aku sudah bisa bersikap biasa saja. Tapi kabur selama empat tahun dari wajahnya, tak menjamin semua itu. Aku masih tidak baik-baik saja bila menyangkut tentang dia.
“Keputusan apa pun, Bu?” tanyaku hati-hati. Memastikan sekali lagi dukungan Ibu padaku.
Dia mengangguk, membuat dadaku melonggar.
“Kalau aku memilih keputusan yang menurut Ibu salah, bagaimana?”
Kepalaku sudah mentok, tak bisa lagi diajak berpikir jernih.
“Semua sudah ada konsekuensinya, Saila. Kamu menolak pinangan Ardi, berarti kamu harus siap kehilangan kesempatan emas. Tak banyak orang yang bisa memiliki kesempatan kedua, dan kamu saat ini memiliki kesempatan itu.” Ibu mengisi mulutnya dengan air. “Tapi kalau kamu menerima pinangan itu, kamu harus siap berbagi dan menjadi yang kedua. Bukan yang pertama.”
Menjadi yang kedua.
Istri kedua.
Berbagi hati.
Mendapat cibiran.
Dicap perebut suami orang.
Perusak rumah tangga orang.
Tidak punya hati karena menyakiti istri pertama.
Dipandang sinis oleh orang-orang.
Aku tak sanggup membayangkan sakitnya. Meski akan menjadi yang kedua, rasa sakitnya pasti sama dengan yang pertama. Dan di mata masyarakat, pasti lah yang kedua yang dicap salah.
Aku mengendus terlalu dini nyeri yang akan kami rasakan. Andai aku menerima pinangan itu.
“Kamu enggak akan pernah tahu rasanya sebelum benar-benar mencoba, Saila. Jangan membayangkan yang berlebihan. Cukup ikuti saja kata hatimu.”
Hatiku.
Aku meraba dadaku.
Kurasakan getarannya.
Kudengar degup jantungku sendiri.
Aku mengambil udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paruku. Lalu kuembuskan perlahan seraya menatap mata lembut Ibu.
“Ibu, salah kah aku berbahagia karena dipinang ibu dari lelaki yang pernah kucintai?”
*
Salam
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top