2. Belajar dari Ibu
Tidak ada yang pernah tahu siapa jodoh kita. Bisa jadi seseorang yang sudah bersama puluhan tahun tiba-tiba tidak menjadi jodohnya. Atau jodoh yang selama ini diharapkan, ternyata menjadi jodoh orang lain.
Kepalaku sedikit pusing memikirkan lamaran Tante Maryam. Saat makan malam, hanya sedikit makanan yang dapat masuk ke perut.
“Saila, jangan melamun terus. Buruan dihabiskan makanannya.”
Aku memasukkan satu sendok penuh makanan ke mulut dan mengunyah perlahan. Tapi kerongkonganku tiba-tiba tercekat. Aku segera mengambil air putih dan meneguknya perlahan. Ibu membantu dengan menepuk punggungku, sementara aku mengatur napas yang mulai berhamburan.
“Pelan-pelan, Saila. Jangan terburu-buru. Kamu harus makan yang banyak.”
Aku hanya menatap ibu sekilas, lalu kembali meneguk sisa air putih di gelas. Bagaimana bisa aku bernafsu makan, kalau kalimat Tante Maryam selalu menghantui?
“Bu....”
“Apa? Kalau kamu ingin bicara, nanti setelah selesai makan.”
Ibu kembali ke kursinya dan melanjutkan makan. Dia bisa sesantai itu menghadapi anaknya yang akan menjadi madu. Aku menghela udara dan mencoba menghabiskan makananku pelan-pelan.
Setelah tiga puluh menit, Ibu membereskan sisa makanan sementara aku mencuci piring. Biasanya kami makan bertiga bersama Ayah. Tapi Minggu ini dia berhalangan.
Aku mengusap tanganku yang basah dengan serbet. Setelah ini, seharusnya aku menyiapkan materi untuk besok di sekolah. Tapi aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
“Kenapa?”
Ibu duduk dengan dua cangkir teh hijau kesukaannya. Tentu cangkir yang masih utuh itu milikku. Ibu memegang cangkir miliknya dan menghidu aroma teh yang menguar. Aku menyusulnya lalu mencoba meniru caranya merelaksasi kepala, tapi aroma teh justru membuatku semakin mual.
“Menurut Ibu, aku harus bagaimana?”
Mata Ibu terbuka, dia menatapku yang masih memelas padanya.
“Kamu masih mencintainya, Saila?”
Ah, pertanyaan itu. Kenapa harus menjadi pembuka diskusi kali ini? Aku menggorek dasar hatiku, meraba-raba sesuatu di sana.
Awalnya kupikir aku sudah bisa benar-benar melupakannya. Tapi lamaran tadi pagi kembali menghadirkan tunas-tunas baru. Aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Benarkah aku masih mencintainya?
Aku mengedikkan bahu, tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan hatiku.
“Entahlah, Bu. Kenapa Ibu menanyakan hal itu?” Aku masih penasaran dengan alasan Ibu.
“Ibu hanya ingin tahu saja.”
“Apakah itu akan berarti?”
Cangkir milik ibu tersisa separuh, dia meletakkan kembali ke meja dan mulai serius menatapku. Jika Ibu sudah seperti ini, biasanya dia sedang serius. Aku mengangkat tubuh berganti posisi, mencari tempat ternyaman untuk bersandar.
Lampu di rumah ini sudah hampir padam seluruhnya, menyisakan dapur yang menghadap ke taman. Kami duduk di kursi samping air terjun buatan. Menikmati teh dengan iringan gemercik air.
“Tentu saja, Sayang.” Ibu tersenyum penuh arti. “Perasaanmu bisa menjadi penentu keputusan yang akan kamu ambil.”
“Seperti Ibu,” lirihku kemudian.
Anggukan Ibu sudah memberiku jawaban. Aku teringat kisah mas lalu Ibu.
Ibu menikah dengan ayah kandungku karena dijodohkan. Tidak ada cinta di antara keduanya. Mereka bertahan demi membahagiakan kedua orang tua mereka. Sayangnya, saat itu Ibu mengalami kesulitan mendapatkan keturunan. Ayah yang sangat ingin memiliki anak, meminta Ibu mengizinkannya menikahi wanita lain. Ibu tak bisa menolak, karena dia tahu kekurangannya.
Setahun setelah Ayah menikah lagi, Ibu hamil. Tapi dia keguguran bersamaan dengan lahirnya anak pertama Ayah dari istri keduanya.
Ibu tak menyerah, hingga dua tahun kemudian dia hamil dan lahirlah aku.
“Tapi saat itu posisi Ibu seperti menantunya Tante Maryam. Bagaimana aku bisa berkaca pada Ibu?”
Tolong bantu aku karena isi kepalaku yang menjadi lambat. Aku benar-benar tak habis pikir, apa yang bisa kupetik dari kisah Ibu.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan pernikahan seseorang, Saila. Ibu tidak menginginkan kamu memiliki kisah yang sama dengan Ibu. Cukup sekali saja kamu menikah, dengan orang yang benar-benar kamu cintai.”
Oh, aku mulai paham isi pembicaraan Ibu. Aku ingat saat aku berusia lima tahun, Ayah bertengkar hebat dengan Ibu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, yang kutahu Ibu hanya menangis lalu mengajakku pergi. Aku selalu berpikir Ibu dan Ayah baik-baik saja walau jarang bertemu. Ternyata mereka menyimpan luka.
Saat aku berusia tujuh tahun, Ibu bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Mereka bertemu setelah sama-sama melewati luka. Mereka kemudian menikah dan hidup berbahagia hingga sekarang.
“Ibu memang menjadi istri pertama Ayahmu, tapi Ibu tidak pernah bisa memiliki hatinya. Ayahmu menikah dengan mantan kekasihnya. Dia tidak terima Ibu bahagia dengan Ayahmu, dia ingin menguasai Ayahmu sendirian.”
Hatiku ikut sakit mendengar kisah yang baru pertama kudengar. Kupikir ibu keduaku orang baik, ternyata mereka sama saja.
“Kenapa Ibu selalu mengatakan kalau Bunda sangat baik? Kenapa Ibu menutupinya?” Bunda adalah sebutanku untuk istri kedua Ayah. Terakhir kita bertemu adalah saat aku lulus SMA. Dia datang bersama Ayah menghadiri kelulusanku.
“Entah memang benar atau tidak. Kata orang, dia pancingan agar Ibu memiliki anak.”
Mata Ibu menerawang, dia menyesap sisa teh di cangkirnya hingga tandas.
“Ibu hanya bersyukur, sejak ada kamu hidup Ibu terasa lebih indah.”
Aku meraih tangan Ibu dan menggenggamnya. Kisah Ibu memang sangat rumit, tapi aku bahagia setelah melihat senyum Ibu kembali mekar selepas bercerai dengan Ayah kandungku.
“Dan Ibu semakin bersyukur bertemu kembali dengan ayahmu. Dia lelaki pilihan Ibu, cinta pertama Ibu. Walau harus menjadi yang kedua, Ibu tak mengapa asalkan dicintai oleh lelaki yang juga Ibu cintai. Ibu belajar dari istri kedua ayahmu, Ibu tak akan pernah merebut apa yang menjadi kebahagiaan istri pertama ayahmu. Ibu hanya merasa cukup dicintai.”
Aku mengangguk, ayah tiriku benar-benar mencintai Ibu. Dia bisa bersikap adil pada kedua istrinya. Bahkan aku juga mendapat cipratan kasih sayang mereka. Sejak Ayah kandungku meninggal beberapa bulan setelah aku lulus SMA, Ayah tiriku lah yang menjadi tempatku bersandar.
“Mungkin, kalau Ibu mau menunggu, Ibu bisa saja menjadi istri ayahmu tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan ayah kandungmu. Tapi Ibu justru bersyukur, karena dari luka-luka itu Ibu memiliki kamu. Percayalah Saila, seorang anak adalah sumber kebahagiaan bagi orang tuanya.”
Dari kisah Ibu aku mengerti, saling mencintai adalah salah satu sumber kekuatan pernikahan. Meski banyak badai yang menghadang, Ibu bisa bertahan dengan kekuatan cinta.
Aku jadi memikirkan hatiku, apakah aku masih mencintai anak Tante Maryam?
*
Terima kasih
Salam
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top