1. Kabar Mengejutkan
Dunia tiba-tiba terhenti saat Tante Maryam menatapku. Tatapannya lembut, tapi dalam, dan sedikit menusuk. Perempuan dengan kemeja batik dan rok terusan itu duduk dengan anggun tepat di depanku. Meski wajahnya sedikit pucat, rona kecantikan belum luntur menghias wajahnya. Dia mengangguk seakan menyuruhku mengikuti gerakannya.
"Saila, kamu mau kan, jadi istri kedua anakku?" Permintaan itu sangat lancar keluar dari bibirnya. Seperti sudah disiapkan jauh-jauh hari dan sangat yakin mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh anaknya menikah lagi? Membagi hati dari wanita yang dicintainya tidakkah itu sulit? Bukankah dia juga wanita, apakah dia tidak tahu bagaimana sakitnya berbagi? Dan apakah istri pertamanya bisa begitu saja menerima diduakan?
Tidak pernah ada dalam bayanganku akan dipinang oleh ibu dari lelaki yang pernah menjadi cinta pertamaku. Hanya saja, pinangan kali ini sedikit berbeda.
Aku hanya terdiam sejak tadi, masih tidak percaya dengan permintaan Tante Maryam.
Tetapi...
Aku menggeleng lemah, otakku berhenti pada dua kata yang mengganjal dadaku.
"Menjadi istri kedua...." Aku tak bisa meneruskan suaraku. Bagiku dua kata itu teramat keramat. Seperti sebuah mantra yang membuat bulu kudukku meremang.
Istri kedua.
Kata-kata itu menggema di kepalaku. Berputar-putar seperti roda kendaraan membelah jalanan. Berisik, terngiang-ngiang.
"Kamu mau, ya, Saila?" Tante Maryam berusaha membujukku, namun aku masih bergeming. Kalau saja dia memintaku waktu itu, mungkin tanpa berpikir panjang akan segera kusetujui. Tapi kali ini?
Istri kedua?
Aku terpejam membuang bayangan adegan sinetron istri kedua yang dianiaya istri pertama. Bahuku tiba-tiba bergetar, ketika tanpa sengaja adegan istri pertama yang menangisi suaminya. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit itu. Dadaku terlalu rapuh untuk sekedar merasakan dalam bayangan.
"Jangan terlalu menggebu, Mar. Beri anakku waktu untuk berpikir."
Aku melirik Ibu yang tengah menggenggam tangan Tante Maryam. Keduanya tersenyum dan menatapku. Aku sedikit bernapas lega, Ibu memberikan jawaban yang bijak.
"Aku akan sabar menunggu jawaban Saila. Semoga rencana kita yang sempat gagal, bisa diteruskan kembali,"
Ibu membalas dengan mengusap bahu Tante Maryam. Keduanya terlibat obrolan mengenang masa lalu.
Mereka sudah bersahabat saat masih gadis, hingga sekarang persahabatan mereka tetap terjalin. Aku sering menemukan Tante Maryam berkunjung jika Ibu berada di rumah. Mereka mengobrol sampai sering lupa waktu. Tapi aku tak pernah tahu, rencana apa yang mereka susun dan pernah gagal.
"Kamu ingat, waktu itu pertama kalinya kamu ngajak Saila ke rumah. Dia hanya duduk manis tak mau kuajak bermain ke kamar anakku. Setelah tahu di sana ada banyak mainan, dia jadi betah bermain di sana. Haha dasar anak kecil, awalnya malu-malu lama-lama ketagihan."
Keduanya tertawa, sepertinya mengenang masa lalu bukanlah hal yang menyakitkan.
"Lalu anakmu selalu bertanya kalau aku tidak mengajak Saila ke rumahmu. Padahal saat itu Saila sedang latihan menari. Susah memang kalau sudah kangen."
Aku hanya bersandar di sofa tunggal mengamati keduanya yang sesekali melirikku. Aku bahkan tak ingat kapan aku bersikap seperti itu. Yang kutahu, aku mulai mengagumi anak lelaki Tante Maryam saat aku beranjak remaja.
Tante Maryam berdiri dan mengucap pamit setelah cukup lama mengobrol. Aku yang masih terkejut tak ikut mengantarkannya ke depan.
Ibu kembali lima menit kemudian, dia mengambil tempat di sampingku dengan tatapan lembut yang tak pernah padam. Dia mengambil tanganku, membawanya dalam genggaman.
"Bu...."
"Sudah, jangan dipikirkan sekarang. Kamu lanjut istirahat saja. Maaf, ya, hari liburnya jadi terganggu."
Ibuku memang wanita yang paling mengerti. Aku membalas genggamannya, mengangguk lalu kembali ke kamar.
Hari Minggu yang kugadang-gadang sebagai hari tenang, rupanya telah gagal. Resep bolu kukus yang baru kuperoleh dua hari lalu batal dieksekusi. Pagiku sudah terusik oleh kehadiran Tante Maryam beserta permintaannya yang aneh.
Aku mengambil udara sebanyak dadaku mampu menampungnya. Kembali kuingat rupa anak Tante Maryam empat tahun yang lalu.
Lelaki itu tersenyum sangat lebar memeluk istrinya di pelaminan. Bahkan dia sesekali mencuri ciuman. Tanpa malu memamerkan di depan banyak orang.
Jadi bagaimana bisa dia meminta menikah lagi?
Isi kepala lelaki pasti sama saja, jika ada yang kurang dengan istrinya, dia akan mencari wanita lain.
Aku tak bisa mencerna semuanya dengan baik. Tante Maryam tidak memberiku alasan yang pasti. Tapi aku juga tidak mau mencari tahu.
Ibu benar, aku memang butuh istirahat.
Tapi sejauh tiga puluh menit berlalu, aku tak bisa terpejam. Kata-kata Tante Maryam mulai bersarang di kepala.
Menjadi istri kedua?
Kenapa harus aku?
Pertanyaan itu tiba-tiba menyentakku. Aku mengerjap menyadari sesuatu lagi.
Bukankah ada banyak wanita di luar sana? Kenapa harus aku? Ada apa denganku?
Apa yang membuat Tante Maryam dan anaknya memilihku menjadi istri kedua?
Apakah di sudah sadar aku pernah mencintainya?
Aku menggeleng.
Tidak mungkin!
Seorang lelaki yang sudah menikah pasti lebih mengutamakan istrinya dari pada wanita yang pernah mencintainya. Lagi pula itu adalah masa lalu. Tak pantas rasanya jika tiba-tiba dia memintaku menjadi istrinya juga.
Apa karena rasa bersalah?
Lagi-lagi aku menggeleng.
Rasa bersalah dari apa? Siapa yang bersalah? Tidak pernah ada yang salah. Aku memang bukan jodohnya. Tapi itu dulu. Kalau sekarang dia memintaku menjadi istrinya, apakah aku adalah jodohnya?
#
Hai, aku datang lagi bawa cerita baru.
Ada yang tahu aku bakal bikin cerita tentang siapa?
Ada yang kangen mereka, nggak?
Semoga suka, ya.
Salam
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top