🏥 | Bagian Tujuh Belas

Bagian Tujuh Belas
~~~🏩🏥🏩~~~


Satu bulan berlalu semenjak Gibran dan Azkiya sama-sama menyatakan perasaan mereka kala itu. Selama sebulan pula, tidak ada perubahan signifikan dalam hubungan mereka selain Gibran yang semakin romantis dan juga memperlihatkan dengan terang-terangan rasa peduli kepada sang istri, seperti membantu Azkiya mengeringkan rambut, memijat kaki wanita itu saat pulang dari Suittelova dalam keadaan capek bukan main. Azkiya juga melakukan hal yang sama, ia kadang bergantian memijat pundak Gibran. Yang mana ujung dari semua itu hanya satu, pergulatan di atas ranjang.

Tentu saja ada sensasi aneh yang Azkiya rasakan, seperti sesuatu yang menggelitik hati wanita itu ketika ada beberapa tingkah Gibran yang berubah, memang tidak banyak yang berubah, hanya, tetap saja ia merasakan sensasi aneh—yang gilanya adalah Azkiya sangat menyukai itu di waktu bersamaan.

Seperti saat ini, mereka berada di dapur jam setengah tiga subuh karena kelaparan, lebih tepatnya Gibran yang keroncongan ketika mereka baru saja selesai membersihkan tubuh sehabis berolahraga malam, untung saja besok Azkiya shift siang, jadi tidak terlalu pusing nantinya. Lain halnya dengan Gibran, Azkiya takut pria itu sakit karena kurang istirahat, besok pagi Gibran harus bekerja dan pulang sore.

“Kelen ngapain aja tadi? Sampai baru makan tengah malam begini?” seru bunda Femmy dari arah ruang tamu, memasuki dapur dengan piyama tidurnya. Kulit di sekitar mata dan kening wanita itu mengerut, menatap dua orang di dalam dapur dengan penuh selidik.

Azkiya bangkit dari kursi yang berada di depan mini bar yang langsung terhubung ke dapur. “Emm ... Tiba-tiba kami lapar, Bunda.”

Bunda Femmy meneguk setengah segelas air putih, lalu kembali memperhatikan Gibran dan Azkiya. “Ya sudah, Bunda naik dulu, kelen cepat tidur, besok kerja kan?”

“Iya, siap, Bunda,” jawab Gibran sambil menuangkan telur di atas wajan panas. Sebenernya di dapur ini ada beberapa macam makanan buatan bunda Femmy dan Azkiya tadi, namun Gibran tiba-tiba kepengen makan telur dadar.

Setelah bunda Femmy pergi, Azkiya melemparkan tatapan kesal pada Gibran. Ia kembali duduk di atas kursinya seraya berseru, “Makanya, kamu, sih!”

“Saya kenapa?” Gibran membalikkan telur dadar tersebut. Matanya yang sedikit memerah dan terlihat sangat sayu itu menatap sang istri dengan senyum tipis.

Azkiya mencebikan bibir. “Nggak tau, hitam!”

“Sini kamu, dear.” Gibran mengajak Azkiya setelah mengangkat telur dadar tersebut ke atas piring, dan meletakkan piring di atas meja dapur, yang berada di samping kompor.

Azkiya turun dari kursi kayu tersebut, berjalan mendekati Gibran dengan tatapan meragukan. Selama ia hidup, bisa terhitung dengan jari-jari kaki dan tangannya seberapa jarang pria itu memasak di dapur.

Gibran memotong telur menjadi bagian-bagian kecil, lalu mengarahkan telur tertusuk garpu kepada Azkiya. “Cobain.”

“Asin, Gibran. Kamu pake garam sebungkus?” gerutu Azkiya sembari memaksakan diri menelan makanan itu. Seriusan, telur buatan suaminya itu sangat asing, dan tidak dianjurkan untuk orang tekanan darah tinggi.

Gibran tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Azkiya. Hingga akhirnya terbitlah sebuah ide cemerlang. Tawa pria itu pun berhenti, berganti menjadi senyum tipis. “Kalo gini nggak bakal asing, saya jamin.”

Spontan memundurkan Lang, berjalan menjauh dari Gibran jika tidak mau terserang bumerang pria itu. “Gimana? Tambah air?” serunya sarkas.

“Ck, dekatan sini, dear.” Gibran berjalan mendekati Azkiya dengan sepenggal telur yang sudah masuk ke dalam mulutnya, lalu ia kunyah perlahan-lahan. Sampailah  berdiri di hadapan Azkiya, memegang kedua lengan istrinya.

“Mana? Gim— Branhmm!”

Cup. Gibran menyatukan wajahnya pada Azkiya. Lalu perlahan pria itu menggerakkan bibir, mengajak Azkiya untuk mengikuti alur yang ia buat, dan melingkarkan tangannya pada pinggang sang istri dengan sangat erat. Gibran mengigit pelan bibir bawah Azkiya, membuat wanita itu membuka sedikit bibirnya, dengan lidah, Gibran mendorong telur dari mulutnya berpindah pada rongga mulut Azkiya. Setelah itu ia melepaskan tautan bibir mereka yang sama-sama basah dan memerah.

“Nggak asing kan?” tanya Gibran, seraya melepaskan pelukan mereka. Kembali ia tertawa melihat wajah Azkiya yang mirip seperti kanebo kering, kaku!

“Mesumnya kamu, udah, ah, kamu makan aja, aku balik kamar.” Azkiya menghentakkan kakinya di atas lantai sambil berjalan menjauh dari Gibran.

Satu hal lagi yang ingin Azkiya tambahkan tentang Gibran, suaminya itu semakin hari bertambah saja mesum. Setiap kesempatan, dalam kesempitan pun pria itu ambil. Sejujurnya, Azkiya senang, sangat senang, akan tetapi ada sisi lain dari dalam dirinya yang merasa sedikit geli, mengingat selama ini Azkiya tidak pernah melihat sisi itu dari Gibran.

Itulah perbedaan antara sahabat dan hubungan lebih dari sekedar sahabat bersama Gibran.

🏩🏥🏩

Azkiya memasuki ruang back office. Mata gadis itu meneliti satu per satu orang yang ada di sana. Ada Bianca, petugas operator dan Maya si anak concierges yang tengah bergosip-ria. Tujuan awal Azkiya yang awalnya ingin minum air pun tertahan karena tubuhnya ditarik oleh kedua manusia yang hobinya bergosip sepanjang hari tanpa jenuh.

“Heh, pengantin baru satu bulan kita makin berseri, nih? Isi kau?” seru Bianca, wanita itu sedang duduk di ujung ruangan sambil memegang kopi hitam di tangannya. Bianca memang begitu, hobinya menggoda Azkiya di setiap kesempatan, seakan-akan ada kenikmatan tersendiri melihat teman kerjanya itu cemberut.

Maya tertawa lepas, namun setelah mendapat tatapan mendelik tajam dari Azkiya, tawanya langsung meredah. “Iya, kan, kita cuma menebak saja, Azkiya, sapa tau langsung isi kan?” sahut Maya sambil menggerling nakal pada Azkiya.

Azkiya berjalan ke arah dispenser, mengisi air dingin pada gelas kosong di genggamannya. “Makasih doanya, teman-teman.”

Hanya itu yang bisa Azkiya katakan sebagai respon Bianca dan Maya. Hari ini Azkiya sedikit malas berdebat atau menanggapi ucapan teman-temannya itu. Ia haus, dan karena itu ia masuk ke ruangan ini, bukan untuk meladeni mereka. Mungkin ini efek samping dari kurang istirahat? Biasanya kalau Azkiya kurang tidur, bawaan wanita itu sensitif dan mood Azkiya cepat naik turun.

“Eh, tapi seriusan, kamu tambah cantik, loh, pipimu juga sedikit berisi sekarang.” Kali ini Maya yang menimpali layaknya cermin ajaib milik ibu tiri putri salju yang bisa berbicara, menilai semua orang dengan matanya.

Mommy Poppy yang sedang on duty masuk ke dalam back office, menatap bergantian ketiga wanita di dalam ruangan itu. “Kelen nggak kerja? Balik kerja sana,” tegur mommy Poppy.

Azkiya mengangguk paham, setelah itu berpamitan untuk kembali ke front desk. Tanpa sadar ia menghembuskan napas lega karena kehadiran mommy Poppy. Azkiya bukan tipikal orang yang tampang sensian dan ia juga sering menanggapi godaan teman-temannya dengan candaan, hanya kali ini berbeda.

Dahi Azkiya mengernyit, apa jangan-jangan ia memang sedang hamil? Itu sebabnya wanita itu mood swing seperti sekarang? Kepala Azkiya menggeleng tegas, tidak mungkin secepat ini ia hamil. Namun tidak ada salahnya juga ia membeli alat bantu tes kehamilan di apotek.

“Cepat banget baliknya. Kirain mau istirahat kau?” Lala menyahut dari seberang sana, tempatnya berjaga.

“Nggak papa,” jawab Azkiya, tersenyum kecil. Azkiya kembali menatap layar komputer di sampingnya dengan teliti, kembali memeriksa log book, dan semua keterangan guest yang ada di sana.

Sejak sebulan yang lalu Andi memilih untuk resign dari hotel Suittelova. Pria itu juga meminta maaf sebesar-besarnya kepada Azkiya atas tindakan yang ia perbuat. Azkiya sebenarnya tidak tega melihat Andi harus keluar dari hotel, namun pria itu sendirilah yang ingin pergi dari sini. Mau tidak mau, karena itu diluar kendali Azkiya, ia hanya mendoakan agar hidup pria itu lebih baik lagi ke depannya.

“Permisi, Kak, saya mau tanya, Swimming pool di mana, ya?” seorang wanita berusia sekitar 20 tahun bersama bocah laki-laki di sampingnya berdiri di depan meja front desk, menatap Azkiya dengan mata berbinar-binar.

“Area swimming pool ada di lantai 5, adik bisa pakai elevator yang di seberang sana,” jawab Azkiya seraya menunjuk elevator yang berada di dekat mereka. “Nanti jalan aja sampai ketemu belokan pertama, belok kiri, di situ tempatnya.”

“Makasih, Kak.” Keduanya pun beranjak dari hadapan Azkiya sambil memekik kegirangan.

Di luar ruangan, langit telah berubah warna menjadi kelabu bersama awan-awan tebal yang mengelilingi wilayah itu. Seperti biasa, bulan Desember adalah musim di mana hujan turun tanpa berpikir dua kali, seakan-akan mengajak semua orang yang ada di sana untuk tidak keluar rumah, beristirahat saja bersama keluarga atau orang-orang terdekat.

Tidak terasa shift siang Azkiya sudah selesai. Wanita itu berjalan keluar dari loker setelah berganti pakaian dan menghapus sisa-sisa bekas make up yang sudah berantakan. Dalam perjalanan itu pula, ia berpapasan dengan Cahaya, salah satu receptionist F&B, mereka sempat terlibat percakapan singkat sebelum ia berpamitan pergi terlebih dahulu.

Azkiya berdiri di depan security area setelah tasnya diperiksa oleh security. Dengan kepala menatap ke luar, ia menarik napas. Benar ternyata, Medan sore ini diguyur hujan deras. Azkiya menggosok kedua telapak tangan, menyalurkan kehangatan pada tubuhnya yang hanya terbalut kaos tipis bersama celana jeans. Wanita itu melirik ponsel, menimbang-nimbang apakah lebih baik menghubungi Gibran saja atau memakai jasa gojek?

Akhirnya Azkiya memilih mengubungi Gibran, namun nomor suaminya itu diluar jangkauan, di WhatsApp juga hanya centang satu. Alhasil, daripada menunggu lebih lama lagi, ia memesan gojek. Namun, sepertinya hari ini ia harus sabar-sabar menerima kenyataan yang ada, karena menunggu hingga 30 menit, tidak ada satu pun mobil yang berjodoh dengannya. Jalan satu-satunya adalah menggunakan ojek online, mumpung hujan sudah sedikit meredah.

🏩🏥🏩

Gibran setengah basah akibat menerobos hujan ketika masuk ke dalam rumah orangtuanya dengan langkah tergesa-gesa. Melangkah masuk dengan perasaan bersalah, pria itu langsung mendapatkan tatapan horor dari bunda Femmy yang berdecak pinggang di ruang tamu.

“Kau ... kau nggak jemput istri kau? Dia naik ojek dari tempat kerjanya sampai basa kuyub,” marah bunda Femmy, tidak percaya anaknya itu tidak menjemput Azkiya.

Mata Gibran terpejam, pria itu sangat menyesal karena tidak bisa menjemput Azkiya. Tadi, saat Gibran dalam perjalanan keluar dari Rumah Sakit, rencananya mau pulang. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan darurat dari UGD, ditambah lagi baterai ponselnya mati secara mendadak. Itulah kenapa ia tidak bisa menghubungi Azkiya, dan sampai detik ini pun ia tidak tahu kalau tadi Azkiya telah menelpon dan mengirimkan pesan untuknya. Tapi sebelum pulang ke rumah, ia pergi ke Suittelova, lalu bertanya pada satpam tentang Azkiya, dan si bapak tersebut mengatakan kalau istrinya sudah pulang.

“Azkiya di kamar, kan, Bunda?” Mengabaikan ucapan bunda Femmy, Gibran balik bertanya. Wajahnya tampak sangat khawatir, karena Azkiya belakangan ini jarang tidur, dan bisa saja wanita itu terserang flu.

Mendengkus jengkel, bunda Femmy berseru, “Di kamarlah! Sana, kau.”

Pria itu berjalan dengan langkah lebar menaiki tangga menuju lantai dua, letak kamarnya dan Azkiya berada dengan perasaan khawatir.

To be Continued

A.n:

Kalian bisa ketemu sama tokoh Cahaya di lapaknya Quintis8 dengan judul Kebelet Nikah. Sekuylah mampir.

Hooo iya! Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Ada typo? Salah kata? Ambigu? Kalimat belibet lainnya? Komen aja yah kelen. -3- tengkyuuuuuu bangetttttttt, loh. -3-

Okay! See u!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top