🏩 | Bagian Sembilan
Bagian Sembilan
~~~🏩🏥🏩~~~
Ruang kerja Gibran dipenuhi cat putih, sangat kontras dengan warna kamarnya. Mungkin karena itu pula Gibran menjadi bosan dengan warna putih dan terang lainnya. Lantaran en'ek dengan warna-warna tersebut-yang membuat ia merasakan suasana tempat kerja-ia memutuskan untuk tidak memberikan warna terang di rumah.
Seorang pria tua berambut setengah beruban, diperkirakan Gibran, bapak tersebut berusia sekitar 60-an masuk ke dalam sana. Ia sendirian, wajahnya terlihat sangat kurus, mata dalam, dan tidak bertenaga.
"Selamat pagi pak," sapa Gibran secerah mungkin, mengabaikan kekalutan mental yang ia gumul sajak malam.
Bapak itu tersenyum kecil, mengangguk sopan. "Pagi bapak Dokter."
"Nama Bapak siapa?" tanya Gibran sambil membuka penutup bolpen. "Dan apa keluhan yang Bapak alami?"
"Nama saya Malik, pak Dokter, belakangan ini saya sering sekali batuk disertai dahak dan belum juga sembuh selama 2 minggu lebih, padahal sudah minum obat batuk, dan biasanya sesak nafas sampai-sampai dada merasa nyeri, dan belakangan ini sering berkeringat di malam hari."
Gibran mengangguk paham, setidaknya ia tahu setelah anamnesis ini berjalan. "Apakah bapak Malik juga tidak nafsu makan?" ujarnya, memastikan lagi apa dugaannya benar atau tidak.
Kepala pak Malik mengangguk kecil. "Iya, saya juga lagi kurang napsu makan, pak Dokter."
Dokter tampan itu menutup kembali bolpen tanya biru di atas meja. Gibran menatap serius pria berumur di depannya. "Menurut gejala yang di keluhkan oleh bapak, ini tanda-tanda penyakit TBC, jadi bapak besok kembali lagi untuk pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyakit yang bapak derita, dan jangan lupa membawa dahak bapak yang ditempatkan dalam pot salep yang bersih yang dapat di beli di apotek."
Pak Malik mengangguk paham untuk kesekian kali, terlihat ia tidak terlalu terkejut dengan ucapan Gibran tentang penyakitnya. Ia kemudian berpamitan pergi dari ruang tersebut setelah mengucapkan terima kasih kepada sang Dokter.
Ruang kerja kembali sepi, Gibran menatap ponselnya dengan gelisah. Pikiran pria itu kembali terbayang wajah-wajah Azkiya yang mungkin saja kesal, bahkan marah dengan tindakan tadi malam. Menarik napas dalam-dalam, ia mengambil keputusan untuk menjemput wanita itu nanti setelah selesai bekerja.
Pintu ruangan kembali terbuka, kini kedatangan perempuan remaja bersama pria tua.
🏩🏥🏩
Azkiya menatap sepasang suami istri yang usianya sepantaran dengan kedua orang tuanya. Seperti biasa, Azkiya memasang wajah ramah, tersenyum manis menyambut kedatangan mereka.
Si ibu berbadan besar menggoyang tangan, membuat kipas di tangannya bergerak-gerak. Jika diamati lebih saksama, dandanan wanita itu mirip seperti Tante Nita, kulit wajah dan leher berbeda. Lalu si bapak yang dipastikan adalah suami ibu tersebut terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Selamat siang, Bu. Bisa di sini, Bu," seru Azkiya cepat saat mereka berjalan melewati meja kerja Azkiya yang masih kosong, menuju ke arah Cashier, Lala.
Ibu tersebut melirik Azkiya dengan ekor mata, bibir penuh dengan gincu merah darah, terlihat sangat mencolok. Ia dan suaminya berjalan ke arah Azkiya sambil memutar bola mata. Seketika perasaan Azkiya tidak enak.
"Saya mau check in, Kak," seru si ibu sembari mengeluarkan KTP dari dompetnya.
Sedangkan suaminya tidak lagi memainkan ponsel, dan kini menatap Azkiya terang-terangan dengan tatapan genit. Sungguh! Jika Azkiya tidak sedang in charge, sudah pasti mata si Bapak itu Azkiya colek pake sambal ijo! Mengabaikan itu semua, wanita itu tetap berusaha untuk tenang dan profesional dalam bekerja.
"Baik, Bu. Saya bantu registrasi dulu ya, Bu. Untuk ideal check in time kami jam dua siang, jadi kamar yang bersih dan rapi kemungkinan lebih besar ada, tapi kalau ibu ma-"
"Nggak usalah yang ribet-ribet. Saya dan suami saya mau yang cepat saja. Soalnya saya udah capek banget, mau istirahat. Pokoknya kamar sesuai dengan apa yang saya pesan!" seru si guest ibu dengan nada kesal. Jangan lupa ia memotong perkataan Azkiya barusan.
Azkiya tetap menampilkan wajah ramah, mencoba dan terus mencoba mengeluarkan semua stok kesabaran yang ia miliki. Si Maimunah ini memaksa untuk early check in dengan tampang congkak, benar-benar guest yang beradap. Azkiya berusaha untuk mengingat kembali, apakah tadi pagi ia sempat berpapasan dengan kucing hitam kah, sampai-sampai di shif paginya ini ia mendapatkan guest seperti ini. Rasa-rasanya ingin sekali melemparkan keyboard arah wanita itu.
"Baik, Bu. Saya check dulu sebentar, ya." Azkiya membaca nama KTP yang tertera di dalam sana. Nama ibu tersebut Maimunah Lestari. Kemudian jari-jari mungil Azkiya mulai bekerja dengan cepat di atas keyboard komputer.
Berkali-kali Azkiya mencoba menuliskan nama ibu tersebut, namun sial, tetap saja tidak ada di daftar reservation rack. Setelah tiga kali mencoba, Azkiya memilih untuk menghubungi bagian reservation yang sedang on duty dan memberitahukan kendala yang sedang terjadi. Bagian reservation kemudian mencari-cari nama ibu tersebut mulai dari emal hingga extra net online travel agent, dan hasilnya tetap tidak ada. .
Berusaha untuk tidak panik, Azkiya menoleh ke arah Maimunah yang sudah memasang wajah galak. Di kira Azkiya takut dengan wajah galaknya kali? Oh, sorry to say, wajah Mina lebih seram dibandingkan wajah wanita itu. Sungguh! Untuk hal ini, Azkiya memang akui bahwa Mina memiliki wajah yang menampilkan aura tajam.
"Permisi, Bu. Saya hanya ingin memastikan lagi, apa benar nama atas reservation yang ibu ambil sesuai dengan KTP ini? Atau namanya sudah sesuai dengan voucher bookingan ibu?" Azkiya menunjuk ke arah KTP.
Maimunah tidak langsung menjawab, ia tampak berpikir, namun karena belum juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan Azkiya, ia pun membuka ponsel berlambang apel digigit itu. Seketika bulu mata wanita itu terangkat bersama bola mata yang membola lebar. "Bukan! Atas nama Yanto Christianto! Nama suami saya!"
Apes bener ini hari! Batin Azkiya menggerutu.
Rasa-rasanya Azkiya ingin menenggelamkan diri sendiri ke lautan sekarang juga. Menarik napas dalam-dalam dengan lembut dan perlahan, ia lalu mengetik nama suami Maimunah, dan untung saja ada!
Sabar Azkiya, sekarang hanya pemanasan di hari ini. Masih ada banyak hal gila dan menjengkelkan bisa terjadi beberapa detik kemudian, dan semoga saja Azkiya dapat melewati semua cobaan sakti itu dengan lapang dada.
Hari ini benar-benar menguji kesabaran Azkiya, atau mungkin karena ia kepikiran Gibran, makanya ia menjadi lebih sensitif bagaikan tespeck?
Huft!
🏩🏥🏩
"Aku permisi ya pak Robert, titip salam buat dedek bayinya. Kapan-kapan saya kasih hadia yah buat dedeknya." Setelah berseru demikian, Robert mengembalikan tas jinjing Azkiya.
Azkiya berjalan keluar dari area security bersama dengan barang-barang bawaannya, yaitu rok mini berbahan denim dari salah satu temannya di hotel, Eri. Wanita itu bekerja di housekeeping, dengar-dengar, ia akan menikah dengan executive chef Suittelova. Seandainya saja Azkiya juga berjodoh dengan ..., Ah! Abaikan Azkiya, jangan gila!
Baru saja beberapa langkah, tiba-tiba mobil putih yang sudah saja Azkiya hapal plat nomornya berhenti tepat di sampingnya.
Azkiya berhenti melangkah. Ia menatap datar benda itu, wanita yang memakai sweater hijau tua itu masih kesal. Tiba-tiba pintu bagian kemudi mobil terbuka. Azkiya menahan napas kuat-kuat sesaat setelah Gibran keluar dari mobil bagaikan model papan atas. Andai saja Azkiya tidak menjalankan aksi kesal, ia pasti tersenyum lebar memandang wajah Gibran yang cipok-able.
"Masuk Kiya." Gibran berdiri di hadapan Azkiya, menatap lembut wanita itu. Seakan di matanya terdapat mantra pelet yang mampu meluluhkan hati Azkiya.
Bersama sisa gengsi yang ia memiliki, dan rasa kesal, Azkiya mengangguk pelan, ia masuk ke alam mobil Gibran dan duduk dengan tenang. Pikiran wanita memang seribet benang kusut, itulah yang diakui Azkiya sekarang, karena setelah dipikir-pikir lagi, ia tidak pantas marah kepada Gibran, memangnya kenapa kalau pria itu mau mematikan ponsel dan berkata demikian kepadanya? Tidak ada masalah apapun yang terjadi jika ia biasa-biasa saja dalam menganggap tingkah Gibran adalah hal yang wajar-wajar saja.
Di tengah-tengah pikiran yang berkecamuk, Gibran berseru, "Maaf." Kepada Azkiya. Bahkan wanita itu tidak sadar kalau Gibran sudah masuk ke mobil, duduk di kursi kemudi dan menatapnya penuh sesal.
"Maaf? Belum lebaran, dog!" Azkiya mengibaskan tangannya. Ia memilih bertingkah biasa saja.
"Maaf soal kemarin saya matiin telpon, dan maaf karena nggak komunikasi dulu sama kamu soal tanggal pernikahan kita." Gibran sepertinya masih kukuh dengan kata maafnya, sampai-sampai mengenaskan sekali lagi dengan rinci.
Azkiya mengangguk bagaikan anak kecil. "Hmm, dimaafin, tapi ada syaratnya."
"Traktir aku makan ya? Sekarang, lapar banget," seru Azkiya.
"Okay, meluncur."
Di posisinya, Gibran ikut terseret virus senyuman Azkiya. Spontan ia mengelus rambut wanita itu dengan lembut, hanya beberapa detik, karena selanjutnya ia mengacak-acak surai Azkiya hingga berantakan.
"Ck! Nyetir kamu yang bener aja dah, agak lawak kalo kita mau nikah malah wafat di tengah jalan." Azkiya melepaskan tangan besar Gibran dari kepalanya.
Azkiya sendiri tanpa sadar menyuarakan pikirannya itu secara terang-terangan. Padahal niat awal hanya membatin. Ck! Ia menatap Gibran dengan senyum kaku.
Gibran menggeleng. "Jangan ngomong kayak gitu lagi. Nggak baik, saya nggak suka."
"Iyaaa, maafff abang!" Azkiya cengengesan sendiri, antara salah tingkah dengan perkataan Gibran atau malu karena kata-katanya beberapa saat lalu.
Tanpa sadar, perasaan kesal yang dirasakan Azkiya menguap, hilang entah kemana perginya. Sedangkan pria di sebelahnya itu mulai melupakan untuk sesat rasa kecewa kepada Azkiya, dan ikut tersenyum bersama wanita yang ia cintai itu.
"Kapan mau ngurus pernikahan, Bran?" tanya Azkiya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Gibran menoleh sebentar ke arah Azkiya, wajahnya nampak kaget karena wanita itu bertanya perihal pernikahan mereka. "Dari kamu aja."
"Yang nikah itu kita berdua, jadi sama-sama aja cari waktu kosong. Minggu depan aku ambil libur bulanan bisa, tapi nggak bisa pas hari weekend."
"Hari Rabu? Rabu kamu shift malam kan? Biar nggak usah ambil jatah liburnya, mungkin ntar ada hal yang lebih penting." Azkiya mengangguk mantap.
"Okay, deal!"
To be Continued
An:
Hai hai hai. Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Jika ada salah kata, silakan diberitahu.
Btw, kalian bisa ketemu sama Eri di ceritanya kak SeiongJeans kocak banget deh, seriusan. 😭
See u.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top