🏥 | Bagian Lima Belas
Bagian Lima Belas
~~~🏩🏥~~~
Azkiya keluar dari area security. Berdiri di samping hotel, tempat biasa ia menunggu gojek pesanannya. Rasa lelah tidak bisa Azkiya tahan lagi, seperti terdapat dua balok besar di pundaknya. Mata Azkiya juga terasa perih dan kering, efek begadang dari jam 12 malam hingga 7 di front desk.
Bukan hanya itu sebenernya, kalau boleh jujur, Azkiya sudah terbiasa dengan perihal begadang, hanya saja, kejadian tadi malam terus menghantuinya pikiran wanita itu, membuat ia merasa sangat lelah secara batin. Apalagi sejak malam Azkiya terus berusaha menahan setiap tetes air yang hendak berjatuhan. Sungguh, tidak ada hal yang menyakitkan dan menyesakkan hati selain menahan tangis dari sesak, rasa sakit hati di dada yang memaksa untuk keluar. Rasa-rasanya, Azkiya hanya ingin tertidur, melupakan sesaat apa yang terjadi, mengembalikan tenaga, juga memulihkan mental yang perlahan terkikis.
Azkiya merasa de javu ketika mobil berwarna putih berhenti tepat di sampingnya. Namun kali ini, bukan hanya perasaan kesal yang ada pada dirinya, karena banyak perasaan yang sedang bercampur aduk di dalam sana; kesal, kecewa, marah, sedih yang tertuju kepada diri sendiri, dan sedikit bahagia karena Gibran menepati janji untuk menjemputnya.
Kali ini Gibran tidak keluar dari mobil, ia hanya membuka kaca jendela, sebagai kode agar Azkiya masuk. Wanita itu pun masuk, lalu duduk di kursi penumpang dengan diam. Mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang, membela kota Medan yang dipenuhi oleh anak-anak, dan orang tua yang pergi ke sekolah dan kantor.
Atmosfer di sekitar Azkiya dan Gibran benar-benar canggung, sejak tadi, saat Azkiya masuk ke dalam mobil, ia tidak berani menatap bola mata pria yang sedang mengemudi itu. Nyalinya menciut, tidak bisa menatap dan menyapa Gibran seperti biasa.
Kali ini benar-benar tidak ada percakapan yang terjadi di sepanjang perjalanan pulang, bahkan saat Azkiya turun dari mobil, tidak ada seruan apapun, baik dirinya ataupun Gibran.
Tadi, saat Azkiya masih di dalam mobil, setiap kali ingin mengeluarkan kata-kata, lidahnya keluh, semua suara tertahan di ujung bibir bersama dengan pertanyaan, ‘untuk apa ia menjelaskan semua ini?’ Satu pertanyaan di benaknya sendiri itu membuat semua niat menjelaskan menghilang, berganti dengan banyak cabang pertanyaan lainnya yang menyatakan satu kesimpulan, yaitu tidak ada yang seharusnya Azkiya jelaskan kepada Gibran.
“Udah pulang, sayang?” tanya bunda Femmy ketika Azkiya masuk ke dalam rumah.
“Pagi, Bunda.” Azkiya berjalan mendekati sang ibu mertua, memaksakan seutas senyum.
Mata bunda Femmy dengan teliti mengamati wajah menantunya yang loyo, bibir Azkiya juga pucat dengan lingkaran hitam pada mata. “Kau keliatan kelelahan, Nak. Pergi ke kamar, istirahat, aja.”
“Nggak papa, Bunda? Biar Azkiya bantuin dulu, baru balik ke kamar.” Azkiya mengikuti langkah bunda Femmy ke dapur.
“Jangan, kau tidur saja.” Setelah itu Azkiya tidak menolak lagi ucapan bunda Femmy, karena ia memang benar-benar harus istirahat jika tidak ingin membuat rumah mereka masuk koran lokal dengan headline, ‘Rumah kemudian Kelurga Dokter Kalep Sugiantoro telah ludes dilahap si jago merah.’
Sesampainya di kamar, Azkiya langsung membaringkan tubuh di atas ranjang. Azkiya tidak memiliki banyak tenaga untuk membersihkan tubuhnya lagi, biarkan saja jika Gibran pulang cepat, dan melihatnya seperti ini. Toh, secantik apapun ia, belum tentu membuat pria itu jatuh hati kepadanya.
Beberapa menit kemudian, Azkiya mendengkur halus bersama dengan pulau kapuk yang menjemputnya ke sebuah perjalanan kisah yang tidak bisa ia dapatkan di dunia nyata, sebuah kisah bersama Gibran.
🏩🏥🏩
Gibran masuk ke dalam ruangannya di Stase Penyakit Dalam ketika menyelesaikan tugas di poliklinik. Hari ini pria berusia 30 tahun itu kurang bersemangat, bahkan untuk pergi ke kantin rumah sakit saja ia enggan. Semua penyebab rasa jengkel, kesal, marah, sedih yang pria itu rasakan tidak lepas dari kejadian kemarin malam.
Sejak saat itu, Gibran dan Azkiya belum juga berbicara, bahkan untuk saling menatap saja sangat jarang. Sesungguhnya, Gibran ingin menyelesaikan masalah di antara mereka, hanya, ia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa kepada Azkiya. Jika pun Gibran menjelaskan, maka pengakuan cinta adalah hal terakhir yang bisa ia katakan sebagai alasan paling masuk akal, karena tidak mungkin seorang sahabat bertingkah sepertinya; marah karena Azkiya berpelukan dengan pria lain.
Menarik napas dalam-dalam, Gibran memijat tulang hidungnya seraya memejamkan mata. Bersama dengan itu, pintu ruang kerjanya berbunyi, ada yang mengetuk dari luar.
“Siang, Dokter,” sapa wanita yang rapi dengan snelli di tubuhnya.
Gibran membenarkan tubuhnya, memasang senyum tipis sambil menjawab sapaan wanita itu. “Siang, Tamara?”
“Dokter nggak makan siang? Kalo mau kita makan bareng,” ajak Tamara, masih berdiri di depan pintu ruangan Gibran.
Tamara dengan matanya yang lebar, dan senyum lebar menatap penuh harap. Melihat itu, hati Gibran menjadi tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. “Ajak dokter lain, biar kita sama-sama, aja,” putus Gibran.
Setelah itu, Gibran bangkit dari kursi, mengambil snelli yang tergantung pada gantungan baju di samping ruangan, lalu memakannya dan berjalan keluar ruangan, mengikuti langkah Tamara yang mulai mengajak beberapa dokter dan koas yang sedang bertugas hari itu untuk makan bersama. Tamara memang wanita yang pandai bergaul, bahkan satu Hotellova bisa saja mengenalinya, mulai dari cleaning servis, hingga orang-orang besar di RS ini.
“Dulu aku pikir dokter sama dokter Gibran bakalan nikah! Tau-tau sama perempuan lain, kaget kali aku, nggak menyangka!” bisik seroang koas kepada Tamara. Kini mereka berada di depan kantin, bersama dengan beberapa koas yang bertugas di Stase Penyakit Dalam, dan dokter satu PPDS.
Tamara yang hanya tersenyum tipis sembari melirik Gibran yang berdiri di dekat mereka, yang mana pria itu juga dengan jelas mendengar celetuk anak koas tersebut, dan pernyataan seperti itu bukanlah hal yang baru saja ia dengar, selama ini, banyak yang menggunjing kedekatannya dengan Tamara sebagai sepasang kekasih yang backstreet. Gibran hanya berusaha menebalkan telinga, mengabaikan hal tersebut.
🏩🏥🏩
Gibran membuka pintu kamar, hari ini ia pulang dari RS tepat jam 4 sore. Mata pria itu langsung menangkap sosok wanita yang sudah menjadi istrinya itu, tengah terbaring di atas ranjang dengan pose meringkuk bagaikan janin.
Langkah pria itu membawanya mendekati sisi ranjang, mengabadikan momen Azkiya yang tertidur pulas. Selalu saja, bagian wajah wanita itu saat tertidur adalah hal yang paling Gibran sukai. Perlahan tangannya terangkat, membelai penuh kasih rambut Azkiya yang menutupi wajah wanita itu.
Tatapan sayu Gibran terlihat jelas, ia sudah sangat lelah dengan perasaan ini, jika diandaikan dengan stadium kanker, lelahnya berada pada stadium akhir, mendekati detik-detik berakhirnya kehidupan. Lebih baik, sekarang ia mengungkapkan perasaannya daripada membiarkan rasa ini terombang-ambing tidak jelas, setidaknya ia sudah jujur dengan cintanya kepada Azkiya. Bagaimana tanggapan wanita itu nanti, biarlah jadi urusan belakangan.
Sejujurnya, sudah sejak lama Gibran mempertimbangkan perihal mengungkapkan perasaan kepada Azkiya, hanya saja alasan klise, yaitu tidak mau merusak hubungan persahabatan mereka menjadi hambatan, namun detik ini, Gibran sudah tidak mampu lagi, ia ingin menyerah, mengungkapkan cinta kepada Azkiya. Maka dengan sedikit keyakinan dan keberanian yang pria itu milik, Gibran mendekatkan wajahnya pada Azkiya.
Cup.
Satu kecupan manis mendarat di kening Azkiya, lalu perpindahan ke pipi, kemudian yang terakhir pada bibir wanita itu, bibir telah lama membuat Gibran penasaran bagaimana rasanya. Cukup lama Gibran membiarkan bibirnya saling menyatu dengan bibir Azkiya, hingga perlahan ia mulai berani menggerakkan bibir, melumat lembut dan pelan.
“Nghh ... Gibran?” desah Azkiya dengan mata terpejam terlihat masih tidur, namun wanita itu membalas ciuman Gibran tanpa sadar.
Gibran menjauhkan wajahnya dari Azkiya. Pria itu melepaskan kancing teratas kameja putih yang ia kenakan, kemudian berjalan ke arah balkon kamar membuka sedikit pintu, hanya sedikit, penghubung balkon, dan membiarkan korden tertutup, mencari udara segar agar bisa berpikir jernih, jika tidak, ia takut Azkiya benci padanya.
Si sisi lain, Azkiya perlahan membuka matanya. Dengan dahi mengernyit, dan mata yang sedikit bengkak, manik wanita itu meneliti setiap sudut kamar seraya tangannya terangkat, menyentuh bibir sendiri. Tadi ia bermimpi berciuman dengan Gibran, dan bibir pria itu terasa jelas.
Pe'a! Nggak mungkinlah, Azkiya! Batin wanita itu, mendesah panjang tanpa sadar. Padahal tadi ia luar biasa senang, tahu-tahunya ketika membuka mata, itu hanya mimpi belaka.
Mata Azkiya melirik jam di dinding, ternyata ia tertidur cukup lama. Azkiya turun dari ranjang, badannya terasa sangat lengket. Maka, sekarang yang ia butuhkan adalah membersihkan tubuhnya yang sedikit berbau tidak sedap. Setelah itu, ia akan turun ke bawah, membantu bunda Femmy memasak untuk makan malam.
Azkiya sama sekali tidak mengetahui dan tidak menyadari kalau Gibran sudah pulang. Maka, setelah membersihkan tubuhnya, ia keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk sebatas paha atas dengan rambut yang setengah kering sehabis keramas.
“HUAA!” Azkiya memekik kencang sembari menyilang tangan di dadanya. Di depan sana, Gibran tengah bertelanjang dada, di tangan pria itu memegang baju kaos oblong berwarna hitam, terlihat hendak memakainya namun tertahan karena suara Azkiya.
Gibran sama terkejutnya dengan Azkiya, matanya melebar, namun hanya beberapa detik saja, karena setelah itu, wajah Gibran berubah, tidak bisa ditebak oleh Azkiya. Memutar tumit kaki, wanita itu berkeinginan untuk masuk kembali ke kamar mandi.
“Azkiya?” panggil Gibran pelan dengan nada rendah, yang sialnya membuat sekujur tubuh Azkiya meremang. Wanita yang masih menggunakan handuk itu tidak jadi berbalik ke kamar mandi, dan kini memusatkan perhatian pada Gibran.
Napas Azkiya tertahan ketika Gibran berjalan mendekatinya. Apalagi Gibran sama sekali tidak menggunakan baju, dan tatapannya sangat aneh di mata Azkiya. Tatapan yang ... Terlihat menginginkan sesuatu. Semakin lama, Gibran semakin dekat, dan pria itu berhenti, setengah langkah di depannya.
Hap! Gibran menarik tubuh Azkiya ke dalam dekapannya, memeluk erat tubuh wanita itu. Tangan kanan Gibran melilit pinggang sang istri, sedangkan tangan kiri berada di belakang tengkuk Azkiya.
Azkiya mengerjap, memahami situasi yang sedang terjadi dan maksud dari pelukan Gibran. “Gi ... Gibran?” serunya gugup bukan main!
Perlahan Gibran melepaskan pelukannya dari Azkiya. Namun kini tangan Gibran memegang setiap tangan wanita itu, mengisi setiap jari-jarinya pada sela jari Azkiya, genggaman yang sangat pas, dan nyaman. Kini pasangan suami istri itu saling berpandangan, menyelami tatapan masing-masing, hingga Gibran mendekatkan wajahnya untuk kedua kali ke arah Azkiya, menyatukan bibir mereka.
“Boleh?”
Tanya Gibran setelah ciuman lembut namun memabukkan mereka barusan.
To be Continued
Ayayaya! Belek mamba! ASTAGA DRAGON BOLA. 😭😭🙏
Okayyyyy! Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Kalo ada salah kata, atau kalimat belibet lainnya, silakan komens aja, beb.
See u, bebs.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top