🏩 | Bagian Lima
Bagian Lima
~~~🏩🏥~~~
Azkiya melirik Gibran yang terdiam sejak pertama kali mereka masuk ke dalam mobil pria itu. Kemudian menelusuri pakaian Gibran yang masih menggunakan Hoodie kesayangannya dan celana kain berwarna hitam, ia terlihat tampan dengan simple style-nya ini. Sedangkan Azkiya menggunakan mini denim skirt yang dipadu dengan t-shirt hitam yang membuat kesan lebih muda, apalagi tubuhnya yang mungil, acap kali membuat orang-orang berpikir bahwa ia masih berkuliah.
Gibran fokus mengendarai mobil, sesekali ia melirik Azkiya. Ia bukannya tidak peka dengan wanita di sebelahnya, pria itu hanya menunggu Azkiya menyuarakan pikirannya lebih dulu, namun semenjak lima belas menit yang lalu, tidak ada tanda-tanda bahwa wanita itu akan membuka percakapan diantara mereka.
“Jadi?” tanya Gibran tanpa basa basi lagi, membuka obrolan di antara mereka yang sejak tadi terdiam membisu bersama atmosfer canggung. Jika Gibran tidak kunjung memulai, bisa-bisa ia mati penasaran karena menunggu jawaban Azkiya.
Azkiya menarik napas berat, wajah wanita itu terlihat kalut saat berseru, “Iya, terpaksa aku terima, nggak ada pilihan.”
Senyum tipis milik Gibran merekah, “Good choice!”
Dalam hati, pria itu bersorak gembira, bahkan raut wajah yang semula lelah, perlahan berubah menjadi berseri-seri, seakan baru saja mendapat cakra baru dari ucapan Azkiya. Ini artinya ia selangkah lebih dekat dengan wanita di sampingnya itu.
Azkiya mendelik tajam mendengar respon Gibran. Bisa-bisanya pria itu berkata demikian dengan tampang biasa-biasa saja di kacamata Azkiya, di saat ia kebingungan, bimbang, dan resah dengan apa yang akan terjadi jika mereka benar-benar menikah. Satu hal yang tidak pernah terbayangkan di benak bahkan datang di mimpi Azkiya sekali pun, yaitu menikah dengan sahabat sendiri walaupun ia mengakui bahwa ia mencintai Gibran.
“Ini kita nikah pake peraturan kan? Cuma berapa tahun? Kemarin kamu bilang gimana sih?” Azkiya berseru lesu, tidak bertenaga. Semoga saja pilihan yang Azkiya pilih saat ini adalah yang terbaik. Semoga saja iman wanita itu kuat untuk tidak menerkam laki-laki di sampingnya ketika mereka resmi menjadi pasangan suami istri, semoga saja ia bisa menahan hati agar tidak jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri.
“Kita nikah beneran, tapi pake batasan waktu, cuma dua tahun, setelah itu kita bisa cerai dengan alasan nggak cocok, beda prinsip atau lainnya.” Gibran kembali menjelaskan, tangannya sibuk memutar stir mobil saat mereka berada di perempatan jalan. Dalam relung hati, ia berdoa semoga saja hal itu tidak pernah terjadi, dan pernikahan ini akan tetap berjalan dengan baik, selayaknya mereka adalah pasangan suami istri yang saling mencintai hingga maut memisahkan.
“Oke, deal!” setuju Azkiya, mengangguk tanpa energi.
Gibran menoleh sebentar ke arah Azkiya. “Hmm, besok saya bikin di atas materai perjanjian kita kalo kamu mau?”
“Terserah deh, yang penting aku bebas dari penyakit perawan tua ini. Bosan banget ditagih terus buat kawin.” Azkiya melambaikan tangan, masa bodoh dengan perjanjian, ia percaya Gibran akan memegang teguh perkataannya.
Suasana kembali keheningan. Azkiya memejamkan mata tanpa memedulikan kemana Gibran membawanya pergi. Sedangkan pria berwajah tegas itu tengah fokus mengemudi sambil berpikir kemana ia akan membawa wanita di sampingnya itu pergi, tentu saja mereka tidak langsung pulang ke rumah, Gibran masih ingin berlama-lama bersama Azkiya—itulah sebabnya selama berpergian dengan wanita itu, ia akan melewati jalur terjauh rute menuju rumah, atau akan mengajak Azkiya makan.
Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya Gibran mengentikan mobil di sebuah rumah makan Padang yang berada di jalan Ring road Gagak Hitam. Rumah makan ini cukup terkenal, beberapa kali Gibran pernah makan di sini bersama rekan-rekan dokter.
Gibran menoleh ke kiri, tampak Azkiya yang masih terpejam. “Kiya? Kiya?” panggil Gibran pelan seraya menepuk pundak wanita itu.
Azkiya menggeliat, lalu perlahan membuka kelopak mata, ia benar-benar tertidur pulas, padahal niat awal hanya memejamkan mata. Gibran memandang lurus wajah Azkiya yang terlihat sangat cantik.
“Eh? Kok di sini?” Kening Azkiya mengernyit heran saat melihat rumah makan yang lumayan banyak di datangi orang-orang. Ia pun menoleh ke arah Gibran yang masih menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Saya lapar, ayok makan bareng,” jawab Gibran sekenanya sembari melepaskan Hoodie yang terpasang di tubuhnya dalam satu tarikan.
Spontan Azkiya memalingkan wajah ke luar jendela, ia menahan napas dalam-dalam ketika kedua manik cokelatnya melihat kameja putih laki-laki itu ikut terangkat bersama Hoodie, memperlihatkan bagian perut dan punggung bahwa Gibran yang kokoh.
“Ini!” Gibran meletakkan Hoodie-nya di atas paha Azkiya, kemudian membenarkan kameja yang berantakan.
Kening Azkiya kembali mengerut dengan mata yang menyipit. “Buat apa?”
“Gerah, tolong pegang hoodie itu sampai kita kembali lagi ke dalam mobil,” jawab Gibran, ia pun membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu, meninggalkan Azkiya yang masih bingung.
Manik cokelat tua Azkiya melirik benda berwarna biru tua di atas paha. Aroma parfum maskulin bersama keringat Gibran tercium dengan jelas saat Azkiya tanpa sengaja menghidu. Aneh, tapi harus ia akui, Aroma tubuh Gibran memang manis untuk dihirup.
Jendala kaca diketuk dari luar. Gibran sedang menatapnya dari balik kaca. Azkiya segera keluar dari mobil bersama Hoodie pria itu di dalam pelukannya.
Mereka pun masuk ke dalam rumah makan tersebut. Jujur saja, Azkiya juga sangat lapar sekarang. Perutnya cuma diisi dengan roti sejak tadi siang, akhir-akhir ini napsu makanannya juga mengurang, tapi ketika matanya melihat warung makan Padang, seketika mood makannya kembali. Sudah lama ia tidak makan rendang, ayam pop, telur dadar, dan sambal ijo. Azkiya menelan salivanya tanpa sadar.
Mereka memilih untuk duduk di barisan lesehan dengan meja berbentuk persegi panjang yang berada di depan mereka. Karena Azkiya memakai rok yang cukup pendek, ia jadi kebingungan dengan posisi duduknya.
“Pake aja Hoodie,” seru Gibran, pria itu sejak tadi mengamati ekspresi Azkiya yang tidak nyaman.
“Ehehe, Trims.” Azkiya menutup bagian pahanya dengan Hoodie tanpa menunggu disuruh dua kali.
Setelah itu Gibran memanggil pelayan, ia memesan makanan yang cukup banyak dan semua disukai Azkiya. Wajah wanita itu tidak bisa berbohong atas kebahagian kecil yang dilakukan pria itu barusan.
Tidak lama, seorang wanita berusia sekitar awal dua puluhan datang bersama dengan makanan pesanan mereka. Azkiya memutar bola matanya ketika si pelayan tersebut menatap dalam Gibran. Sahabat prianya itu memang sangat tampan. Sehabis meletakkan semua pesanan di atas meja, pelayan pergi. Azkiya tersenyum lebar. Tanpa membuang waktu, Gibran dan Azkiya makan dengan lahap.
“Minggu depan saya mau datang ke rumah,” ujar Gibran setelah mereka selesai makan. Napas Azkiya tertahan beberapa saat.
Wanita itu menarik lembaran tissu dari kotak benda tersebut, kemudian menghapus bekas makanan di kedua sisi bibirnya. Lalu ia menjawab santai ucapan Gibran. “Datang aja kali, emang kamu nggak pernah datang ke rumah?”
“Datang sebagai calon suami kamu, Kiya.”
“Uhuk! Uhuk!” Azkiya terbatuk-batuk, tersendat dengan saliva sendiri. Seharusnya ia membiasakan diri untuk ucapan-ucapan Gibran.
Gibran meletakkan botol air mineral di atas meja setelah meneguk hingga setengah. Kemudian membuka air penutup botol mineral milik Azkiya dan memberikannya kepada wanita itu. “Minum dulu.”
“Thanks,” ungkap Azkiya setelah meneguk air mineral hingga tandas.
Azkiya menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. “Cepat banget datangnya, Bran. Nggak bulan depan aja?” ujar Azkiya, wajah memerah memikirkan ide Gibran yang mau datang sebagai calon suaminya.
“Lebih cepat, lebih baik. Saya udah dikasih waktu cuma sampai akhir bulan ini, Kiya buat kenalin calon istri ke Bunda sama Ayah.” Memang benar Gibran hanya diberi kesempatan hingga akhir bulan untuk membawa calon istrinya.
“Ah, iya juga, Naya sama pacarnya juga mau awal tahun depan ini, mana sekarang udah akhir bulan September.” Tangan Azkiya terangkat, memijat tulang hidungnya yang mungil itu sambil memejamkan mata.
“Kalo mau kita menikah awal bulan Desember?”
Azkiya mengedipkan mata beberapa kali, memandang tidak percaya Gibran dengan perkataan yang sejak tadi memicu efek samping pada jantungnya.
Tangan Azkiya memegang dada sebelah kiri. “Bran, keknya aku lagi sakit jantung deh, deg-degan terus, seriusan,” kata Azkiya, mencoba untuk tidak peduli dengan perkataan Gibran.
Gibran tersenyum kecil. “Wajar Kiya, saya juga terkena takikardia beberapa hari terakhir ini,” serunya, menatap dalam manik Azkiya.
“Huh? Gimana?”
Bahu Gibran terangkat. “Abaikan saja.”
🏥🏩🏥
Gibran keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggang. Kamar pria itu terlihat penuh dengan warna abu-abu dan putih pada cat tembok dan juga korden kamarnya. Di sana juga terdapat sebuan TV berukuran besar dan tipis yang tertempel di dinding. Di atas meja kamar terdapat Joystick dan PlayStation terbaru.
Kamar Gibran memiliki balkon kecil yang menghadap ke arah timur, sekat yang memisahkan kamar dengan balkon hanya dinding kaca yang bisa digeser. Hampir setiap pagi Gibran selalu dibangunkan oleh cahaya mentari.
Usai mengamati kamar sendiri, Gibran melangkah masuk ke dalam walk in closet. Di sana terdapat banyak jenis pakaian yang sangat jarang ia gunakan. Di sisi lain ruangan itu terdapat koleksi sepatu dan jam tangan. Selama berpakaian, pikiran Gibran terus berkelana tentang apa yang sedang dilakukan Azkiya. Apa wanita itu sedang memikirkannya juga? Atau memikirkan tentang pernikahan mereka?
Gibran sudah tidak sabar untuk mempersunting Azkiya, membuat wanita itu menjadi istrinya.
Niat dokter spesialis itu, sesudah bertemu dengan keluarga Azkiya sebagai calon suaminya, ia langsung memberitahukan kepada kedua orangtuanya jika ia mendapat lampu hijau untuk lanjut bersama anak perempuan mereka itu.
🏩🏥🏩
Azkiya berjalan ke dapur setelah mencari-cari Mina di teras depan rumah, ruang tamu, dan kamar kedua orangtuanya namun tidak menunjukkan sang ibu. Setelah matanya menemukan orang yang dicari, Azkiya langsung mendekati Mina dengan beralasan membuka kulkas. Mata Azkiya melirik Mama dengan perasaan gugup, jantungnya bertalu-talu tak karuan.
Menarik napas dalam-dalam, Azkiya berseru, “Aku udah ada calon, Ma,” beritahu Azkiya setelah kembali menutup pintu kulkas.
Mina yang sedang mengaduk-aduk kopi hitam untuk bapaknya, Handoko, langsung berhenti, menatap Azkiya dengan mata melebar dan bibir yang sedikit terbuka.
“Biasa aja kali, Ma!” sergah Azkiya, kesal dengan wajah mamanya yang lebay.
“PAHHHH! AZKIYA UDAH PUNYA CALON!” Mina dengan suara menggelegar berjalan keluar dari dapur bersama kopi di tangannya.
Azkiya memejamkan rapat-rapat matanya sambil menarik napas. Punya emak gini amat dah! Batin Azkiya frustasi.
To be Continued
Halu kawans halu. Ahaha.
Update lagi saya hihihi.
Seperti biasa guys, jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Kalo ada typo? Kalimat belibet dan lainnya, silakan diberitahu ya lewat komen. Aku terbuka untuk setiap masukkan, saran, yang disertai kritik yang membangun. ^^
Jaga kesehatan wankawan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top