🏥 | Bagian Enam Belas
p.s: sejujurnya bab ini bisa dikatakan bab kelanjutan dari bab sebelumnya, jadi cuma 1000 kata aja.
Bagian Enam Belas
~~~🏥🏩🏥~~~
“Boleh?” Azkiya menarik napas dalam-dalam setelah ciuman mereka berakhir, dan tiba-tiba Gibran melemparkan pertanyaan seperti barusan, membuat otak Azkiya blank, mirip situs 404 not found.
Mata Azkiya berkedip bagaikan boneka dengan wajah polos. Demi Tuhan, Azkiya bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi. Ia butuh beberapa detik untuk mencerna semua ini, dan tetap saja wanita itu tidak menemukan jawabannya, itu sebabnya ia berseru, “Huh?”
Terdengar suara decakan dari Gibran, pria itu gemes sekali dengan Azkiya. Maka, kembali ia menautkan bibir mereka, namun kali ini dengan sangat semangat, berapi-api. Perlahan Gibran mengiring istrinya itu ke arah tempat tidur, lalu menjatuhkan tubuh mereka di sana.
“Boleh?” Gibran kembali bertanya, kali ini keduanya saling bertatapan dengan tubuhnya berada di atas Azkiya sambil menyangga berat badan dengan kedua tangan di samping tubuh wanita itu.
Azkiya memalingkan wajah yang memerah bagai tomat masak. Jantungnya sudah bertalu-talu tak karuan, setiap bagian tubuh Azkiya terasa panas dan menebarkan. Semua ini terasa seperti ilusi, apa ia sudah tidak waras sampai memikirkan tidak-tidak bersama Gibran, apa efek samping dari tidak berkomunikasi dengan suami sendiri bisa mengakibatkan halusinasi tingkat tinggi seperti ini?
“Awh! Kiya? Kok, saya dicubit?” Gibran mengaduh kesakitan, meringis pelan ketika tiba-tiba saja pinggang telanjangnya dicubit Azkiya.
“Ini beneran? Kamu? Gibran?” tanya Azkiya dengan mata melebar bulat, sembari menangkup pipi Gibran dengan kedua tangannya. Sontak hal itu membuat Gibran tertawa kecil, lalu mencubit hidung Azkiya.
Gibran meletakkan kepalanya pada ceruk leher Azkiya, kemudian membisik sesuatu yang membuat wanita itu menelan salivanya kuat-kuat. “Boleh saya menyentuhmu? Benar-benar menyentuhmu?”
Tubuh Azkiya yang masih tertutup handuk pun mulai melonggar. Detik itu, baik Gibran dan Azkiya sama-sama membuat janji pada diri sendiri, bahwa ini awal baru dalam hubungan mereka, tentu saja tanpa melepaskan kenangan dan status sahabat mereka, karena sesungguhnya, pasangan suami-istri yang baik adalah sepasang sahabat yang saling mengerti pada sisi lain dari kehidupan, yang mana bisa saling memahami satu sama lain.
😭🙏
Azkiya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tidak memakai sehelai benang pun. Mata Azkiya melirik ke arah samping, di mana Gibran sedang menatapnya dengan senyum manis bagai gulali, bisa-bisa ia diabetes akibat tatapan pria itu.
“Ih! Kenapa sih? Jangan lihat-lihat aku terus!” seru Azkiya, menutup wajah dengan tangannya. Demi Tuhan! Azkiya malu! Benar-benar malu, apalagi mereka baru saja melakukan hubungan suami istri. Rasanya sangat senang bercampur geli mendapatkan tatapan dari Gibran, si pelaku utama yang baru saja membuat ia pasrah menerima setiap sentuhan lembut yang menghanyutkan itu.
Tergelak melihat wajah cemberut Azkiya, Gibran dengan iseng mendekat pada wanita itu, lalu menarik Azkiya masuk ke dalam dekapannya. “Kenapa juga malu? Saya suami kamu kan?”
Demi saus tartar Spongebob Squarepants yang bahkan sampai sekarang Azkiya tidak tahu bagaimana rasanya, ada apa dengan Gibran. “Jadi kita sekarang apa?” maka, kata-kata itulah yang keluar dari bibir Azkiya, meminta kejelasan status di antara mereka, karena sepasang sahabat tidak mungkin melakukan hal yang baru saja mereka lakukan, terlepas bahwa sesungguhnya mereka juga adalah sepasang suami istri.
“Sebenarnya saya sudah lama ingin mengatakan ini. Kamu mau dengar?” tanya Gibran, memeluk erat tubuh Azkiya, membiarkan kulit mereka yang sama-sama hangat itu saling bersentuhan.
Azkiya mengangguk, mendongkak, menatap sang suami dengan penuh tanda tanya. Apa yang Gibran sembunyikan darinya? “Apa itu?”
“Saya sangat mencintai kamu, Azkiya Sara.” Pengakuan Gibran yang terdengar sungguh-sungguh dan tulus barusan, mendapat respon tidak percaya dari Azkiya, matanya membeliak dengan bibir membentuk huruf ‘o’.
Azkiya menggeleng pelan, tertawa kecil setelahnya. “Kamu bercanda? Nggak lucu.”
“Setelah apa yang baru kita lakukan, kamu bilang saya bercanda, Azkiya?”
Tidak menunggu waktu lama untuk setetes air mata melebur dari pelupuk mata wanita itu. Rasa bahagia meluap memenuhi rongga dada. Detik itu pula, semua beban yang ada di pundaknya menghilang, semua terasa lebih ringan karena mengetahui bahwa perasaan yang ia miliki selama ini tidak bertepuk sebelah tangan, alias Gibran juga mencintainya. Jadi, semua pertanyaan, keraguan, rasa bersalah, dan kesedihan yang ia miliki untuk Gibran hanyalah asumsi wanita itu semata-mata.
Tangan Gibran bergerak keluar dari dalam selimut, menghapus jejak air mata Azkiya. “Kamu nggak suka? Saya minta untuk itu. Sa—”
Memeluk erat tubuh-tubuh Gibran—yang tadi sempat mengendur karena ucapan pria itu, Azkiya membalas perkataannya, “Ssttt. Aku juga cinta sama kamu!”
Gibran sama tidak percaya dengan Azkiya. Ia menatap penuh selidik istrinya itu, namun yang ia dapatkan hanyalah kejujuran dan ketulusan di sana. Pria itu mencium kening Azkiya dengan rasa haru yang meletup-letup ria. “Terima kasih, Dear.”
Suasana kembali hening, Azkiya yang masih betah di dalam pelukan Gibran, dan pria itu juga sama sekali tidak ingin melepaskan istrinya beranjak barang sedikit pun. Mereka sama-sama menikmati detik-detik hubungan mereka sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, termasuk kategori dreams come true.
Sebuah ingatan kilas balik membuat Gibran memanggil nama Azkiya, yang langsung mendapat atensi wanita itu.
“kalau boleh tahu, dia siapa? Laki-laki yang kemarin peluk kamu?” tanya Gibran penasaran. Azkiya menarik napas, inilah biang masalah mereka, namun karena masalah itu pula, ia dan Gibran bisa berada di titik ini.
“Namanya Andi. Hmm, jadi dia itu sempat dekat sama aku, tapi ya, cuma dekat aja, soalnya beda keyakinan. Aku juga sejujurnya cuma dekat dalam artian, He's a good man who can be a friend. Yah, begitu.” Azkiya melirik sebentar Gibran yang seperti ingin tahu lebih banyak lagi tentang kejadian kemarin malam. “Terus kemarin itu, aku ajak dia masuk ke dalam, eh, dia malah narik tangan aku, meluk sambil bilang cinta ke aku. Terus aku bilang ke dia kalo akunya udah nikah ....” cerita Azkiya, jelas dan detail tanpa ada yang ditutupi.
Gibran tersenyum lebar hingga menenggelamkan dua bola mata cokelatnya bersama kerutan halus di kedua sisi mata, jenis senyuman tulus yang datang dari hati paling dalam. “Terima kasih, Dear.”
Mendengarkan kata Dear dari bibir Gibran secara langsung membawa Azkiya pada perasaan hangat yang memenuhi rongga dada, ia sangat bahagia.
Tok, tok, tok! Pintu kamar mereka diketuk beberapa kali dari luar. Azkiya menengadah ke atas, di mana Gibran juga menunduk menatapnya dengan tatapan yang sama, panik tiba-tiba!
“Gibran? Azkiya? Kelen nggak kenapa-kenapa, kan?” seru bunda Femmy, suara wanita itu terdengar khawatir.
Azkiya menengok ke arah jam dinding, sekarang sudah jam 21.30 malam. Wajar saja jika bunda Femmy bertanya seperti tadi, karena sejak mereka pulang kantor, mereka sama sekali tidak keluar kamar.
“Iya, Bunda. Kami baik-baik saja,” seru Gibran, yang sialnya terdengar sangat serak! Pria itu mendengkus jengkel sendiri dengan nadanya yang terdengar aneh itu.
Mengigit bibir bawahnya, Azkiya bangun dari posisi berbaring, menarik selimut dengan tujuan hendak menutupi seluruh tubuhnya dan berjalan ke kamar mandi, namun tindakan wanita itu malah membuat sebagian besar tubuh Gibran yang sama polosnya terekspos.
Sontak hal itu membuat wanita itu kembali terkejut untuk kesekian kalinya untuk hari ini. “Huaaa! Astaghfirullah!” seru Azkiya sambil berlari cepat ke arah kamar mandi, meninggalkan Gibran yang masih terdiam kehabisan kata-kata.
“Kelen bener-bener nggak papa, kan?” seru bunda Femmy dari luar, ternyata ia masih berdiri di depan pintu kamar mereka.
“Nggak papa, Bunda. Nanti kami turun ke bawah,” sahut Gibran seraya berdiri dari tempat tidur, lalu menyusul Azkiya ke dalam kamar mandi. Tercetak seringaian halus di bibirnya. Seperti malam ini akan menjadi malam yang panjang.
Di luar kamar mereka, bunda Femmy mengernyit heran. Sebenernya apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Kenapa berjam-jam di kamar dan tidak turun untuk makan malam bersama?
“Mereka itu pasangan baru menikah, Bunda. Wajarlah mereka lama-lama di dalam kamar. Macam nggak pernah muda saja kau?” bisik pria paruh baya di samping bunda Femmy.
“Ayah!” Femmy mendelik tajam pada ayah Kalep. “Tapi bener juga kata ayah. Yaudah, ayok balik ke kamar!”
To be Continued
A.n:
Hoo my gosh! Don't you know, kalo aku menulis adegan ini dengan sangat menggelikan. Hua Hua Hua. Aku tidak sanggup sebenernya ahahaha.
Guys, aku tuh menulis itu, misalnya bab ini aku buat untuk update tanggal 16, jadi tanggal 15, h-1, aku tulis, terus pas update baru revisi. Jadi aku senang banget kalo ada yang bantuin aku menemukan typo ahahah. Makasih yaw.
Ahahaha, aku pakai kata Dear lagi untuk panggilan Gibran ke Azkiya. Entah kenapa, buat aku, kata Dear itu sangatlah romantis ahahah, soalnya kata ini lebih mengarah kepada rasa menghargai pasangan. Dan, btw, bapak aku manggil mama angkat aku pake kata Dear, lebih tepatnya bapak aku aja, sih, soal kalo mama panggilnya pake kata kakak, sweet kan? hahah.
Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Kalau ada typo atau kalimat belibet lainnya, komens aja beb. -3
See u.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top