🏥 | Bagian Empat Belas

Bagian Empat Belas
~~~🏩🏥~~~

Hari ini adalah hari kedua setelah Azkiya dan Gibran resmi menjadi suami istri, dan hari ini pula, masa cuti pernikahan selesai, yang mana hari ini Azkiya bertugas malam di hotel, sedangkan Gibran baru saja bangun, dan pergi ke kamar mandi, kembali melayani di RS Hospitalova.

Tadi malam, seperti yang telah diketahui, mereka tidak melakukan apa-apa, yah, memang seharusnya begitu. Satu hal baru yang Azkiya ketahui, Gibran ternyata sering bangun dini hari, terlalu pagi untuk Azkiya, contohnya seperti di hotel dan tadi, ketika ia bangun dan Gibran sudah duduk di balkon kamar sambil menikmati pemandangan pagi.

Azkiya mengikat asal rambut hitam legamnya, lalu turun dari tempat tidur dengan berat hati. Sekarang ia tinggal bersama Bunda Gibran, jadi mau tidak mau, Azkiya tidak mungkin hanya bermalas-malasan di dalam kamar, sedangkan, bunda Femmy sedang berkutat di dapur untuk membuat sarapan seorang diri. Maka, sejak bangun dari tempat tidur, tujuan wanita itu bukan lagi kembali memejamkan mata atau pergi ke kamar mandi, melainkan masuk ke dapur, berperang bersama bahan makanan, kompor, dengan bersenjatakan pisau dan sarung tangan. Sudah tugas wanita sebagai ibu rumah tangga.

Setibanya di dapur, Azkiya melihat bunda Femmy. Wanita yang rambutnya memutih itu sudah lengkap dengan apron dan pisau di tangannya. Bunda Femmy tengah memotong-motong daging ayam menjadi beberapa bagian, sedangkan di atas salah kompor sudah ada belanga berisikan rempah-rempah, sepertinya wanita itu mau meng-ungkep ayam.

“Pagi, Bunda.” Azkiya menyapa riang, ia kemudian berjalan ke samping wanita itu, bersiap membantunya. “Bisa aku bantuin, Bunda? Apa aja aku bisa.”

“Pagi sayang,” sapa Bunda Femmy, senang sekali melihat keberadaan Azkiya pagi-pagi sudah di dapur.

Sudah sejak lama bunda Femmy ingin sekali memiliki teman memasak di dapur, namun anaknya hanya satu, dan berkelamin laki-laki, yang mana sangat jarang pergi ke dapur.

Namun senyum manis itu perlahan hilang berganti menjadi kerutan di kening bunda Femmy. “Kamu cepat banget bangunnya? Kalian nggak buat cucu untuk Bunda sama Ayah?”

Nggak mamak, nggak mamak mertua, nggak ada bedanya, batin Azkiya, berseru tidak percaya. Pertanyaan frontal bunda Femmy membuat tulang-tulang Azkiya seperti jeli, lemas. Dengan senyum canggung, wanita itu membalas, “Engg, Azkiya potong bawang aja, ya, Bunda?”

Bunda Femmy terkikik, menatap Azkiya yang salah tingkah dengan rona merah yang menjalar dari pipi hingga ke telinga wanita itu. “Semakin cepat, makin baik kan? Jadi, Bunda tunggu kabar baiknya.”

“Ehehe, iya Bunda.” Azkiya menyengir kering, sambil menjalankan tugasnya yaitu mengupas kulit bawang merah.

Bagaimana bisa membuat anak, sedangkan tidur di kamar saja, Azkiya sudah ketar-ketir, bahkan kulit Gibran tanpa sengaja bersentuhan dengannya mampu membuat saraf Azkiya mogok bekerja. Kalau dulu, semasa status mereka hanya sahabatan, wanita itu lumayan biasa saja, namun berbeda sekarang, ada sesuatu yang membakar kulitnnya, dan jantung yang berpacu, selalu saja berdetak kencang.

🏥🏩🏥

“Saya antar ke hotel aja gimana?” tawar Gibran. Pria itu baru saja pulang dari rumah sakit, sekitar lima belas menit yang lalu.

Azkiya mengangguk sambil memasukkan barang-barang yang akan ia bawa ke hotel ke dalam tas selempeng miliknya. “Okay, nanti pagi nanti aku pulang pake gojek, kamu langsung ke rumah sakit, aja.”

Langkah Gibran yang hendak berjalan ke arah jendela kamar langsung tertahan. “Nanti saya jemput,” ujar pria itu sembari kembali berjalan ke arah jendela.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu karena Gibran dan Azkiya sama-sama tidak tahu harus berkata apa lagi. Kalau dulu, bisa saja wanita itu bercerita panjang lebar, sesuka hatinya, walaupun ia menyukai Gibran, namun ia tetap bisa melakukan apapun yang ia sukai, di mana belum tentu apa yang ia lakukan Gibran menyukainya, tapi sekarang berbeda, ia harus menjaga tingkahnya tanpa sadar, Azkiya ingin terlihat ... Seperti wanita anggun di mata pria itu, Gibran.

Hal itu juga Gibran rasakan. Sejak kemarin, Azkiya tidak terlalu banyak berbicara seperti sebelum-sebelumnya. Maka, pria berbalik, berdiri di depan Azkiya yang memakai tas selempeng-nya. “Kamu nggak harus berubah setelah kita nikah, Kiya. Tetap jadi diri kamu yang biasanya.”

Azkiya bergeming, matanya berkedip beberapa kali membalas tatapan Gibran di depannya, perlahan pembuluh darah di sekitar wajah seperti pecah hingga menghasilkan warna merah merona, kontras dengan kulitnya yang cerah. Azkiya mengalihkan pandangan, melihat ke arah lain agar tidak lebih parah lagi salah tingkahnya.

Di posisinya, Gibran menahan mati-matian hasrat ingin mencumbu kedua pipi Azkiya itu, dan juga bibir yang wanita itu yang selalu memamerkan keindahan senyumannya. “Ayok, saya antar ke Hotel.”

Tangan Gibran memegang setiap jemari mungkin Azkiya, lalu membawanya keluar dari kamar mereka dengan Azkiya yang pasrah dengan tindakan yang baru-baru ini sering pria itu lakukan, menggenggam erat tangan istrinya.

Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Gibran, Azkiya langsung diantar pria itu ke Suittelova. Di dalam mobil, suasana berubah lagi menjadi canggung. Azkiya tidak pernah berpikir bahwa pernikahan mereka akan membawanya dan Gibran pada suasana canggung seperti sekarang. Azkiya yakin, ini karena perasaannya.

“Kamu nggak mampir dulu ke supermarket?” tawar Gibran saat mereka berpapasan dengan salah satu supermarket, dalam perjalanan menuju Suittelova yang memakan waktu 30 menit dari rumah orang tua Gibran.

Azkiya menggeleng. “Nggak usah, mager keluar,” tolaknya.

“Nanti saya yang turun, kamu di mobil saja kalo begitu,” usul Gibran. “Kalo mau saya putar balik.”

“Nggak usah.”

Akhirnya, mereka sampai juga di depan Suittelova. Hotel yang menjulang tinggi dengan bentuk atap khas Medan. Di depan sana ada area security bersama beberapa orang-orang yang masuk ke dalam hotel, sepertinya mereka staff Suittelova juga, sama seperti Azkiya, pikir Gibran.

“Makasih, ya, Gibran,” seru Azkiya seraya melepaskan sabuk pengaman mobil.

“Sama-sama.” Gibran mengangguk pelan. Ketika matanya memandang Azkiya hendak membuka pintu mobil, ia kembali berseru, “Hati-hati, telpon saya kapan aja.”

Azkiya menoleh bersama secercah senyum manis. “Siap, Abang suami,” seru Azkiya, entah darimana datangnya keberanian itu, hanya saja, ia ingin mengatakan hal tersebut. Azkiya lalu keluar dari mobil, mengabaikan Gibran yang terdiam.

Langkah Azkiya membawanya sampai di depan area security.

“Az?” Sapaan itu datang dari samping Azkiya. Panggilan itu hanya berasal dari satu nama, Andi. Pria itu menatap mata Azkiya dengan sorot mata redup. Seperti saja patah hati.

“Malam Andi.” Azkiya berseru canggung, bagaimana pun, bukannya terlalu percaya diri, namun Azkiya tahu penyebab pria itu tidak bersemangat bisa saja karena kabar pernikahannya, bahkan Andi tidak datang di acara resepsinya, padahal Azkiya sudah mengundang Andi secara langsung.

“Ayok masuk sama-sama!” seru Azkiya, hendak menarik tangan Andi, namun tertahan begitu saja ketika wajah Gibran tiba-tiba muncul di benaknya, seakan menjadi alarm untuk tidak menyentuh orang lain, selain dirinya seorang. Azkiya menarik kembali tangannya.

Tanpa menunggu lagi, Azkiya berjalan terlebih dahulu dari Andi. Akan tetapi seruan Andi membuat langkah wanita itu berhenti bergerak, bersama dengan napas tercekat.

“Aku sayang sama kamu, Az!”

“Aku ... Cinta kamu!” tegas Andi seraya menarik tangan Azkiya, memegangnya dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya.

Tindakan pria itu membuat Azkiya sangat terkejut, ia sampai memekik tertahan ketika tubuh mereka saling bertubrukan. Jantung Azkiya berdegup kencang, sangat kencang, bukan karena ia tindakan Andi atau rasa tertariknya pada pria itu, namun kepada sosok Gibran yang berdiri beberapa meter di depan sana.

“Lepas Andi! Aku sudah menikah! Kalo kamu lupa!” Azkiya merontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman pria itu. Pelukan mereka terlepas dengan Andi yang menatap Azkiya terluka dan rasa sesal.

Kepala Andi menggeleng kuat-kuat. “Maaf, Az. Ma—”

“Gibran! Gibran! Tunggu dulu!" teriak Azkiya, berlari kecil mengejar Gibran yang masuk ke dalam mobil.

Ada apa ini? Bagaimana jika Gibran marah? Bagaimana nanti kalau laki-laki tidak mau berbicara dengannya lagi? Bagaimana jika, Gibran kecewa? Apa pandangannya nanti terhadap Azkiya setelah ini? Banyak pikiran berkecamuk di benak Azkiya.

Perlahan langkah Azkiya berhenti, bersama dengan air mata yang mendesak keluar dari pelupuk matanya, hatinya sakit melihat mobil Gibran melaju, pergi begitu saja. “Harusnya kamu denger dulu, Kenapa malah pergi?”

Azkiya sadar! Kalian cuma sahabat, nggak lebih! Jangan berlebihan! Batin wanita itu, menyadarkannya dengan kenyataan yang pahit.

Benar! Mereka hanya terikat di atas pernikahan di atas kertas, tidak ada yang lebih dari sekedar politik dan permainan saja. Azkiya, sadar diri!

Menghapus bekas air mata yang berjatuhan di kedua pipinya, Azkiya memutar langkah, kembali ke arah security area, ia harus bekerja!

🏥🏩🏥

Gibran memutar setir mobil dengan kasar, menekan pedal gas, melaju dengan kecepatan tinggi, yang untung saja jalan malam itu tidak sepadat sore hari, menjelang pulang kantor.

Darahnya berdesir kencang, genggaman pada stir mobil kembali mengencang ketika bayang-bayangan pria yang tidak dikenalnya itu memeluk tubuh Azkiya. Memeluk tubuh istrinya dengan posesif! Gibran tidak tahu siapa orang itu, Azkiya tidak pernah bercerita tentangnya.

Apa mungkin, pria itu kekasih Azkiya? Atau ... Mantan kekasih wanita itu?

Gibran berdecak kesal. Ia akui bahwa melihat Azkiya bersama pria adalah hal yang tidak ia sukai, dan lebih tidak suka lagi ketika pria lain menyentuh miliknya, Azkiya.

Di tengah-tengah amarah yang tersalut, ada setitik rasa bersalah menyerang, seharusnya tadi dirinya berhenti saat Azkiya menyerukan namanya. Kenapa tadi ia melarikan diri? Bagaimana perasaan wanita itu?

Cittt! Gibran menghentikan mobilnya secara mendadak, secepat mungkin ia memutar mobil ke arah sebaliknya, ia harus bertemu dengan Azkiya. Secepat kilat ia sampai di depan Hotel Suittelove, namun tidak ada seorang pun di depan sana, kecuali seorang pria tua yang duduk di dalam pos security.

Sial!

To be Continued

A.n:

Guys guys. Jangan bosan-bosan baca kisah Azkiya dan Gibran ya. Hihihi.

Okay! Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Btw part ini bener-bener belum terlalu aku revisi, but biasanya emang begini ahahah. ;V typo selalu ae terlewatkan dari mataku, mungkin efek tulis langsung dari wattpad ya? Ahahah.

Aku selalu terbuka dengan kritik dan saran yang membangun kawans, jadi kapan aja, DM Beb. Wkwkwkw.

See, yeah!




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top