🏩🏥 | Bagian Dua Puluh Dua
Bagian Dua Puluh Dua
~~~🏩🏥🏩~~~
Gibran mengeluarkan benda yang belakangan ini jarang ia gunakan, karena atensi dan pusat pikiran selalu terarah pada wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya. Iya barang-barang itu adalah Kaset dan walkman. Jika ada yang berkata bahwa ia tidak modern, masa bodoh dengan itu, ia memiliki sesuatu yang ia senangi, dan akan terus begitu, tidak peduli dengan ucapan orang lain.
Sore ini, Gibran berjalan dengan langkah ringan keluar dari Stase Penyakit Dalam dengan headset yang tersambung dengan walkman yang memutarkan lagu Hey, Jude dari The Beatles. Tangan Gibran bergerak, memukul pelan pahanya, mengikuti setiap ketukan lagu tersebut. Selalu saja, bersama benda-benda kesukaannya itu, segala sesuatu terasa sangat menyenangkan.
Sama halnya dengan Azkiya, Gibran baru menyadari satu hal, perjanjian yang sejak awal mereka rancang, pernikahan dua tahun, semuanya telah hilang, benar-benar lenyap, bahkan tidak ada pembahasan tentang perjanjian itu sejak malam pertama, ah, bukan malam pertama, namun sore pertama mereka selesai, Azkiya juga bertanya tentang perjanjian mereka, dan Gibran dengan lantang mengatakan bahwa, tidak ada lagi hal bodoh seperti itu, karena sesungguhnya, mereka tidak membutuhkan perjanjian tersebut lagi.
Tibalah pria itu di parkiran mobil, mengeluarkan kunci mobil, Gibran kemudian masuk ke dalamnya, menyalakan mesin mobil. Gibran melaju dengan kecepatan sedang membela keramaian kota Medan di sore hari. Banyak kendaraan yang berlalu lalang dengan suara deru mesin, dan klakson yang saling bersahutan, toko-toko, ruko-ruko, dan pedang kaki lima berderet-deret di sisi jalan, membuat kota terlihat ramai di sore hari.
Ting! Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Gibran. Mengabaikan pesan tersebut, pria itu tetap melajukan mobilnya, tidak baik memegang ponsel di saat berkendara dalam keadaan cukup ramai seperti sekarang. Gibran tidak mau membawa musibah pada dirinya, dan orang lain, first, do not harm, primum non nocere! Sampailah Gibran di lampu lalu lintas, mengentikan mobil, ia pun merongoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dari sana. Kali ini, lampu merah, jadi Gibran bisa membuka ponselnya dengan sedikit leluasa.
Dear:
Revan datang ke rumah.
Sekarang.
Tangan Gibran spontan meremas kuat ponsel hingga kuku-kuku jarinya memutih, mengigit bibir bawah, sambil menghembuskan napas gusar. Gibran tidak suka, perasaan pria itu jadi tidak enak. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa ia tidak suka dengan kedatangan sahabatnya sendiri di di saat ia telah resmi menjadi suami dari Azkiya? Sudah jelas kan status di antara mereka, yang mana pasti Revan tahu diri, bisa membedakan masa lalu dan masa kini.
Meletakkan ponsel di atas dasbor mobil, Gibran menginjak pedal gas, melaju saat lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi hijau. Satu tangan memegang stir mobil, satu tangan lagi mengusap pangkal hidungnya. Dengan kasar, Gibran melepaskan headset yang sejak tadi tidak lagi memutarkan musik dari kaset, lalu meletakkan benda itu di samping ponselnya.
Suasana damai seketika menguap, hilang terbawa angin, dan masa lalu bersama kedatangan kegelisahan tentang Revan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, sampailah Gibran di depan rumah, segera sesudah memarkirkan mobil, pria itu berjalan masuk ke dalam rumah, namun langkahnya tertahan sejenak, baru menyadari garasi rumah mereka tidak hanya mobilnya saja, melainkan mobil asing yang sudah dipastikan milik Revan.
Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan dengan pelan, Gibran melangkahkan kakinya memasuki rumah. Mata cokelat pria itu dengan jelas bisa melihat wajah pria yang telah belasan tahu tidak ia temui itu, wajah yang tirus, hidung yang mancung dan mata tajam bagai elang, pria yang pernah meruntuhkan banyak hati perempuan, dan masih terlihat tampan, atau mungkin lebih tampan jika dibanding dengan zaman dulu.
“Yo! Dude, long time no see. Are you happy?” seru Revan dengan mata menyipit, bibir terangkat, kemudian berdiri dari sofa dan berjalan sambil merentangkan tangan menyambut kedatangan Gibran dengan senang hati.
Meskipun canggung, Gibran dengan kaku menerima pelukan pria itu. Sudah lama sekali ia tidak memeluk orang ini, orang yang dulu pernah berbagi cerita dengannya, suka dan duka, cita-cita, harapan, tangis, amarah, selama 2 tahun. Hanya itu, namun kisah mereka cukup banyak dan menyengsarakan sebernarya untuk dikenang. Perlahan, Gibran mengangkat tangan, membalas pelukan Revan, perasaan canggung pun mulai surut bersama suasana menghangat di antara mereka.
“Saya baik-baik, saja, seperti yang kamu lihat?” jawab Gibran seraya melaksanakan pelukan mereka. Pria itu mengangkat tangan, menepuk pundak Revan dengan lembut. “Apa kabar?”
“Kurang baik, soalnya dua sahabat aku menikah, dan tidak memberitahukan kepadaku sebelumnya,” sindir Revan, terdengar nada tidak suka yang cukup jelas di dalamnya, namun dengan berganti menjadi nada biasa saja; terlihat tenang, tidak ada marah di dalam sana, tidak juga bahagia.
Bersama dengan itu, Azkiya datang dari arah dapur bersama jus jeruk dan beberapa cemilan di atas talang. Gibran yang melihat kedatangan sang istri pun mencoba untuk membantunya untuk meletakkan napan tersebut di atas maja, namun dengan tatapan Azkiya yang memberi kode supaya pria itu duduk saja bersama Revan, dan biarkan ia berkerja selayaknya istri.
“Azkiya tambah cantik aja, ya? Bran?” ujar Revan, mengalihkan tatapannya dari Azkiya, melihat Gibran yang terdiam kaku, menanggapi ucapan pria itu dengan anggukan kepala.
“Dia selalu cantik,” jawab Gibran, terdengar tegas dan penuh keyakinan, karena memang begitu, wanita yang tengah bersemu merah itu adalah wanita tercantik setelah bunda Femmy yang pernah ia temui, orang yang membuatnya tidak bisa berpaling selama bertahun-tahun, dan berani mengeluarkan ide gila tentang pernikahan dan kini, mereka saling—sungguh—mencintai.
Revan tersenyum kecil, kepalanya mengangguk-angguk. Tatapan yang terlihat hangat, namun beberapa detik berganti menjadi dingin, dan kembali lagi menjadi hangat. Ekspresi wajah yang terlalu banyak, membuat Gibran bingung.
“Kalian, sudah berapa lama Menikah?” tanya Revan, kali ini pusat pandangannya jatuh pada Azkiya, menatap lekat wanita itu, yang memakai pakaian lengkap panjang, dan celana selutut, rambutnya tergerai.
🏩🏥🏩
“Revan tambah ganteng, ya?” celetuk Azkiya, beberapa menit setelah mereka kembali ke kamar, dan pria yang sedang mereka bahas ini sudah pulang sejak 30 menit yang lalu.
Gibran menghentikan gerakan melepaskan Hoodie abu-abunya, rahang pria itu mengeras dengan tangan terkepal kuat seraya menatap Azkiya yang berbaring di atas tempat tidur dengan pandangan datar dan dingin. Sejak tadi ia berusaha untuk menjaga suasana hatinya untuk tetap baik, namun dengan satu kalimat Azkiya, semua pertahanan itu runtuh begitu saja. Bayangan tentang tatapan Revan tadi ketika melihat Azkiya kembali berputar di kepalanya seperti kaset yang terus di-replay.
“Dia tambah macoh kan? Kulitnya juga cokelat gimana-gimana gitu, mantap kali!” tambah Azkiya, belum menyadari bahwa Gibran sana sekali tidak suka dengan pembahasan yang sedang wanita itu bicara.
Membuka pintu kamar mandi, tanpa merespon ucapan Azkiya, Gibran memilih untuk membersihkan tubuhnya daripada bersama-sama mendengar kalimat yang lebih mengganggu kesehatan suasana hatinya.
Kenapa juga harus membahas orang yang tidak ada di sini? Pikir Gibran sambil menyalakan shower yang mulai membasahi seluruh tubuhnya dari ujung rambut hingga telapak kaki.
Di luar, kening Azkiya bertautan dengan bibir yang sedikit membulat, memandang heran pintu kamar mandi yang tertutup dengan sedikit kasar oleh Gibran. Bangun dari tempat tidur, Azkiya memilih untuk duduk di kursi rias, menunggu sang suami keluar dari kamar mandi.
Tidak biasanya Gibran menutup kasar pintu kamar mandi, bahkan ini pertama kalinya ia melihat tingkah pria itu. Ada apa dengannya? Setahu Azkiya, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Ah, mungkin saja pria itu tidak sengaja menutup kasar pintu. Sambil menunggu, Azkiya menarik asal buku yang ada di atas meja rias, itu buku memiliki Gibran, yang sangat jarang sekali Azkiya sentuh.
Meskipun bacaan buku tersebut sedikit membosankan, Azkiya tetap membaca ambil menunggu tanda-tanda Gibran keluar, namun sampai sepuluh bab kemudian, tidak ada tanda-tanda pria itu hendak keluar dari sana. Meletakkan kembali buku di atas meja dengan kesal, Azkiya berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke depan pintu.
“Gibrannn? Kok, kamu lama banget di kamar mandi? Kamu nggak ketiduran kan?” panggil Azkiya dengan suara lumayan nyaring, tangannya tidak tinggal diam saja karena kini dengan kesal menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“Gibran! Seriusan, ini nggak lucu sama sekali! Jawab!” imbuh Azkiya, yang kini memegang kenop pintu, berusaha untuk membukanya. Bayangan-bayangan tentang orang tertidur di bathtub dan tenggelam memenuhi kepala Azkiya, memang sedikit berlebihan dan terkesan tidak masuk akal, mungkin karena terlalu banyak mengkonsumsi micin.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Tubuh Azkiya mendapat tarikan cukup keras hingga masuk ke dalam kamar mandi, hingga kini tubuhnya terhimpit pada tembok dan pintu yang telah tertutup rapat dan Gibran yang berdiri di depannya, merentangkan tangannya menutupi pergerakan Azkiya, menatap datar sang istri.
”Gib—hmm!” Bibirnya dibungkam oleh ciuman Gibran, ciuman yang intens dan sedikit kasar hingga membuat Azkiya mengernyit heran. Ada apa sebenarnya?
Setelah itu Gibran melepaskan ciuman mereka, masih dengan jarak yang sangat dekat dengan Azkiya, wanita itu bisa dengan jelas mendengar suara rendah pria itu. “Saya nggak suka kamu ngomong pria lain.”
🏩🏥🏩
Di sisi lain, Tamara sedang memegang foto Gibran yang berdiri di sampingnya saat foto bersama beberapa dokter lainnya beberapa tahun yang lalu, namun sudah ia potong dan menyisakan gambarnya dan pria itu saja.
Wajahnya sedih, sangat sendu. Ingin rasanya ia berteriak di depan wajah Gibran, mengungkap cinta kepada pria itu bahwa ia teramat sangat mencintainya. Meremas kuat foto tersebut, wanita itu kembali meneteskan air mata.
“Harusnya sejak dulu aku mengungkapkan perasaan ini, karena kebodohan ini, rasa takut ini, akhirnya Gibran pergi bersama perempuan lain!” gumamnya, menyalahkan diri sendiri.
Kedua pipinya telah basah, berderai air mata sambil menatap langit malam di luar kamar, memandang nelangsa angkasa yang sangat kontras dengan keadaan hatinya, seperti sedang menertawakan kesedihan wanita itu, mengejeknya karena tidak berani mengungkapkan perasaan sejak dulu, dan berakhir pada penyesalan mendalam.
To be Continued
An:
Kalo ada salah kata atau kalimat belibet lainnya? Komen aja, Beb. Seperti biasa, jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Seperti biasa, setelah menulis, aku revisi seadanya, lalu up.
Udah, semoga nggak bosan, dan selamat menikmati!✍🏼
See u,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top