🏩 | Bagian Dua

Bagian Dua
~~~🏩🏥~~~

Azkiya mendengus jengkel. Setibanya dari Suittelove, Azkiya kembali dikepung dengan pertanyaan paling menyebalkan sejagat raya dunia ini! Pertanyaan yang sama untuk kesekian kali, Azkiya sampai en'ek mendengar kalimat-kalimat tersebut. Padahal kemarin ia, baru saja direcoki perihal yang 'sama' dari Mama, dan sekarang bertambah satu lagi pasukan garis keras menikah adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia.

"Kapan nikah kau, nak?" Pertanyaan itu datang dari salah satu kerabat jauh Mamanya, Mina.

Azkiya tersenyum masam, sama sekali tidak berminat membalas ucapan si Tante. Dikira menikah sebelas dua belas sama balapan motor GP, apa? Jadi harus cepat-cepatan gitu? Maaf yah, Azkiya bukan Valentino Rossi! Okay, abaikan yang terakhir karena pikirannya suka nyeleneh kalau lagi kesal.

Tapi, hey! Hidup semakin maju, zaman sudah modern! Kenapa pemikiran orang-orang masih saja kolot? Daripada kebelet nikah, lebih baik Azkiya memantapkan mental, finansial, membangun karir, membuka usaha agar ketika menikah bisa tetap bekerja tanpa meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu.

Karena Azkiya hanya diam--tak kunjung menjawab pertanyaan Nita--wanita itu menerima tatapan kesal dari Mina. Seketika nyali Azkiya menciut, ia berdehem sebentar, menetralkan radikal racun di hatinya untuk mengatakan hal-hal kurang baik.

"Belum nemu yang cocok, Tante. Nanti kalau ada kukenalin," ke kelen semua! Ke semua manusia yang nanya terus kek orang kesetanan kapan aku kawin! Kalau mau kumasukkan juga sekalian ke koran biar pada baca! Lanjut Azkiya dalam hati.

Tante Nita memutar bola mata yang dilapisi lensa kontak berwarna biru terang, sungguh pemandangan kontras dengan kulit kecoklatan wanita itu. Jangan lupa bedak tebal di wajah wanita itu, sungguh mirip seperti tikus tabrak tepung.

Azkiya berjalan masuk ke dalam kamar setelah berpamitan, dan menutup pintu kamar dengan kesal, kemudian membaringkan tubuh di atas kasur queen size-nya. Mata wanita berusia 29 tahun itu terpejam rapat.

Pernah sekali Azkiya membaca sebuah thread di salah satu aplikasi yang menuliskan kira-kira begini.

'Menikah itu jangan karena kepentok umur, tapi menikahlah jika anda sudah menemukan seorang pria yang bisa dan mampu menjadi partner hidup anda sampai mati, terutama menjadi ayah yang baik untuk anak anak anda.

Karena itu, Ingatlah satu hal ini, ‘ANDA BISA MEMILIH SUAMI ANDA, TAPI TIDAK UNTUK ANAK-ANAK ANDA. MEMILIH  PRIA YANG SALAH BISA MEMBUAT ANAK ANDA MENJADI FATHERLESS CHILD DI KEMUDIAN HARI.'

Itu memang benar. Azkiya sangat sependapat dengan ketikan mbak-mbak anonim tersebut.

Ingin sekali, sungguh! Dari tubir hati wanita itu, ia berharap bisa bertahan hidup walaupun kepalanya sering sakit dengan pertanyaan kapan menikah yang selalu dilontarkan orang-orang. Tahu sendiri kan pekerjaan Azkiya? Hal itu membuat ia berpeluang bertemu dengan kawan-kawan lama yang rata-rata sudah menikah.

Apalagi ada desakan menikah yang semakin bertambah parah setelah tiga hari yang lalu. Tepat hari ini Azkiya diberitahu oleh Anya—adik perempuannya yang bekerja sebagai Bidan—yaitu, ia ingin dinikahi pacarnya, Joko, yang menjadi masalah di sini adalah di dalam adat keluarga mereka, si adik tidak diperbolehkan melangkahi kakak kandung sendiri.

Mau tidak mau, kutipan di atas tidak lagi bisa Azkiya pertahankan. Tidak mungkin ia membuat Anya dan Joko harus menunggu lama agar ia segera menikah. Makanya, sejak kemarin malam pula, Azkiya berdoa diam-diam, memanjatkan harapan agar segera dipertemukan dengan sang jodoh yang sekarang entah ada di dunia mana.

Drtttt.

Azkiya merogoh saku celana yang ia pakai, mengeluarkan benda pipih itu dan membaca pesan singkat dari seorang pria.

Pack DogTear:
Besok saya jemput ya?

Azkiya Sara:
Mau kemana pack DogTear?

Pack DogTear:
Ada, pokoknya penting.
Besok saya jemput di depan Hotel.

Pack DogTear:
Bukan pack DogTear!
Pak dokter!

Azkiya Sara:
Ck! Iya, bawel.

Setelah Adzkiya meletakkan ponselnya dengan sembarang di atas kasur.

Pria yang baru saja mengirimkan pesan singkat itu adalah sahabat baik Adzkiya, namanya Gibran Yusgiantoro, Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang kini lagi sibuk di RS Hotellova.

Azkiya dan Gibran telah bersahabat sejak keduannya duduk di bangku SMP. Lebih tepatnya Azkiya yang selalu mendekati lelaki itu. Iya, wanita yang memiliki kulit sawo matang itu akui, niat awal memang untuk mendekati Gibran karena suka, namun reaksi Gibran yang lempeng kayak kehidupan Azkiya yang monokrom ini, mau tidak mau, ia harus menerima kenyataan sepahit obat malaria primakuin, bahwa mereka mungkin saja ditakdirkan hanya untuk menjadi sahabat.

Setelah waktu berlalu, entah perasaan sudah lenyap dari Gibran atau pura-pura mati, yang jelas ia nyaman selama ini bersahabat dengan lelaki itu. Walaupun lempeng, Gibran orangnya asik kalau diajak bercerita banyak hal, atau saling bertukar pandangan. Ah, jangan lupakan sarkasme lelaki itu yang terkenal, hingga ia dijuluki Mr. Sarkasme.

“Ketika orang-orang mengajukan pertanyaan bodoh kepada saya, adalah kewajiban hukum saya untuk memberikan komentar sarkasme." Itu kata-kata Gibran saat Azkiya mengomel karena lelaki itu terlalu sarkas.

Bangkit dari berbaringnya, Azkiya kemudian melepaskan satu persatu pakaian. Ia butuh mandi, sungguh tubuhnya lengket sekali, dan wajahnya juga kusam akibat bekas make up yang belum benar-benar bersih dari wajahnya. Hari ini sangat melelahkan, sama persis seperti hari yang lalu.

🏩🏩🏩

Azkiya menunggu dijemput Gibran di salah satu toko buku yang letaknya tidak terlalu jauh dari Suittelova.

Seharusnya tadi Azkiya sudah dijemput Gibran, akan tetapi, si dokter muda itu lagi-lagi ada urusan mendadak dengan pasien. Mau tidak mau, di sinilah Azkiya menunggu Gibran sejak satu jam yang lalu.

Mata wanita itu melirik salah satu buku yang ingin sekali ia ambil. Letak buku tersebut berada di rak terbatas yang tidak bisa dijangkau oleh Azkiya.

Satu fakta menyakitkan buat Azkiya adalah, tubuhnya pendek. Iya, tinggi wanita itu hanya 155 cm! Padahal kedua adik-adik lelaki dan perempuan Azkiya memiliki tubuh yang tinggi.

Karena kejanggalan itu pula, Azkiya yang dulu masih kecil pernah bertanya kepada Mina, "Mama? Mama sama papa bukan anaknya Azkiya kan?"

Nah, pertanyaan di atas tidak salah. Azkiya memang bertanya seperti itu, maklumlah, waktu itu ia kan masih bocah ingusan yang suka main kelereng di taman komplek. Untung saja, Mina cukup jenius untuk memahami pertanyaan bocah ingusan 9 tahun itu.

Kejadian yang sudah mirip seperti siklus haid Azkiya, kembali terjadi lagi. Dongkol sekali wanita berambut sebahu itu ketika bertemu dengan teman SMA-nya dulu secara tidak sengaja di dalam toko buku ini, apalagi bersama dengan seorang anak laki-laki berusia empat tahun, sudah pasti itu anaknya.

"Nggak tinggi-tinggi kau?" tanya David, cengiran kecil lelaki itu terdengar seperti tawaan saiton, membuat darah tinggi Azkiya naik melambung tinggi. Kalau saja ia punya tangan mirip seperti Lutfi di anime One Piece, sudah dipastikan David remuk di genggamannya detik ini juga.

“Tinggi badan Abang 190cm?” Tiba-tiba saja suara bariton yang sangat Azkiya kenal terdengar dari belakang tubuh wanita itu.

Azkiya berbalik badan, Tanpa sadar Azkiya bernapas lega ketika suara itu mengudara hingga ke gendang telinganya. Senyum lebar tidak bisa ia tahan saat lelaki yang sudah membuat janji dengan Azkiya datang menjemput, tidak lupa pertanyaan sarkas tadi.

"Kiya?”

Gibran berdiri di belakang, satu langkah di depan wanita itu.

"Ah. Aku pergi dulu, ya," pamit Azkiya, melambaikan tangan ke arah David dengan senyum datar.

David hanya terdiam. Pria bertubuh 170 itu melengos pergi dengan tatapan tidak suka ke arah Gibran yang layaknya jalangkung.

Gibran, pria dengan tinggi badan 183 cm, memiliki warna kulit kuning langsat. Jika orang yang tidak mengenal Gibran, mungkin saja akan mengira ia telah menikah. Bukan karena tua, atau apalah! Namun terlalu sempurna untuk dinyatakan belum ada yang memiliki hati lelaki itu. Paling tidak, orang-orang akan berasumsi bahwa ia sudah memiliki kekasih.

Padahal, boro-boro menikah, niat pacaran saja tidak ada. Gibran lebih tertarik mendengarkan suara stetoskop daripada membuang waktu mendengarkan cerita dari orang yang tidak dikenal—terkecuali pasien dan orang sakit. Ia lebih menyukai garis-garis gelombang layaknya sandi rumput dari mesin EKG daripada membaca pesan singkat yang berasal dari nomor tidak dikenal, mengajaknya kenalan. Terakhir, Gibran lebih suka membumbui tanda tangannya di atas kertas keterangan tentang pasien-pasiennya daripada membalas pesan singkat yang tidak penting, apalagi menadatangani buku nikah! Tidak ada, lelaki itu hanya hidup untuk pasien, dan pasien untuk lelaki itu.

"Mau kemana sih?" tanya Azkiya saat memasuki pintu mobil Gibran yang berwarna putih. Sejak tadi mala ia sudah penasaran kepada Gibran mengajak ia berbicara serius seperti sekarang. Ini bukan style seorang Gibran yang ia kenal.

"Kafe.” jawab Gibran singkat sambil memasang sabuk pengaman yang tidak pernah dan tidak akan ia lupa untuk memakai benda itu.

Gibran melirik ke arah Azkiya dengan ekor mata. Ternyata wanita itu belum juga memasang seatbelt-nya. "Pake sabuk pengaman, Kiya," suruh Gibran.

Membuang napasnya, Azkiya begitu lelah bahkan untuk memakai seatbelt. Namun tatapan Gibran terus tertuju padanya, menuntut Azkiya segera melakukan perintahnya. Ia kemudian memasang pelindung diri itu dengan malas-malasan.

“Udah.”

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang membelah kota Medan.

To be Continued

A.n:

Hai hai, jangan lupa untuk vote, komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya.

Ada salah kata? Tidak runtut atau apapun itu? Silakan diberitahu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top