🏥 | Bagian Delapan Belas

Bagian Delapan Belas
~~~🏩🏥🏩~~~

Gibran duduk di tepi tempat tidur seraya memandang ke arah kamar mandi dengan perasaan sesal, penuh bersalah. Sembari menunggu Azkiya keluar dari sana, ia memikirkan bagaiman cara agar menjelaskan kepada wanita itu tentang keterlambatannya.

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok Azkiya yang keluar bersama piyama dan handuk kecil yang menutupi kepalanya. Mata bulat wanita itu menatap balik sang suami dengan senyum tipis. Sama sekali tidak ada tatapan kesal di sana, walaupun awal-awalnya ia sempat mendengkus sebal karena tidak mendapat jemputan dari Gibran, namun mengingat perkejaan pria itu, ia jadi tersadar, bahkan sebelum menjadi istrinya pun, Gibran sering menunda acara dadakan mereka karena keadaan darurat.

"Udah pulang? Kapan?" tanya Azkiya sembari berjalan ke arah kursi rias, melepaskan handuk di kepalanya dan mulai mengeringkan rambut secara manual-menggosok handuk pada rambut secara acak-acakan. Dari semua bagian wajahnya, hanya satu bagian yang paling mencolok di mata Gibran sekarang, mata mata dan hidung Azkiya yang memerah dan berair.

Pria itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Azkiya, dan berjalan mendekati sang istri. Menarik handuk kecil dari tangan Azkiya, lalu mengusap lembut rambut wanita itu. "Saya minta maaf tadi nggak bisa jemput kamu. Tadi ponsel saya mati sampai sekarang pun masih mati. Saya juga ke Hotel, tapi pas saya tanya ke satpam yang jaga, katanya kamu udah pulang," jeda Gibran sejenak, mengamati pantulan cermin yang menampilkan wajah Azkiya, wanita itu juga sedang menatapnya. "Saya minta maaf karena buat kamu pulang kehujanan, tadi."

"Santai aja, Bran. Aku nggak papa, kok, tadi cuma dikit aja kehujanannya," bohong Azkiya. Kisah nyatanya adalah, wanita itu benar-benar basah kuyup hingga kelapisan terdalam yang dipakainya, tidak terkecuali.

Kepala Gibran menggeleng pelan, tidak setuju dengan pernyataan Azkiya yang terdengar seperti membelah dirinya. "Kamu jarang istirahat akhir-akhir ini dengan baik, Dear. Kita sa-"

"Achooo!" Azkiya menarik tisu yang ada di atas meja rias, lalu menghapus bekas-bekas sisa air yang keluar dari hidung, dan juga matanya.

"Kamu minum obat, ya. Nanti saya kasih obat setelah makan malam, baru kita tidur, benar-benar tidur," ucap Gibran sungguh-sungguh, sembari tangannya dengan cepat mengusap rambut Azkiya, tidak baik jika kepalanya terlalu lama dalam keadaan basah seperti sekarang.

"Makasih, ya, Bran." Hati Azkiya menghangat, kepedulian Gibran yang seperti ini, membuat ia senang. Rasanya sudah sangat lama ia tidak mendapatkan perhatian khusus dari orang-orang tersayang, dari Mama dan Bapak, serta kedua adiknya. Mungkin karena Azkiya adalah sosok wanita yang terlihat sangat matang di mata mereka, dan mampu untuk mengurus diri sendiri, jadilah perhatian itu berkurang kepadanya. Padahal, Azkiya masih lah tetap anak gadis kecil yang hanya berubah menjadi wanita dewasa, dirinya sama seperti yang dulu, hanya beberapa pola pikir dan cara mengambil keputusan yang berubah, namun rasa ingin untuk mendapatkan kasih sayang tetaplah ada.

"Sama-sama." Gibran mengecup kening Azkiya dengan cepat. Sontak Azkiya tertawa kecil, bisa-bisanya pria itu mencari-cari kesempatan yang ada untuk dicuri.

🏥🏩

Gibran meletakkan tangannya pada kening Azkiya yang panas akibat demam. Wajah wanita itu pucat, bibir kering, dan bersin-bersin dan batuk sejak malam. Sudah pasti Azkiya terkena Flu. Maka, sejak beberapa menit yang lalu, Gibran meminta bantuan bunda Femmy membuat bubur untuk Azkiya, dan ia kembali ke kamar

"Sakit banget kepalaku, Bran. Pening, kek mau pecah kalo gerak dikit aja," seru Azkiya sembari berusaha untuk bangun dari ranjang, dan bersandar pada dinding tempat tidur. "Badan aku juga pegal-pegal."

"Sini, saya pijet kepalamu, dear," ujar Gibran sembari menarik tubuh Azkiya untuk berbaring di atas pahanya. Dengan tangannya yang besar dan lembut itu, Gibran mulai menjilati kepala Azkiya.

"Kamu nggak ke rumah sakit?" tanya Azkiya beberapa menit kemudian. Ia baru sadar jika hari ini Gibran seharusnya sudah pergi ke RS.

Gibran menggeleng. "Saya pergi, kok, tapi sebentar lagi, ini masih jam enam, dear."

"Iya. Kamu harus ke RS. Banyak pasien-pasien yang tunggu kamu buat dijenguk, kalo kamu nggak datang, kasihan mereka, pada sedih pasti," seru Azkiya, ia mengubah posisi berbaring menjadi kembali duduk dan bersandar pada dinding ranjang. "Kalo aku masih aman. Belum mencret, kalo diare juga masih aman sih, ahah-achoo!" Pada akhirnya Azkiya harus bersin juga, walaupun kali ini penyebab utamanya bukan karena cahaya.

Gibran tersenyum lebar seraya memberikan tisu kepada Azkiya. Wanita ini benar-benar orang baik, mau mengerti keadaan Gibran dan bisa menempatkan dirinya sebagai pendamping hidup dari seorang dokter yang mengabdikan diri kepada pasien-pasiennya.

"Jangan salah, loh, dear. Diare pernah buat banyak orang meninggal, dari tiga juta sampai lima juta orang." Gibran menatap serius Azkiya. Pria itu jadi teringat kasus wabah Kolera yang membuat banyak orang meninggal zaman dulu.

Azkiya mengernyit bingung bercampur penasaran, mumpung masih jam enam pagi, bolehlah wanita itu bertanya lebih banyak sebelum sang suami pergi. "Kok, bisa? Kasus apa emangnya?"

Tubuh Gibran bergerak mendekati Azkiya, duduk di samping istrinya itu sambil memeluk, tanpa peduli jika virus Flu bisa saja berpindah kepadanya dalam hitungan detik saja. Kalau sudah cinta, apapun diterobos, bucin namanya, buta cinta.

"Kasus wabah Kolera. Memang diare nggak membunuh secara langsung, tapi perlahan diare terus-menerus bisa bikin tubuh manusia jadi kekurangan cairan dan elektrolit, akibatnya bisa dehidrasi berat. Kalo sudah begitu, bakal menganggu sistem kerja manusia. Tubuh manusia itu butuh cairan, jantung butuh cairan buat memompa darah ke seluruh tubuh, terutama otak manusia. Darah juga nggak bisa mengantar makanan dan oksigen dengan baik kalo nggak ada cairan, bayangkan aja kalo darah nggak diseber dengan semestinya ke seluruh tubuh? Teru, lambung nggak bisa memproses makanan, dan masih banyak lagi. Jadi, dear, seriusan, diare nggak bisa disepelekan," jelas Gibran, wajah pria itu tampak serius saat berbicara, membuat Azkiya merutuki diri sendiri karena tidak fokus di saat pria itu menjelaskan tadi.

Siapa suruh ganteng kali? Batin Azkiya sambil menghembuskan napas, yang langsung membuat ia meringis pelan akibat sakit kepala yang menyerangnya.

"Zaman dulu diare memang separah itu, ya?" tanya Azkiya setelah mengurus kepalanya yang sakit tadi.

"Kita nggak bisa membandingkan masa sekarang, dan zaman dulu. Zaman dulu kan belum secanggih sekarang. Terus teori yang mereka pakai juga beda sama yang sekarang. Intinya dulu mereka percayanya kalo penyakit itu di bawah sama angin atau udara, yah, emang ada sih yang kayak gitu, tapi beda kasus sama Kolera yang menyerangnya beda lagi. Namanya teori Miasma. Terus datanglah Jhon Snow, yang memecahkan kasus ini, walau sempat drama banget waktu itu." Azkiya mengangguk pelan menatap Gibran yang bersemangat.

Tok tok tok. Pintu kamar mereka diketuk seseorang. Gibran bisa menebak siapa yang mengetuk, sudah pasti bunda Femmy bersama semangkuk bubur panas yang tadi ia mintai tolong agar dibuatkan.

"Nanti kapan-kapan kita lanjut bahas lagi, ya, Dear," bisik Gibran di samping telinga Azkiya, kemudian ia turun dari ranjang seraya membenarkan baju tidur yang sedikit berantakan.

"Bunda boleh masuk nggak, nih?" Nah, benar, itu suara khas bunda Femmy.

Gibran menyahut, "Boleh Bunda, masuk aja."

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok bunda Femmy yang masih menggunakan piyama tidurnya bersama semangkok bubur di tangannya.

Di rumah ini memang tidak menyewa asisten rumah tangga untuk bekerja setiap hari. ART akan datang setiap hari Sabtu dan Minggu untuk membersihkan rumah dan ruangan-ruangan yang jarang mereka lewati, juga mencuci pakaian. Sedangkan untuk memasak setiap hari, bunda Femmy yang telah berhenti bekerja dari RS bertanggung jawab atas semua urusan dapur. Jadi, di sini, yang bekerja di RS hanya ayah Kalep dan Gibran.

"Gimana, nak? Masih pusing?" Bunda Femmy berjalan ke arah nakas, dan meletakkan mangkok bubur di sana, menatap khawatir Azkiya yang masih terlihat lemas.

Azkiya mengangguk pelan, tidak berani terlalu kuat menggerakkan kepalanya karena rasa sakit. "Iya, Bunda. Udah mendingan."

Kini atensi bunda Femmy berpindah kepada Gibran. Ternyata wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Bunda itu masih kesal kepada sang anak, terlihat jelas dari pandangan Bunda. "Kau, ya. Bunda nggak mau tau, kalo Azkiya sakit lagi gara-gara nggak kau jemput!"

"Iya, Bunda." jawab Gibran, berjanji pada bunda, dan dirinya sendiri supaya tidak mengulangi lagi hal seperti ini.

"Nggak papa, Bunda. Azkiya masih aman-aman aja. Kasihan pasiennya kalau ditinggal cuma gara-gara ngantar aku pulang." Azkiya menimpali, merasa tidak enak karena dirinya Gibran mendapat marah, lagi pula pria itu punya alasan yang kuat dan benar, jadi tidak masalah untuk Azkiya.

🏩🏥

Gibran berjalan memasuki pintu utama Rumah Sakit dengan sedikit berat hati. Di saat-saat seperti inilah ia mendapatkan ujian batin, yang mana ia ingin sekali tinggal di rumah sambil menemani sang istri yang sedang sakit, namun kewajiban sebagai dokter bukanlah hal yang bisa ia abaikan begitu saja.

"Pagi, Dokter." Gibran menoleh ke samping, di mana Tamara yang selalu tidak lepas dari jas putihnya, juga rambut panjang yang ia ikat seperti ekor kuda, dan dua orang suster yang menggunakan seragam mereka.

Gibran mengangguk, tersenyum kecil. "Pagi."

"Dokter mau ke ruangan dulu? Atau langsung visite?" tanya Tamara, memang ada beberapa pasien UGD yang awalnya ditangani wanita itu sebelum dialihkan menjadi Gibran sebagai dokter penanggung jawab.

"Langsung Visite. Saya duluan, ya." Setelah itu Gibran menghilang dari pandangan ketiga wanita itu.

Si suster bernama Kinara, berdiri di samping Tamara menyeletuk, "Padahal dokter Tamara udah yang paling cocok, loh, sama dokter Gibran. Beh, ujung-ujungnya sama perempuan lain, kaget kali aku waktu itu!"

"Iya, Dokter, harusnya udah ada tuh, berita kalo kelen bakal nikah, eh tau-taunya sama perempuan lain, mana lebih cantik Dokter Tamara kemana-mana." Gina, suster lainnya menyahut, ia tidak kalah kesalnya dengan Kinara.

Tamara tertawa kecil mendengar kedua suster itu yang lebih heboh daripadanya. Namun senyum itu perlahan berubah menjadi kesedihan yang tercekat jelas pada wajahnya. Diam-diam Tamara juga tidak percaya kalau Gibran sudah menikah dengan perempuan lain. Harusnya ia yang berada di sana, menjadi istri Gibran.

"Udah, kelen lanjut kerja aja, sekarang." Tamara berjalan meninggalkan mereka, melanjutkan langkahnya menuju ruang UGD berada. Ia masih banyak memiliki tugas bersama Pasien daripada urusannya dengan Gibran. Iya! Tamara sedang sibuk, tekan wanita itu pada diri sendiri, karena ia pun tidak yakin sejak beberapa beberapa Minggu yang lalu ia baik-baik saja.

Dibandingkan mengatakan Tamara baik-baik saja, sebaliknya, wanita itu tidak baik-baik, ia terpuruk, sangat terpuruk. Menangis setiap malam, menahan rasa sakit dan berbohong di depan semua orang bahwa ia baik-baik saja adalah omong kosong, topeng belaka. Setiap menatap Gibran, kini bukan lagi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, melainkan setiap tembok pertahanan besar yang berusaha ia bangun.

Rasa Tamara sakit, pedih sekali, seperti ada ratusan jarum yang tertancap di setiap sudut ruang hatinya ketika melihat orang yang sudah membuatnya berharap banyak namun itu sama sekali bukanlah apa-apa saat memandangnya.

Kenapa rasanya sesakit ini? Batin Tamara. Apa yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan rasa sakit ini?

To be Continued

A.n:

Halu guys. Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Kalo ada typo atau kalimat belibet lainnya? Silakan diberitahu ya. Makasih banyak!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top