SAHABAT PUSTAKAWAN

Tumpukan buku berserakan di mana-mana dengan judul yang serupa. Wajar saja, banyak murid yang mengembalikan buku pelajaran selama satu semester belajar. Untuk kedua kalinya perpustakaan akan dipenuhi murid-murid yang mengembalikan buku tahunan, satunya lagi saat meminjam buku tahunan. Biasanya kegiatan ini menyita waktu sampai pertengahan hari, barulah para pustakawan bisa beristirahat.

Di sisi kanan lebih menarik perhatian dibanding tumpukan buku di mana-mana. Sebuah kardus berisi buku baru untuk perpustakaan, baru dikirim kemarin dari salah satu penerbit. Kayra orang pertama yang menerima kardus tersebut, tapi bukan orang pertama yang membaca buku-buku di dalamnya.

Keheningan di siang hari menemaninya, memang begitulah perpustakaan. Namun, jika melihat di balik meja panjang dekat dengan rak novel ada empat murid SMP yang menyibukkan diri dengan buku bacaan baru. Mereka sengaja memilih membaca buku di lantai dan menghilangkan jejak dari Kayra, sahabat mereka.

"Ayolah, bantu aku dulu!" Kayra tengah sibuk mengambil lima sampai sepuluh buku pelajaran dari tumpukan bacaan untuk disimpan ke tempat yang seharusnya.

"Bentar ... sebentar, satu bab lagi aja," balas anak perempuan berambut panjang yang mengenakan bando di atas kepala. Feline, si gadis penyuka fiksi remaja dan cerita roman.

Anak perempuan dengan rambut pendek lurus lainnya sibuk membaca fiksi penggemar. Kayra sangat tahu, Milly paling menyukai genre tersebut. Sambil mengintip dari balik meja gadis tersebut berkata, "Dikit lagi habis, Kay."

"Naura, Calia, bantu ...." Kayra mengembungkan pipi. Dia memutuskan membawa sepuluh buku pelajaran ke meja panjang dan meletakkannya di atas dengan hati-hati. Sekali lagi dia mengulang perkatanyaannya yang lirih agar salah satu dari sahabatnya mau membantu.

Naura menutup buku fiksi remaja yang mengangkat tema keluarga dan menyimpannya di atas meja panjang. Sayangnya Calia tidak tertarik, dirinya masih asyik membaca komik bersama dua murid lainnya.

"Yakin kalian mau baca buku terus?" tanya Naura. Dia mengangkat tiga buah ponsel, jelas itu bukan miliknya, "Feline ... Milly ... Calia."

Feline menutup buku novelnya. Bibirnya maju beberapa milimeter. Padahal dia sedang asyik membayangkan romansa kedua remaja di dalam novel. Milly lebih dulu mengambil ponsel setelah menutup buku. Segera dia memeluk ponselnya sambil bergumam ketakutan. Calia sama dengan Milly. Sempat dirinya membuka galeri, memeriksa semua file gambar-gambar miliknya masih utuh atau sebaliknya.

"Ada paket!" Kelima gadis tersebut menoleh ke arah pintu. Di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki dengan tangan yang penuh dengan plastik putih.

Milly dan Naura yang menyambut lebih dulu, sementara laki-laki tersebut menyimpan plastik di ujung meja dekat pintu. Kayra menyusul untuk menyambut. Milly melihat ke bawah, kotor, laki-laki tersebut masih mengenakan sepatu. Diambilnya sapu—barang paling dekat dengannya—lalu mendorong ujungnya ke sepatu si laki-laki.

"Dylan, dibilangin kalau mau masuk perpustakaan itu ... buka sepatunya! Kotor tau."

Kayra tertawa. Matanya melihat ke plastik putih rapi yang tergeletak di meja. Dylan sibuk membuka sepasang sepatunya dengan cemberut, bibirnya maju beberapa milimeter, imut. Di samping itu Milly tertawa bangga karena keberhasilannya menegur Dylan.

"Ini apa, Lan?" tanya Kayra sambil menunjuk ke arah plastik putih. Dylan menoleh, dia mengikuti jejak telunjuk yang ternyata mengarah ke barang bawaannya.

Tiba-tiba mukanya pucat dan berkata, "Itu bom."

"Hah?!" Kaget. Semua menjauh dari posisi. Tidak lama tawa Dylan pecah sampai membuat dirinya jongkok hanya untuk memegang perut yang geli.

"Aku bohong!" ucapnya, "itu dari Miss. Rose, makanan khusus buat kalian, pustawakan paling keren di Bayanaka!"

"Wah makanan!" seru Calia dengan wajah berseri-seri. Dengan sigap dia berlari ke depan dan meraih plastik putih. Sayangnya, Naura lebih cepat ditambah tinggi badannya yang lebih tinggi membuat keinginan anak penyuka komik tersebut ciut. 

"Beresin buku dulu, baru makan!" omel Naura dibalas tawa oleh Dylan. Matanya mencari keberadaan sang sahabat yang sudah lebih lama membereskan buku. "Kay, kamu istirahat duluan aja. Dari tadi kamu udah beres-beres."

Dylan menimpali, "Iya, Kay. Gimana kalau liat tanding futsal kelas VII-1 lawan VIII-3?"

Kayra menunduk pasrah lalu tersenyum. Dengan berat hati dia menolak ajakan sahabat laki-lakinya. Dia hanya terlalu takut, tanpa sahabat pustakawan ... di luar sana mengerikan. Oh, jangan lupakan jika Dylan jadi kerepotan juga nantinya.

"Maaf, Lan.  Kamu aja yang nonton, aku enggak begitu tertarik. Aku di sini saja membaca buku sambil menunggu yang lain," ucap Kayra.

Dylan tersenyum kecut. "Tanpa sahabat pustakawan, aku juga bisa menjaga kamu, Kay."

"Udah-udah, lagian kamu gak punya sertifikat dan izin dari yang bersangkutan untuk bawa Kayra pergi," balas Calia. 

"Oh tentu aku punya, aku hanya belum minta izin ke kalian. Kenapa sih perizinan dari sahabat pustakawan susah banget, Kay?" Orang yang ditanya malah tertawa. Hanya pada Dylan, sahabatnya yang lain bersikap begitu. Kadang sampai dibuat kesal.

Itulah sahabatnya. Sahabat pustakawan, begitulah mereka semua menyebutnya. Nama itu tercipta karena ada pemicunya, Kayra bertemu Feline, Calia, Naura dan Milly di perpustakaan. Berawal dari sana juga mereka dekat, padahal mereka semua kecuali Calia berbeda kelas dengannya. Kayra sangat ingat keadaan perpustakaan yang berantakan waktu itu, mereka lalu membereskan buku dan menatanya kembali dengan rapi. Berakhirlah dengan Miss. Rose yang menyebut mereka 'Pustakawan Bayanaka' karena seringnya membaca dan membantu membereskan perpustakaan.

"Kay, hari ini mau pulang bareng?" tanya Dylan tiba-tiba.

"Boleh, tapi aku ada seleksi lomba tulis cerpen bareng Calia. Emang kamu mau nungguin?"

"Mau dong! Nanti aku ke anak PMR dulu sambil nunggu kamu," balas Dylan. Kayra terlalu gemas! Akhirnya dia mencubit lengan sahabatnya dan kembali mengambil buku baru untuk dibaca. Sementara Dylan hanya tertawa sambil berlari di koridor. Dasar aneh ... pikir Kayra.

Selepas membereskan perpustakaan, Kayra dan pustakawan beristirahat sambil memakan nasi dengan chicken katsu pemberian dari Miss. Rose. Harusnya mereka tidak makan di perpustakaan, oleh karenanya Milly meminta mereka pindah ke kantin. Lagipula, murid lainnya sibuk mengikuti class meeting, tidak akan ada pengunjung perpustakaan lagi. Kayra meminta semuanya keluar terlebih dahulu, lalu memeriksa keadaan perpustakaan terutama listriknya. Dia menjadi orang yang terakhir keluar karena dia yang diberi amanah untuk memegang kunci cadangan.

"Kay, buruan! Perut aku terus berteriak minta makan." Kayra mengunci pintu perpustakaan dan berbalik. Dia berlari di koridor untuk mengejar ketertinggalannya, tapi malah berakhir dengan menabrak seorang gadis berambut lurus berpandangan dingin padanya.

"Maaf," ucap Kayra lalu dia mengulurkan tangannya. Gadis itu tidak menanggapi dan berlalu begitu saja. Kayra yang bingung memilih untuk pergi menyusul para pustakawan.

Jarak dari kantin ke perpustakaan cukup jauh, mereka terpaksa harus melewati koridor yang mengarah ke lapangan. Terlalu ramai. Kayra dan pustakawan mempercepat langkahnya. Suatu keajaiban apabila kantin sangat sepi, pastinya para murid sibuk menonton futsal.

Mereka memilih bangku paling ujung dekat dengan pemandangan gedung SMA Bayanaka. Feline datang sambil membawa alat makan setelah meminjamnya dari bibi kantin.

"Tadi aku enggak sengaja nabrak orang," celetuk Kayra di tengah-tengah pembagian konsumsi, "tapi aku enggak tahu siapa."

Feline menyodorkan chicken katsu milik Kayra. "Oh, itu pasti Geminar. Tadi cuma dia yang lewat sana."

"Sasaran baru Katherine kemarin?" tanya Milly sambil menyantap makanannya. Kayra terbelalak, ketika mendengar nama Katherine.

Siapa yang tidak mengenal Katherine? Sepanjang dua semester kemarin, gadis itu sudah menindas banyak orang, Kayra salah satu korban yang paling lama ditindas. Bukan Katherine saja pelakunya. Banyak! Hanya saja Kayra tidak ingin mengingatnya lagi.

"Kasihan Geminar," ucap Kayra. Calia terkejut, dia bahkan terbatuk setelah minum air putih.

Feline terkejut dan berusaha berkata, "Kay, untuk apa kamu mengasihani orang lain sementara kamu juga korban di sini? Jangan terlalu baik, Kay."

"Setidaknya aku beruntung memiliki sahabat seperti kalian, yang selalu membela dan menemaniku dalam kondisi suka maupun duka," lirih Kayra, "tapi Geminar selalu sendirian, tidak ada yang membantunya."

"Wow ... tunggu dulu, jangan bilang kamu mau membantunya?" Sela Calia dibalas anggukan dari Kayra.

"Dia gak berhak ditindas. Kita harus membantunya." Semua saling beradu pandangan hanya untuk memahami ucapan Kayra.

"Tapi Kay, kami enggak mau kamu ditindas lagi. Pikirkan dirimu terlebih dahulu sebelum memikirkan orang lain. Bagaimana jika nantinya malah kamu yang ditindas lagi," ucap Naura mewakili yang lainnya. Kayra tersenyum kecut. Dia masih ingin mempertahankan argumennya, tapi Calia mengingatkan sebentar lagi seleksi akan dimulai.

oOo

Seharusnya di hari Rabu pagi, dia tidak terjebak di ruang guru untuk berlatih sastra bersama Calia, sementara sahabat mereka yang lainnya bersenang-senang dengan novel-novel baru. Namun, mereka juga seharusnya bangga, itu artinya mereka terpilih untuk mewakili sekolah di lomba karya tulis.

"Calia, kan aku di cerpen, kamu di puisi, yang ikut lomba syair siapa ya?" tanya Kayra pada sahabatnya. Calia mengangkat bahu, tidak tahu siapa yang terpilih di syair. Dia juga tidak memikirkannya.

Seorang gadis lain masuk ke dalam ruang guru. Itu Geminar. Baik Calia maupun Kayra menahan keterkejutannya. Tidak ada yang menyangka jika gadis tersebut mengikuti seleksi syair.

"Kay!" panggil Calia. Dia menahan Kayra yang berniat menghampiri, sudah pasti mengajak berkenalan.

Kayra menoleh pada Calia. "Enggak enak kalau kita enggak saling kenal."

"Oke cuma kenalan aja." Takut terjadi apa-apa, Calia menemani sahabatnya. Bisa saja kalau Geminar malah menaruh benci karena sekarang bukan Kayra lagi yang jadi sasaran Katherine.

"Hai, aku Kayra. Kamu?" Geminar melihat sinis ke arah Calia lalu tersenyum ke Kayra. Beda jauh dari kemarin yang berpandangan dingin. Mereka berjabat tangan dan Calia sangat tidak nyaman melihatnya.

"Aku Geminar," balas gadis tersebut.

Calia langsung menarik Kayra. Tidak boleh lama-lama harus segera berlatih, alasannya. Sementara Geminar memandang tidak suka dengan cara Calia yang terang-terangan tidak menyukai dirinya.

Tinggal dua hari lagi lomba dilaksanakan, tapi Calia mendadak demam. Dirinya diminta untuk bolos saja karena tidak ada Calia. Kayra tentunya menolak, dia perlu banyak berlatih. Dengan rasa khawatir para pustakawan merelakannya dengan syarat tidak boleh terlalu dekat dengan Geminar.

Itulah yang seharusnya Kayra lakukan. Namun, Geminar terus mendekati Kayra dan mengajaknya bicara. Meminta tolong ini dan itu. Kayra tidak bisa menolak. Dia harap sahabat-sahabatnya akan memaklumi kejadian ini.

"Kay, boleh nanya enggak?" tanya Geminar disaat Kayra mulai menulis judul.

Karya tetap melanjutkan tulisannya, sambil menjawab, "Tanya apa?"

"Kamu pernah enggak sih mikir kalau sahabat-sahabat kamu itu terlalu mengekang kamu dalam berteman?" Kayra tidak paham. Selama setahun bersahabat dengan pustakawan, dia tidak pernah merasakan pengekangan seperti itu. Dia tahu betul sahabatnya seperti apa, tapi dia juga tidak menangkap maksud terselubung Geminar.

"Maaf, Gemi. Pustakawan enggak pernah mengekang aku berteman dengan siapa pun. Mereka orang yang baik dan membantu aku saat Katherine menindasku sejak tahun lalu." Penjelasan Kayra dibalas senyuman sinis Geminar.

"Beruntung banget ya, kalau aku enggak ada yang mau bela waktu Katherine menindasku!" ucap Geminar. Ada rasa frustasi yang Kayra rasakan.

Kayra tidak enak hati, lalu berkata, "Aku bakal belain kamu."

"Serius?" Kayra menutup mata, dia tidak percaya dengan tidak sengaja berucap seperti itu. "Makasih ya, Kay!"

oOo

Tidak ada yang menyangka jika sehari sebelum lomba Calia tahu tentang ucapan Kayra pada Geminar. Sungguh, dia tidak mengatakan apa pun pada sahabatnya kemarin. Tahu dari mana mereka?

"Calia, dengar dulu penjelasanku," lirih Kayra.

Perpustakaan sepi, padahal niat mereka adalah mencari referensi. Hanya ada Kayra dan pustakawan sekarang. Sahabatnya yang lain memandang tidak percaya.

"Enggak, Kay! Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu enggak mau nurut aja sih? Jauhin Geminar,  tapi kamu malah bilang mau membelanya?" Calia menangis, Naura mengelus pundaknya.

"Aku ...."

"Kamu aja enggak bisa bela diri kamu sendiri!" teriak Calia, suaranya menjadi lebih besar karena heningnya perpustakaan.

Raut Kayra sudah aneh, air mata yang ditahannya lepas begitu saja. Milly dan Feline makin bingung, mereka juga kecewa dengan sahabatnya.  Padahal mereka sudah mengingatkan kemarin. Lalu kenapa bisa hal ini terjadi?

"Sekarang terserah kamu aja. Kita udah enggak peduli. Sana!" usir Naura. Kayra masih menangis, pikirannya kacau dan segera saja dia berlari ke luar perpustakaan. Milly dan Feline memanggil, mengejarnya. Naura menahannya dan meminta untuk menenangkan Calia.

Sepanjang satu minggu sejak hari itu, Kayra lebih pemurung dan hanya senyum palsu yang diperlihatkan. Dia pergi ke ruang guru, pembimbing sastra memanggilnya. Hanya ada satu alasan kenapa dia dipanggil, hasil lomba sudah diumumkan.

Di sana sudah ada Calia yang duduk sambil menatap layar ponsel. Hatinya ngilu, ingin rasanya menangis kembali. Tiba-tiba seseorang merangkulnya. Dia mencoba melihat siapa orang tersebut. Geminar yang ternyata melakukannya.

"Kay! Enggak sabar deh dengar hasilnya. Iya gak?" teriak Geminar, entah sengaja atau tidak, otaknya tidak berfungsi dengan baik.

Calia mengintip sekilas, matanya hanya memandang sinis ketika bertemu mata Kayra. Geminar menarik Kayra dan duduk berdampingan, jauh dari Calia. Guru pembimbing mereka datang dengan membawa rekapitulasi masing-masing peserta.

"Yang lolos ke provinsi hanya Calia dan Geminar. Sebenarnya Kayra juga bisa saja jika dilihat dari penilaian. Namun, bapak tidak mengerti kenapa tiba-tiba cerita kamu berantakan, rasa di dalamnya campur aduk dan makna yang seharusnya jelas malah tidak dapat dipahami." Kaget. Ada ribuan anak panah ke hatinya. Rasa campur aduk menguasainya saat lomba, kemarahan, kecewa, kesedihan, putus asa langsung tertuangkan begitu saja tanpa logika di dalamnya. Dia tidak pantas menjadi seorang penulis jika seperti ini terus.

Calia menerima piala dari guru pembimbing, raut wajahnya sedih. Tentu dia bahagia dengan kemenangannya. Namun, Kayra ... di hari ulang tahunnya sendiri mendapat kesedihan. Calia mengembuskan napas dan berpamitan ke perpustakaan.

"Aku juga mau ke perpustakaan dulu," ucap Kayra tidak bersemangat.

Geminar buru-buru menghadang. Dia tidak setuju. "Mau apa?"

"Memberi selamat pada Calia sekaligus mengambil tas." Tentu saja dia makin tidak setuju. Geminar menahan tangan Kayra.

"Mereka udah enggak peduli kamu, Kay! Kamu berucap selamat pada Calia, tapi dia sendiri tidak ingat ulangtahun kamu. Untuk apa? Pergi ambil tas kamu kita rayakan ulangtahun kamu di kantin," titah Geminar padanya.

Kayra pusing, kepalanya berat. Hatinya sudah hancur. Dia lupa cara berekspresi. Sudahlah, dia setuju mengambil tasnya saja.

Di kantin Geminar sudah menunggunya dengan sebuah kado diikat pita merah. Kayra yang melihat tidak terkejut ataupun bahagia. Jika ada permintaan, dia hanya ingin dimaafkan oleh sahabat-sahabatnya.

"Kay, ayo buka kado dariku!" ucap Geminar.

Kayra meminta waktu sebentar. Dia harus minum dulu. Saat membuka tas, ada kado kecil berpita emas di sana. Kayra tidak ingat jika ada kado di dalam tasnya. Dia mencoba mengeluarkannya.

"Dari siapa? Orang tua kamu?" tanya Geminar, Kayra mengangkat bahu sebagai balasan. Dia menarik pitanya dan membuka perlahan. Terlihat jam cantik dengan surat kecil di sana.

' Untuk Kayra Aria Arsyliana,
Jangan lupa waktu terus, apalagi kalau baca buku. '

Air mata Kaya keluar begitu saja. Diambilnya surat kecil itu oleh Geminar. Dengan seksama dia membacanya. Raut wajah kesal tergambar, sudah pasti siapa yang memberi hadiah ini untuk Kayra. Segera dia menyobek kertas menjadi kecil sampai tidak terbaca.

"Gemi jangan!!!" Kayra menahan tangan Geminar yang mau membanting jam tangan pemberian sahabat pustakawan.

"Mereka udah buat kamu menderita, dan hadiah ini makin bikin kamu menderita! Lebih baik dihancurkan!" Kemarahan Geminar membuat keributan di kantin. Kayra menangkap sosok Katherine di ujung sana, tapi akal sehatnya terus mengalihkan dirinya ke jam tangan.

Trang!

Jam tangan itu retak, baterai jamnya lepas entah ke mana. Penggambaran sebenarnya dari persahabatan Kayra. Terhenti, retak tapi tidak pecah. Tidak tahu masih bisa berjalan atau sebaliknya.

Kekesalan Kayra timbul, tangan kanannya sudah siap untuk menampar pipi Geminar. Lagi-lagi rasa tidak enak hati mengetuk perasaannya. Dia memungut jam tangan di lantai. Suara tawa mulai menggema di kantin. Kayra tidak peduli. Dia memilih meninggalkan kantin.

Seperti biasa pulang sekolah Dylan menghampirinya dan pulang bersama. Hanya kali ini dia minta pergi ke taman terlebih dahulu. Hatinya masih sakit.

"Kenapa lagi, Kay? Ini hari ulangtahun kamu, senyum dong."

Kayra mengeluarkan jam tangan dari tasnya. Mesin tanpa baterai pun terlihat oleh Dylan. "Geminar merusaknya."

"Sini." Kayra menyerahkannya pada Dylan.

"Aku rindu mereka, Lan," lirih Kayra.

Dylan sibuk memperbaiki jam tangan milik Kayra. "Kay, tahu enggak?"

"Apa?" Dylan memperlihatkan jam tangan Kayra. Masih sama hanya saja mesin jamnya tidak lagi terpisah.

"Persahabatan kamu itu sama seperti jam ini, terhenti karena tidak ada energi. Seperti sekarang kalian terhenti tidak tahu bagaimana harus melanjutkannya. Padahal kamu tinggal minta maaf, mengganti baterai agar jamnya berjalan normal."

Kayra menggeleng, dia berkata, "Aku takut mereka tidak akan menerimaku lagi."

"Hoax itu," seru seseorang di belakang mereka. Dylan tidak terkejut, memang itu rencananya. Milly berjalan mendekati Kayra dan memeluknya. "Sahabat pustakawan gak lengkap tanpa kamu, Kay. Besok hari terakhir sebelum libur panjang. Pustawakan bakal tunggu kamu di perpustakaan, seperti biasa."

"Milly," lirih Kayra. Dia membiarkan sahabatnya menangis di pelukannya. "Terima kasih, terima kasih."

oOo

Kayra membulatkan tekad. Dia bersyukur karena sepanjang hari belum melihat Geminar. Sebaliknya dia berhadapan dengan Katherine dan kawan-kawannya. Aneh sekali, setelah kejadian kemarin tidak ada pergerakan kecuali ditertawakan. Rasa penasaran yang tinggi membuat Kayra menunda ke perpustakaan dan mengikuti ke mana mereka pergi. Tanpa sadar ada yang mengikutinya.

Katherine bertemu dengan Geminar. Seolah-olah bukan menindas, karena gadis itu tersenyum sambil menunduk. Kayra semakin mendekat, mencari tahu apa yang dikatakan oleh para penindas dan Geminar.

"Kamu berhasil, Gemi. Aku salut," sahut Katherine.

Berhasil soal apa?

"Tentu saja aku berhasil. Kayra harus mendapatkan ganjaran karena merebut posisi aku di seleksi cerpen."  Kayra menutup mulut. Sakit hatinya.

Katherine melanjutkan ucapannya, "Kamu tahu? Pertunjukan tambahan kamu kemarin sangat menghibur. Itu bahkan lebih membuat aku senang dibandingkan menindas dia secara terang-terangan. Tanpa sahabatnya, Kayra bukan apa-apa."

Kayra geram, matanya merah. Dia menghampiri Katherine dan Geminar. Tidak peduli jika harus ditindas secara fisik.

"Kamu tega, Gemi!" Kayra meneriakkan dengan lantang, semua kemarahannya keluar begitu saja. Tidak ada rasa sabar lagi untuk kelakuan Geminar dan Katherine.

"Wah, Kayra berteriak? Kamu tidak sadar dengan siapa kamu berhadapan?" ancam Katherine.

"Tega? Kamu merebut apa yang harusnya aku tempati!" balas Geminar tidak mau kalah.

Kayra menggeleng. "Aku enggak habis pikir lagi. Aku berhenti menulis karena masalah yang kamu ciptakan. Merusak persahabatanku dengan mudahnya. Lalu, kemarin ... tanpa perasaan kamu menghancurkan hadiah berharga bagiku."

Tidak perlu menunggu kelanjutan Katherine ataupun Geminar. Kayra lebih dulu berlari ke tempat tujuan hatinya. Perpustakaan. Dia harus segera menemui sahabatnya.

Feline, Naura dan Milly menunggu Kayra. Apakah memang Kayra tidak memiliki harapan untuk kembali? Milly masih berusaha meyakinkan kedua sahabatnya.

"Kayra pasti datang." Feline mengangguk, mencoba meyakini apa yang Naura bilang.

Kayra datang dengan berlari. Naura melihat sahabatnya kelelahan, tapi sambil menangis. Dengan sigap sebelum Kayra terjatuh, Feline memeluknya.

"Kay, kamu kenapa?" tanya Naura panik. Sambil memeluk, Feline membawa Kayra duduk di salah satu kursi terdekat.

"Aku minta maaf ... maaf karena aku enggak mendengar apa yang kalian bilang," ucap Kayra di pelukan Feline. "Aku menyesal."

"Kami memaafkanmu, Kay. Kamu tetap sahabat kita!" ucap Naura yang lalu memeluk Kayra juga.

"Sahabat Kayra cuma aku." Teriakan menggema dari koridor. Feline, Kayra dan Naura melepas pelukan. Milly segera melihat ke depan perpustakaan. Ada Geminar dengan wajah marahnya. Tidak mau kalah, Milly menatap sinis padanya.

"Mau apa kamu? Pergi!" usir Milly. Kayra berlari ke arah keributan. Melihat adanya Geminar, darahnya seakan mendidih.

"Sejak kapan aku mengatakan kalau kamu sahabatku?! Kamu hanya ingin menghancurkan aku dan persahabatanku, Gemi!" bentak Kayra. Semua terkejut kecuali Geminar. Ini pertama kali bagi mereka melihat Kayra marah sampai berani membentak.

"Kamu yang bilang, aku sahabat sejati kamu—"

"Bohong banget ya," potong Calia di belakang Geminar. "Memangnya aku enggak tahu apa yang kamu sama Katherine lakukan? Perasaanku sudah buruk sejak awal kamu memperkenalkan diri."

"Kamu!" Geminar tidak mau kalah. Dia nyaris menjambak rambut Calia, tapi Milly lebih dulu menahannya.

Calia memeluk Kayra, dia meminta maaf, begitupun sebaliknya. Gadis itu kembali menang yang Geminar. "Perlu bukti? Kamu hanya iri lalu menghancurkan ikatan dan asa seseorang. Kamu beruntung Kayra tidak menampar kamu di kantin.  Dia lebih memilih mempermalukan dirinya sendiri."

Geminar kaget, ketika Calia mengeluarkan ponsel dan memutar sebuah rekaman suara. Ada suara Katherine dan dirinya serta Kayra yang berteriak marah. Kayra tidak percaya jika sahabatnya ada di sekitar dirinya dan merekam semua itu.

"Kalau rekaman ini jatuh ke telinga dewan sama BK kamu enggak akan naik kelas lho," ucap Feline. "Lebih baik kamu minta maaf."

Geminar memutar mata bosan, dia langsung berlalu tanpa mengucap apapun. Kayra dan yang lainnya hanya tertawa ringan lalu masuk ke perpustakaan lagi.

"Maafkan aku," ucap Kayra. "Harusnya aku percaya sama kalian."

"Kayra, kita bersahabat bukan sehari atau dua hari aja. Walaupun sebenarnya memang benar kita harus membantu Geminar. Namun, Calia menyadari tatapan sinis orang itu benar-benar menyebalkan. Apalagi sifatnya jungkir balik waktu ngobrol bareng kamu," jelas Feline.

"Oke, cukup. Ayo kita bereskan perpustakaan. Besok kita udah libur, 'kan? Hari ini aku traktir makan deh!" ucap Naura senang disambut kebahagiaan yang lainnya ketika 'makanan' disebut.

Calia menoleh ke arah Kayra, dia mengeluarkan sebuah buku diari. "Kay, jangan berhenti menulis. Lupakan soal lomba kemarin, masih ada lomba lainnya! Aku yakin kamu bisa jadi penulis terkenal!"

Kayra mengangguk lalu memeluk semua sahabatnya lagi. Dia tidak akan mau melupakan kejadian ini. Mungkin ikatan mereka sempat rusak. Namun, mereka masih bisa memperbaikinya dengan ikatan yang lebih kuat.

"Karena persahabatan, bukan hanya tentang keegoisan, dibutuhkan saling mengerti dan melengkapi. Membutuhkan perbedaan untuk saling menguatkan. Dibutuhkan rasa percaya agar kokoh — NH"

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top