43 // Sebelum Hilang
Dalam sebuah ruangan 3x4 meter, Chandra terduduk di dinginnya lantai kamar Jaffran, karpet berbulu tebal yang sedang dia duduki, tidak mempan mengusir hawa dingin sekujur tubuhnya. Wajahnya ditundukkan sedalam mungkin. Sementara di hadapannya, Jaffran berdiri menjulang dengan tatapan menghakimi.
Jaffran tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga Chandra, hanya saja ... tidak terpuji rasanya jika tidak menasehati teman yang hampir, bahkan sudah berjalan di jalur yang salah dari aturan.
"Chan, sekali lagi gue bilang, gue bukan mau ikut campur dalam rumah tangga lo dan Wenda, tapi menurut gue kali ini lo harus diperbaiki."
Masih dengan tangan dilipat di dada, Jaffran menarik napas dalam kemudian mengembuskan perlahan.
"Sekarang gue tanya, apa tujuan lo nikahin Wenda?"
Chandra mendongak menatap lurus Jaffran. "Gue nggak mau keluarga gue malu gara-gara pernikahan gue batal," lirih Chandra hampir tak terdengar.
"Dengan ngorbanin Wenda?"
"Gue nggak pernah ada maksud buat ngorbanin Wenda di sini, kepikiran pun nggak," sanggah Chandra mendelik tajam saat nama Wenda disebut sebagai korban.
Chandra melanjutkan ucapannya. "Awalnya gue pikir dengan nikahin Wenda, orang yang udah gue kenal lama. Gue akan lebih gampang moveon dari Sonya, ketimbang dengan orang baru yang harus beradaptasi dari awal lagi."
"Tapi nyatanya? Lo belum bisa moveon, 'kan dari Sonya. Lo bahagia saat Sonya menghubungi lo lagi. Lo kira Wenda nggak tahu kelakuan lo di belakang dia." Suara Jaffran sudah terdengar geram. Tangannya menunjuk Chandra. "Lo cowok bajingan yang pernah gue kenal tahu nggak!"
"Jaf, Wenda tahu dari mana?" Chandra diserang panik seketika.
"Kenapa lo panik? Kemarin ketemu Sonya, lo nggak ada panik-paniknya sama sekali. Seneng, 'kan lo bisa berhubungan lagi dengan Sonya." Jaffran menarik kerah baju Chandra.
"Jaf, tolong kasih tahu gue. Gimana Wenda bisa tahu."
"Sumpah, ya. Kalo di bawah sana keluarga gue lagi nggak ada. Udah gue hajar habis-habisan lo. Bangsat lo, Chan!" ucap Jaffran melepaskan cengkeramannya. Tubuh Chandra terhenyak kembali di lantai.
Jaffran menarik kursi di depan meja belajarnya. "Wenda dapat kiriman foto dari nomor nggak dikenal."
"Foto?" tanya Chandra.
"Iya, semua foto keberengsekan lo sama Sonya. Termasuk ... lo datang ke kamar hotel Sonya. Wenda tahu, dia ngikutin lo."
"Jaf ... Jaf, demi Allah gue berani bersumpah. Kejadian di hotel nggak seperti yang lo bayangi. Gue nggak ngapa-ngapain."
"Kalo lo nggak ngapa-ngapain, kenapa harus di hotel, setan! Emang nggak ada tempat yang lain?"
"Gue sadar, gue salah nggak jujur soal gue ketemu Sonya, tapi gue sama Sonya nggak ngapa-ngapain, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi, Jaf. Kita cuma sebatas teman."
Jaffran berdecih kemudian. "Cuma temen lo bilang? Lo pikir, lo sama Wenda dulunya apa? Kakek sama cucu? Lo juga berasal dari kata teman, Chan."
Dengan geram Jaffran kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi sayangnya, Wenda lebih percaya kalo lo ngapa-ngapain."
Chandra mengusap wajahnya kasar, "Lo tahu siapa yang ngirimin Wenda foto itu?"
"Gue udah nyoba nyari tahu, tapi nihil. Gue nggak bisa nemuin orangnya."
Chandra menarik rambutnya, rasa frustrasinya membumbung tinggi. Wajahnya dia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Suara napasnya jelas terdengar tidak teratur.
"Selama ini, lo anggap apa pernikahan lo dengan Wenda? Gue nggak ngerti lagi, sebenarnya apa di dalam otak lo."
Chandra bergeming, pikirannya kalut, bayangan tentang semua kelakuannya di belakang Wenda berputar-putar. Hatinya terus melontarkan kalimat menghakimi.
"Semua perhatian yang lo beri untuk Wenda, skinship yang kalian lakukan. Semua itu apa artinya, Chan?"
"Gue cuma mau berusaha jadi suami yang baik untuk Wenda," ucap Chandra dengan nada bergetar.
"Suami yang baik, ya. Kenapa nggak totalitas? Kenapa nggak sekalian nafkah batin Wenda lo penuhi, bukan cuma nafkah lahir aja."
Chandra berdeham, sesuatu mengganjal tenggorokan hingga membuatnya sulit membuka suara. "I-itu, soal yang itu. Gue nggak bisa!"
"Kenapa nggak bisa? Syahwat lo lemah? Atau nggak ngerti caranya? Keperjakaan lo cuma mau lo siapin buat Sonya? Atau udah lo kasih di hotel itu," sindir Jaffran.
"JAF!" Chandra menghela napas berat. "Tolong! udah gue bilang, gue sama Sonya nggak ngapa-ngapain di hotel itu. Ini bukan perkara simpel yang ada di pikiran lo. Gue beneran nggak bisa ngelakuin itu ke Wenda."
"Ya, kenapa nggak bisa, anjing! Lo bisa nyium, peluk wenda, kenapa ke sana nggak bisa. Gue tanya waktu lo meluk Wenda, nyium Wenda, bahkan tidur di samping Wenda. Apa yang ada di pikiran lo, sih?" geram Jaffran yang tidak bisa paham pemikiran Chandra.
"Itu karena ... bukan Wenda yang gue banyangi. Gue ngebayangi ... Sonya. Awalnya begitu, tapi semakin ke sini gue sadar, gue sayang Wenda, gue cinta Wenda. Gue penuh kesadaran gue ngelakuin itu dengan Wenda bukan Sonya."
Jaffran kehilangan akal, dia menarik kerah baju Chandra, melayangkan satu pukulan telak rasanya halal untuk manusia berengsek seperti Chandra. Jaffran menatap jijik manusia di depannya. Chandra mengusap sudut bibirnya yang terasa asin karena pukulan Jaffran menghasilkan cairan merah di sana.
"Fuck! Bangsat lo! Bajingan kayak lo nggak pantes dapetin cewek baik kayak Wenda," ucap Jaffran dengan emosi yang masih mendidih.
Jaffran kembali duduk, menumpukan sikunya pada paha, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mencoba menetralkan gemuruh gejolak ingin menghabisi Chandra.
"Masih ingat tiga hari lalu, gue sengaja nanya apa yang lo suka dari Sonya yang nggak ada di Wenda. Asal lo tahu, saat itu gue tahu Wenda ada di balik gorden nguping kita ngomong."
Tatapan Jaffran dan Chandra bertemu sesaat. "Gue sengaja, agar Wenda nyerah detik itu juga, tapi emang dasarnya Wenda keras kepala. Dia milih bertahan dengan lo. Lo pasti nggak tahu, 'kan? Wenda ketemu Sonya."
Pikiran Chandra kembali pada kejadian itu. Chandra jadi mengerti perubahan Wenda setelahnya, bungkamnya Wenda, wajahnya yang sering sendu dan murung. Karena Wenda sudah bertemu Sonya.
Jaffran menyandarkan bahunya pada kursi yang dia duduki. Sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.
"Gue emang kenal Wenda cuma dari SMA, beda kayak lo dari SD, tapi gue merasa iba dengan Wenda. Dia dibesarkan di keluarga yang sayang dan sangat manjain dia, gimana kecewanya orang tuanya, abang-abangnya yang udah percaya anak dan adik kesayangannya di ambil lo, tapi malah lo sia-siakan."
Jaffran lagi-lagi menarik napas panjang. "Gue emang bukan abang gue yang lulusan terbaik dari pesantren, paham ilmu agama, tapi dengan lo kayak gini ke Wenda, gue yakin lo udah dosa, Chan. Lo mengkhianati ijab kabul kalian karena tidak menggauli istri dengan baik."
"Jaf, lo nggak tahu permasalahannya," ucap Chandra dengan suara bergetar.
"Iya, Chan! Gue nggak tahu apa-apa emang tentang bini lo, yang gue tahu cuma Wenda yang menangis di pelukan Joy karena dikhianati suaminya. Wenda yang dengan tatapan iba tanya ke gue, merasa ketakutan kalo nanti lo balik lagi ke Sonya dan ninggalin dia. Cuma itu yang gue tahu tentang Wenda belakangan."
Jaffran sudah menumpahkan kembali emosinya, meski belum seluruhnya. "Gue paham, Chan. Kita masih terlalu muda. Kita belum genap dua puluh tahun, tapi setidaknya, tolong bersikap dewasa. Lo bukan pacaran dengan Wenda. Lo itu imam keluarga."
Jaffran sudah kehabisan kata-kata, dia melepaskan kepalan tangannya, takut kembali emosi dan melayangkannya lagi ke wajah Chandra. "Mending lo balik gih, dari pada gue khilaf lagi!"
Chandra semakin frustrasi mendengar penuturan Jaffran. Dia bangkit dari posisinya, berjalan mondar mandir di balkon kamar Jaffran. Kemudian kembali masuk berdiri di depan Jaffran yang masih duduk di tempat yang sama.
"Jaf, kira-kira Wenda mau nggak maafin gue." Tangan Chandra terkepal, telapak tangannya sudah berkeringat dingin.
"Lebih baik lo pulang. Lama-lama lo di sini juga nggak ada guna. Minta maaf sana ke Wenda. Kalo lo nggak nyoba siapa yang tahu hasilnya."
Chandra meraih tas ransel hitamnya yang tergeletak di atas tempat tidur Jaffran, bergegas ke pintu. Belum terlaksana Chandra meraih handel pintu, suara Jaffran memanggilnya.
"Chan, kalo hubungan kalian yang sakit. Obati dulu hubungan itu. Sebelum ... hilang. Good luck!"
Chandra mengangguk. Dia masih berdiri di ambang pintu mendengar dengan seksama nasehat temannya.
"Kalo Wenda udah nyerah. Gue harap lo lepasin dia, Wenda berhak bahagia dengan orang yang menginginkan dia."
Chandra tersenyum getir mengingat ucapan terakhir Jaffran tadi. Chandra sudah berada di dalam mobilnya, mencengkeram stir dengan kuat. Mobil yang dia kendarai melaju dengan kecepatan tinggi, rasanya ingin cepat sampai rumah.
Tanjung Enim, 25 NOV 2020
Silahkan author kasih kolom buat menyampaikan.
hujatan untuk Chandra :
Dukungan yang sayang Wenda :
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Btw, novel Sahabat ... Nikah, yuk! cetakan ke 2 (2023) masih bisa diorder loh di shopee Grassmediaofficial atau TBO lainnya di shopee.
Yang mau baca versi ebook juga ada. Lihat postingan yang aku sematkan di Ig: Literasi.zero4bee_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top