42 // Yang tidak dimilikinya.

Suara detik dari jam dinding berbunyi teratur di kamar Wenda dan Chandra. Hari Minggu adalah hari paling menyenangkan untuk dihabiskan bersama orang-orang terkasih. Pergi menonton, berkumpul bersama keluarga atau sekadar bangun siang bergelung di dalam selimut yang nyaman, seperti Chandra dan Wenda saat ini.

Namun, kenyamanan itu tidak bertahan sampai matahari mulai muncul, suara teriakan dan gaduh dari luar kamar mereka terdengar memekakkan telinga, bahkan bisa mendatangkan warga berkumpul.

"Chandra! Wenda! Bangun ... kebakaran, ya ampun. Apinya udah gede banget."

Suara seruan nama Chandra dan Wenda disebut secara bergantian, belum lagi suara gedoran itu seperti akan memisahkan daun pintu dari engselnya.

Chandra dan Wenda sontak bangun langsung terduduk. Wajah bantal, rambut acak-acakan, rasa terkejut luar biasa akibat suara ricuh di luar sana membuat mereka berdua saling tatap sejenak. Mencerna apa yang terjadi. Suara yang jelas mereka kenali.

"Wen, kamu ngundang Joy sama jaffran?" Chandra bertanya, mengusap matanya yang sesekali masih terpejam.

Wenda hanya menggelengkan kepalanya, tidak merasa mengadakan pesta. Jadi, untuk apa mengundang mereka. Wenda meraih ponselnya di atas nakas, melirik jam pada ponsel.

"Sekarang jam berapa, Sayang?

"Masih jam tujuh," balas Wenda.

"Ngapain sih itu pasangan kurang asupan makanan bergizi, ngerusuh di rumah orang. Astaga!"

"Chandra! Wenda, buruan. Kebakaran ... tolong!" Suara teriakan kali ini terdengar dari Joy.

Pasangan kurang asupan makanan empat sehat lima sempurna itu memang sangat kompak, ya. Joy yang berteriak, Jaffran yang menggedor pintu.

Wenda sudah menurunkan kakinya hendak membuka pintu agar suara bising mengganggu itu berhenti. Tangan Chandra sudah meraih pinggang Wenda hingga jatuh ke dada Chandra. Chandra melingkarkan tangannya di bahu Wenda, kaki panjangnya membelit kaki Wenda agar tidak bisa bergerak.

"Chan, aku mau nemuin mereka," lirih Wenda yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan Chandra.

"Udah biarin aja mereka, siapa suruh pagi-pagi bertamu."

"Chandra! Woi, kampret bangun!" teriak Jaffran tidak lagi menggunakan nada bariton melainkan sudah dengan nada tenor, terdengar jelas di telinga mereka.

"Ngapain sih, Jaf. Pagi-pagi udah ganggu orang aja. Sana pulang! Gue masih mau ngeloni bini," teriak Chandra membalas ucapan Jaffran.

"Sialan! Dasar bangke nggak bernyawa. Keluar lo."

"Bangke emang nggak bernyawa, goblok!" balas sarkastik Chandra.

Setelahnya, Chandra tidak mempedulikan teriakan dan erangan Jaffran di luar kamar mereka, dia masih sibuk mengeratkan pelukannya pada Wenda.

"Chandra," cicit Wenda terdengar lirih.

Chandra menunduk, menatap lamat wajah Wenda. Chandra bukan tidak menyadari perubahan pada Wenda,
pada wajah yang belakangan ini hanya terlihat sendu dan murung. Tidak ada tatapan berbinar atau garis mata melengkung karena senyum tawa.

Bibir yang sudah sangat jarang sekali bercerita tentang apa yang dia lakukan setiap hari, tentang apa yang dia temui, atau sekadar mengomeli Chandra karena tidak menutup laci usai mengambil sesuatu dari dalamnya, mengomeli Chandra karena tidak menempatkan handuk basah pada tempatnya, merengek manja minta sesuatu pada Chandra.

Jelas dia menyadarinya, hanya saja Chandra tidak tahu sesuatu yang telah membuat perubahan itu semua. Sesuatu yang merenggut keceriaan dari seorang Wenda. Chandra tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

Chandra menguraikan pelukannya, menancapkan lama bibirnya pada dahi Wenda. "Aku sayang kamu."

Kalimat itu lagi.

Wenda bergerak turun dari tempat tidur, menjejakkan kakinya di lantai  dingin yang tidak hanya membuat dingin telapak kakinya, tetapi sampai ke ulu hatinya. Tangannya gemetar meraih handel pintu kamar mandi, sedikit membasuh mukanya yang mungkin sekaligus mengenyahkan jejak air mata yang lancang turun.

Wenda ke luar kamar, sementara Chandra masih malas beranjak dari tempat tidur. Sayup suara percakapan terdengar dari dapur. Wenda melangkah ke arah sumber gaduh itu. Senyumnya merekah saat menangkap Jaffran dan Joy sedang asiknya—menghancurkan—menggunakan dapur, tidak lupa Bi Yati turut membantu.

"Hai, Wenda. Sini gabung, jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri," sapa Joy yang pertama kali melihat Wenda.

"Dasar bubuk kunyit instan! Ini manusia pas pembagian urat malu, nggak antri yang bener," cibir Wenda.

Wenda mendekati Joy di depan kompor dengan spatula di tangannya. Jaffran membantu memotong sosis, daun bawang, dan apa saja yang diperintahkan Joy.

"Lo mau masak apa? Ini kalian semua yang bawa?" tanya Wenda saat matanya memperhatikan meja pantry dipenuhi berbagai macam sosis, camilan, dan bahan makanan lainnya.

"Gue mau masak tteokbokki, lo suka, 'kan makanan ala-ala Korea?"

Wenda mengangguk antusias. "Iya, gue suka, Joy. Lo bisa masak tteokbokki?"

"Ya elah, Wen. Di supermarket banyak yang instan, tinggal masak air terus cemplung-cemplungin semua bahan. Masak begini doang mah, gue sambil merem aja."

"Jangan sombong! Masak sambil merem nggak takut salah pegang? Pegang panci panas baru tahu rasa," cibir Wenda.

Wenda melirik apa yang dikerjakan Jaffran, dengan sangat kaku Jaffran memegang pisau. Memotong makanan yang terbuat dari tepung beras itu agar menjadi pendek-pendek.

"Wen, mandi sana," perintah Joy sembari seperti mengendus-endus ke arah Wenda.

"Apaan, sih, Joy. Gue nggak bau badan, ya!"

Joy terkekeh melihat Wenda yang sudah merengut. "Ya makanya mandi. Tadi habis kelonan, 'kan? Jangan lupa mandi besar," celetuk Joy yang membuat Jaffran dan Bi Yati menahan tawa.

"Emang mandi ada yang kecil? Besar semua lah, namanya juga mandi. Pasti banyak ngabisin air."

"Astaga! Sepolos itu bini Chandra," ledek Jaffran.

-o0o-

Wenda kembali masuk ke kamar mereka, langkahnya bergerak ke tempat tidur. Tangannya menggoyangkan tubuh Chandra yang masih berbaring.

"Chan, bangun. Temenin dulu mereka, aku mau mandi. Chan ...."

"Biarin aja mereka, Sayang. Repot-repot banget mau nemenin—" Chandra tidak melanjutkan ucapannya saat ditatapnya Wenda sudah menampilkan ekspresi datar.

"Iya, iya. Aku temenin mereka, tapi morning kiss aku dulu dong." Chandra sudah memajukan bibirnya.

Wenda masih bergeming, tidak beranjak memenuhi permintaan Chandra. Dia berdiri menatap Chandra tanpa ekspresi.

Chandra bangkit dari posisi berbaringnya, berdiri di depan Wenda. "Aku aja yang kasih kamu morning kiss," ucap Chandra mengecup bibir Wenda singkat, meraih hoodie abu untuk dikenakan berlalum ke luar kamar.

"Kurang kerjaan kalian berdua. Ngerusuh di rumah orang," gerutu Chandra, menarik satu kursi di meja pantry, menjatuhkan bokongnya di sana.

"Asik Bos ngeloni bini? Sampe tamu nggak dianggap," sindir Jaffran.

Chandra tidak menghiraukan pertanyaan Jaffran, justru sibuk meraih gelas di atas meja menuangnya dengan susu. Chandra melemparkan pandangan ke kotak yang ada di kantung plastik merek toko roti terkenal.

"Itu apa Joy," tunjuk Chandra.

Joy menoleh ke arah yang Chandra tunjuk. "Oh, itu kue ultah buat Wenda."

Chandra mengernyitkan dahinya. "Emang tanggal berapa sekarang?"

"Jangan bilang lo lupa, kalo kemarin bini lo ultah. Wah, beneran ini kampret!" seru Jaffran.

Chandra menggaruk tengkuknya. "Gue belakangan sibuk banget. Nanti deh gue kasih hadiah spesial buat Wenda." Chandra tersenyum menaik-turunkan alisnya.

"Sialan! Dia nggak ngerasa bersalah sama sekali. Kasihan Wenda, di hari ultahnya mergoki lakinya selingkuh," gumam Joy yang tidak didengar oleh mereka karena posisinya jauh dari meja pantry. Joy melanjutkan kesibukannya di depan kompor

"Masak apa lo, Joy. Merah banget gitu, pasti makanan pedas. Jangan ngerusak bini gue lah, Joy."

Joy mendelik, tidak terima dengan ucapan Chandra. "Heh! Sembarangan aja. Lo kata gue apaan ngerusak bini lo."

"Kemarin lo ajak Wenda makan seblak, sekarang lo datang masak begituan. Perut Wenda lagi sensitif belakangan ini. Asam lambungnya naik," jelas Chandra.

Joy bungkam tidak menyanggah, jelas dia mengingat, kejadian di mana Wenda beralasan makan seblak dengannya, sewaktu mereka sedang mengikuti Chandra ke kamar hotel Sonya.

"Wenda punya penyakit maag, Chan? Jangan telat makan tuh, bisa bahaya." Jaffran menimpali.

"Kurang tahu gue. Padahal makan selalu gue pantau, nggak pernah telat. Malahan gue suapin kalo dia lagi nggak mau makan," ucap Chandra sembari memasukkan roti yang sudah dia olesi selai.

"Asam lambung naik bukan cuma karena telat makan doang, ya. Bisa jadi karena stres. Lo kali yang bikin Wenda stres," sindir Joy tidak kalah pedas dengan apa yang sedang dia masak.

"Ciye, suapin bini," goda Jaffran, "Chan, di antara Wenda sama Sonya pasti beda banget, 'kan? Gue bisa lihat itu dari kita SMA, tapi ada nggak sifat yang lo sukai dari Sonya nggak dimiliki Wenda?"

Chandra sudah melemparkan tatapan ingin menyumpal mulut Jaffran dengan botol selai di hadapannya. "Lo ngapain bahas Sonya, sih. Mau mati lo?"

"Udah jawab aja, mumpung nggak ada orangnya," bisik Jaffran.

Chandra berdeham singkat. "Mandirinya Sonya," ucap Chandra mantap, "lo pasti tahu sejak SMA dia anak rantauan di Jakarta. Dia cewek mandiri banget, kebalik dengan Wenda yang manja banget."

Ucapan Chandra mulus meluncur memuji mantan kekasihnya, tanpa dia sadari Wenda yang berada di pintu penghubung mendengar ucapannya. Wenda berbalik, kembali menuju kamarnya.


Tanjung Enim, 24 NOV 2020
Republish, 14  Maret 2021

Salam sayang ♥️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top