40 // Related
Wenda duduk bersandar di tempat tidur, ponsel Chandra sudah dia simpan ke tempat semula. Kepalanya dijejali berbagai pikiran.
Dia di sini? Setelah ninggalin Chandra, tujuan dia balik lagi apa? Gimana perasaan Chandra ketemu dia lagi?
Ponsel Wenda yang sejak tadi berada di pangkuannya berdering singkat, Wenda sedikit menunduk melihat apa yang terjadi pada benda canggihnya. Bola matanya membesar, diraihnya cepat untuk membuka pesan. Wenda langsung menekan ikon hijau.
Sialan! Gesit banget, langsung nggak aktif.
"Siapa sih, lo? Gue penasaran maksud lo kirim beginian. Tunjukin siapa lo, gue traktir seblak, deh," gumam Wenda pada nomor yang masih belum dia simpan namanya.
Wenda meremas ponselnya, dadanya berdegup dua kali lebih cepat saat melihat pesan itu lagi-lagi foto Chandra. Kali ini bukan cuma satu, ada tiga foto. Chandra yang berdiri di samping seorang wanita, Wenda jelas mengenal siapa wanita itu.
Jadi, bener dia waktu itu jemput Sonya di Bandara. Kok, aku bego banget sih. Sampai nggak kepikiran, Soni itu Sonya. Study di Inggris, orang Bandung. Astagfirullah, bego banget sih, Wen. Jelas-jelas itu ngarah ke Sonya semua.
Wenda memperhatikan foto ke dua, foto yang sama seperti tadi siang yang dia terima, Chandra di sebuah kafe sedang menunggu seseorang. Kali ini membuat Wenda menahan gemertak gigi geraham.
Oh, ternyata tadi siang makan sama mantan.
Pintu kamar mandi terbuka, Chandra sudah menyelesaikan kegiatannya. Wenda menatap datar Chandra, tangannya meremas ujung piamanya. Rasanya ingin sekali memukul bantal itu ke wajah Chandra.
Chandra merangkak naik ke tempat tidur. "Mau langsung bobok atau mau cerita dulu?" tanya Chandra sembari merebahkan kepalanya di paha Wenda.
"Nggak ada yang mau aku ceritain," ketus Wenda, "kamu mungkin, ada yang mau diceritakan. Hari ini ngapain aja, makan siang tadi di mana, sama siapa."
Chandra mendongak menatap Wenda, yang dia dapati hanya dagu Wenda. "Aku? Tadi langsung kerja, makan di tempat kerja, sama karyawan lainnya."
Wenda berdecih mendengarnya, ingin rasanya dia membuka foto-foto yang ada di ponselnya, menunjukkan pada Chandra dan berteriak di depan wajah Chandra 'ini apa, Chandra? Ini apa?'. Menirukan adegan pada sinetron di televisi agar lebih dramatis.
Wenda menarik diri, dengan sekali hentakan kepala Chandra yang semula di pahanya jatuh ke kasur. Wenda berpindah ke kasur sebelahnya.
"Aduh, Sayang. Sakit, kepala aku kebentur kasur. Sakit! Ini otak kecil aku kegeser kayaknya."
"Bodo amat! Mau otak kecil kegeser. Mau otak besar sekalian kamu donasikan juga nggak peduli," ketus Wenda seraya menutup tubuhnya dengan selimut hingga wajah.
-o0o-
"Wah, sialan si kampret. Jadi, dia selingkuh sama mantannya, Wen?" tanya Jaffran dengan emosi meledak.
Wenda berniat membagi dengan Joy seputar fakta yang dia temukan semalam, tapi tanpa diduga sebelum Wenda sampai ke rumah Joy, Jaffran sudah lima menit lebih dulu datang sebelum Wenda. Joy pun bingung harus bagaimana, karena Jaffran tidak ada dalam rencana mereka. Mau tidak mau akhirnya Wenda membukanya di depan Jaffran.
"Gue bego banget, ya? Masa suami ada main di belakang nggak nyadar. Mungkin selama ini Chandra sudah muak kali ya sama gue."
"Nggak! Lo nggak bego, Wen. Si kampret itu aja yang kurang ajar. Dalam hubungan yang namanya perselingkuhan nggak akan pernah bisa dimaklumi begitu aja!" tegas Jaffran.
Suara tepuk tangan dari Joy terdengar gaduh. "Luar biasa kamu, Beib. Awas aja nggak sesuai ucapan kamu. Aku celupin kamu di laut mati dua tahun."
Jaffran meringis mendengarnya, membayangkan tubuhnya direndam selama dua tahun di laut yang terkenal dengan kadar garam yang sangat tinggi.
"Oh, iya. Gaun marun yang gue kasih gimana, berhasil?"
Wenda melirik Joy, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya terlihat bingung memecahkan arti ucapan Joy.
"Nggak sampe ya, Wen? Itu ...." Joy menjeda ucapannya.
"Apaan, Joy? Yang jelas kalo ngomong. Gue nggak ngerti kode lo. Mumet otak gue!"
Joy mencondongkan wajahnya ke arah Wenda, berbisik ke Wenda. "Ini nggak apa-apa gue sebut? Ada Jaffran lho?"
"Sebut aja, Joy. Daripada gue bingung, nggak apa-apa, kok."
"Apaan, Sayang? Kok, aku nggak boleh tau," tanya Jaffran.
Joy kembali menatap Wenda, masih ragu mengutarakan ucapannya. "Wen, gaun, Wen. Warna merah marun, bahan satin, yang gue kasih pas kita ngerjain tugas." Joy masih berusaha mengingatkan gaun yang dia maksud, atau lebih tepatnya tujuan gaun itu diberikan pada Wenda.
Wenda menggerakkan bibirnya membentuk huruf O. "Oh, gaun tidur yang buat godain Chandra? Nggak Joy. Gagal!"
"Bentar ... bentar. Godain gimana, sih? Gue baru keluar dari goa, jelasin tolong."
"Ekhem, it-itu ... Chandra dan Wenda, maksudnya Chandra nggak pernah nyentuh Wenda."
Jaffran tergelak, terpingkal-pingkal. Mustahil sekali yang dia dengar. Chandra tidak pernah menyentuh Wenda? Lantas selama ini yang suka nyosor tidak tahu malu, tidak peduli tempat dan kondisi disebut apa?
Tangan Wenda memukul kepala Jaffran. "Puas banget lo ngetawain gue."
Jaffran masih sesekali tertawa. "Kepala gue udah lama banget kayaknya nggak lo pukul ya, Wen. Seneng, Wen? Dulu waktu SMA kepala gue sama Chandra keplak-able banget kayaknya."
"Nyentuh yang cewek lo maksud bukan cuma skinship, lebih dari itu bego!"
"Ya, apa, Wen? Yang kayak gimana?"
"Wen ...," panggil Joy memberi kode 'jaffran tidak harus tahu'.
Wenda tidak mengindahkan ucapan Joy. "Maksudnya, Chandra nggak pernah gauli gue!"
"Oh, nggak pernah gaul—eh, maksudnya, gimana ini?" Jaffran terkejut saat menyadari maksud kata 'gauli'.
-o0o-
Jaffran masih belum percaya dengan cerita yang dia dengar barusan.
"Seserius itu rumah tangga kalian, Wen?" tanya Jaffran yang sudah iba pada Wenda, teman yang dia kenal sejak SMA.
Jaffran mengusak rambutnya kasar. "Punya masalah apa sih, si anak anying. Dia nggak belok, 'kan? Kayaknya nggak, deh." Jaffran menjawab sendiri pertanyaannya.
"Dia nggak ngerti caranya atau gimana, sih? Padahal, kan tinggal masukin doang, terus goyang-goyang."
"Jaffran!"
"Beib!"
Suara nyaring menggema di ruang tengah rumah Joy. Suara dengan nada naik satu oktaf itu berasal dari dua wanita di depannya. Ucapan Jaffran sudah sangat vulgar untuk diucapkan di depan wanita. Wenda dan Joy menatap tajam Jaffran.
"Maaf ... maaf. Ya, maksudnya, ah, gue bingung, deh. Serius!"
Wenda menatap Jaffran, sempat menarik senyum getir. "Jaf, menurut lo, ada kemungkinan nggak sih, mereka ... balikan? Mereka, 'kan pisah juga bukan karena ada masalah. Mungkin masih ada perasaan di antara mereka yang belum selesai."
"Wen, lo jangan ngomong gitu, ucapan itu doa," pesan Joy menasehati.
"Apa mungkin ... Chandra bosan sama gue? Buktinya lusa mereka mau ketemuan lagi. Chandra lebih milih ketemu sama Sonya ketimbang sama gue. Padahal lusa gue ultah." Wenda menunduk, menghapus cepat butiran bening dari pelupuk matanya.
"Wen, udah ya. Jangan overthinking." Joy memeluk Wenda, memberi dukungan pada Wenda.
"Iya, Wen. Sabar, ya, Wen. Kita pasti bantuin lo. Lo kalo ada yang mau diceritain, ceritain aja ke Joy. Joy siap dengerin lo 24/7."
Joy melotot, telunjuknya mengarah ke wajahnya sendiri. "Kok aku? 24/7? Maksudnya aku nggak tidur lagi gitu? Berasa jadi pom bensin buka 24 jam."
Tanjung Enim, 23 November 2020
Republish, 12 Maret 2021
Silakan yang mau melampiaskan kemarahannya yang sempat tertunda.
Kasih love dulu di sini untuk dukung Wenda. ❤️
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Pre order tinggal 2 hari lagi ya, Bestie. Jangan sampai ketinggalan. Mungkin ini adalah bab terakhir akan di publish versi Wattpad. So, baca selengkapnya di versi novel.
Aku kasih tau juga funfact tentang cover.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top