37 // Foto Misterius

Wenda terbangun, tangannya meraba-raba sisi kosong di sebelahnya. Kelopak matanya mengerjap berulang, beradaptasi dengan cahaya di sekitar yang masuk ke retinanya.

Kamarnya hening, tidak ada pergerakan rusuh Chandra di sebelahnya, suara detik jarum jam dapat didengar jelas di telinga Wenda.

Wenda bangkit, mencoba mendudukkan tubuhnya dengan bersandar di tumpukan bantal. Tangannya tampak menggaruk lehernya, sesekali terlihat masih menguap, menggeliat mengusir kantuk agar benar-benar pergi.

Tenggorokannya terasa sangat kering. Butuh segelas air mineral agar rasa dahaganya tertuntaskan, Wenda keluar kamarnya melangkah ke dapur.

"Neng Wenda."

"Astagfirullah!" seru Wenda terlonjak kaget saat hendak meraih gagang pintu kabinet tempat penyimpanan gelas.

"Eh, maaf, Neng. Bibi ngagetin, ya?"

Wenda memegang dadanya, dia benar-benar terkejut. "Kirain tadi siapa, Bi. Bibi pagi banget. Ini kan hari Minggu, Bi."

"Anu, Neng. Kemarin malam bibi diberi tahu Mas Chandra. Katanya hari ini disuruh datang pagi, buat nyiapin sarapan Neng Wenda. Mas Chandra tadi pagi-pagi sekali pergi."

Wenda menekan tombol pada dispenser, menampung air yang keluar dari sana. "Oh, Chandra kan cuma joging, Bi. Kayak hari Minggu biasanya. Paling bentar lagi juga balik."

"Mas Chandra pergi, Neng. Bukan mau olahraga kayak biasa. Pakai mobilnya, pakaiannya juga rapi bibi lihat."

Wenda hampir tersedak air yang dia minum. Aneh saja rasanya, Bi Yati diberi tahu kalau hari ini Chandra akan pergi ada keperluan, kenapa Wenda tidak?

"Oh, gitu. Ya, udah Bi. Wenda ke kamar lagi, ya."

Bi Yati hanya mengangguk, melanjutkan pekerjaannya. Wenda kembali ke kamarnya dengan perasaan kesal.

Bisa-bisanya Bi Yati dikasih tau, aku nggak tau apa-apa. Nggak dianggap atau gimana aku nih.

Wenda duduk di tepi tempat tidur, melipat tangannya di depan dada. Berpikir apa yang hendak dia lakukan pada Chandra. Wenda meraih ponselnya yang ada di atas nakas, menekan tombol panggilan cepat.

"Halo, Wen. Kamu udah bangun?" Suara Chandra terdengar menyapa.

"Kamu di mana?" Todong Wenda dengan pertanyaan.

"Di airport, jemput temen aku yang aku ceritain semalem."

"Kok nggak bilang? Aku malah tahu kamu pergi dari Bi Yati," gerutu Wenda menahan kesalnya.

"Kan semalem aku cerita, Sayang. Kamu juga tau temen aku hari ini sampai di Jakarta."

"Iya, tapi kamu nggak bilang kalau mau jemput dia. Udah, ah! Sebel aku sama kamu."

Wenda menghentakkan kakinya, ingin berniat mematikan sambungan telepon, tetapi dia urungkan saat rungunya menangkap suara ganjil di seberang sana.

"Kamu sama cewek?"

"Wen, aku lagi di bandara, tempat umum. Wajar kalo ada suara cewek, suara ibu-ibu, suara kakek nenek pun ada. Jangan nethink gitu, ah. Aku tutup dulu, ya. Temen aku udah selesai. Kamu jangan lupa sarapan. Aku sayang kamu."

Sambungan telepon diputuskan oleh Chandra. Rasa kesal semakin menyeruak di dada Wenda. Ponselnya dia lempar asal ke tengah tempat tidur, tubuhnya dia hempaskan di kasur, Wenda bergerak gusar berguling-guling. Dari posisi menyamping, tengkurap, meringkuk, telentang dia lakukan. Ada perasaan menggangu, yang sebenarnya Wenda tidak tahu apa.

Wenda menatap langit-langit kamarnya, suara dentang notifikasi ponselnya mengalihkan fokus Wenda. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang tadi dia lempar begitu saja. Saat benda yang dia cari sudah ditemukan, Wenda bergegas membuka satu pesan dari nomor tak dikenal.

+6282299xxxx :

Tidak ada kata-kata berarti dari pesan itu, hanya kalimat 'hari ini, Soeta Airport'. Dalam sebuah foto itu seorang pria dengan kaus lengan panjang berwarna abu, celana panjang navy, Wenda jelas tahu siapa yang ada di foto tersebut, meskipun pria di foto itu hanya terlihat punggungnya saja. Wenda mengenali dengan baik postur tubuh tinggi itu.

Wenda memicingkan matanya menatap layar ponsel. "Iye, gue tau itu laki gue," ucap Wenda saat melihat foto yang dikirimkan dari nomor tak dikenal itu.

Tidak berapa lama pesan berikutnya pun menyusul masuk, Wenda kembali membuka pesan itu. Masih foto dengan objek yang sama, Chandra yang berdiri menunduk sedang sibuk dengan ponselnya.

"Ini jangan-jangan pas lagi angkat telepon aku tadi," gumam Wenda, "eh, atau lagi ngehubungi temennya udah sampe mana? Entah, ah."

Wenda merubah posisinya menjadi tengkurap, kakinya bergerak ke depan dan belakang secara teratur. Wenda masih memperhatikan ponselnya yang tergeletak di kasur, tangannya menopang pipinya, menunggu foto berikutnya kalau-kalau masih ada lagi.

Ponsel Wenda bergetar singkat, rasa antusias Wenda kembali memuncak, matanya berbinar saat mendapati foto Chandra kembali, Chandra yang sedang berdiri di eskalator turun, ada seorang pria yang berdiri di samping Chandra. Mereka terlihat akrab, seperti sedang mengobrol.

"Ini kali ya temennya." Wenda menebak-nebak siapa pria itu.

Hanya berjarak tiga menit, foto Chandra kembali dikirimkan nomor yang Wenda belum ketahui siapa.

"Dih, gayaan banget papinya Chabe. Berasa jadi artis Korea kali ya, yang difotoin sama fansite gitu. Airport fashion kali." Wenda kembali mengomentari foto yang menampilkan Chandra sedang berjalan sembari menarik koper berwarna hitam, senyumnya terkembang memamerkan lubang kecil di pipi kirinya.

"Eh, kok, dia ganteng sih di sini." Wenda mengetuk layar ponselnya, memperbesar gambar agar terlihat lebih detail. "Nggak ... nggak ... dia nggak ganteng. Enak aja, nanti dia besar kepala gara-gara aku puji. Aku masih sebel sama dia, liat aja nanti kalo pulang," gerundel Wenda.

Ya, ampun, Wen. Akui saja kenapa, sih. Pakai alasan lagi marah segala. Bilang saja kalau mengakui ketampanan Chandra. Gengsi sekali untuk memujinya.

Wenda masih mengamati ponselnya, barang kali masih akan ada foto selanjutnya yang akan dia komentari. Sepuluh menit berlalu, tidak ada lagi foto yang masuk.

"Beneran nggak ada lagi, nih?" Wenda masih bermonolog. "Ya, udah. Kalo nggak ada lagi aku mau ke toilet, ya. Ini perut mules nggak jelas dari tadi."

Wenda melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi, membasuh muka dan menggosok gigi. Maafkan Wenda yang hari ini menjadi pemalas.

Wenda bercermin pada kaca besar toilet, meneliti wajahnya. Ada bentol kemerahan di pipi kirinya. "Yaelah, ini jerawat muncul aja."

Wenda masuk ke bilik toilet, duduk santai membuang isi kantung kemihnya yang sejak bangun tidur tadi belum dia kuras.

"Eh? Ternyata kamu penyebab dari semua ini. Pantes aja bawaannya pengin mancung kepala orang aja."

Wenda berdecak saat melihat noda merah pada celana dalamnya. Pantas saja emosinya lebih cepat merangsak naik, pantas saja jika dia merasa lebih sensitif, sampai-sampai perkara Chandra tidak bilang ke bandara saja dipermasalahkan. Ternyata sedang kedatangan tamu bulanannya.

Wenda mengganti celananya, melapisi dengan pembalut terlebih dahulu. Kemudian kembali ke tempat tidurnya, memeriksa ponselnya. Siapa tahu selama dia di kamar mandi, foto dari pengirim misterius masuk lagi. Ternyata harapan tinggal harapan, semua dipatahkan realita yang ada.


Tanjung Enim, 22 November 2020
Republish, 10 Maret 2021

Salam sayang ♥️
RinBee 🐝

Hei, aku datang subuh-subuh. 🙈
Udah 3 Januari 2023 loh. Masih ada yang ragu untuk cekout?

Sini ... Sini ... Aku kasih tahu apa aja yang kalian dapatkan di Open PO kalo ini.
1. Bookmark gemoy binti lucuk kiyowok

2. Parfum mini. (Siapa tahu wangi Chanyeol ye kan?) 😆

3. Kalender meja yang sangat bermanfaat untuk mengingatkan kalian pada kisah Wenda Chandra.
 
4. Tentu saja Novel Sahabat ... Nikah, yuk!

Q : Kak, beda versi cetak sama wattpad apa?

A : Baiklah, saya jelaskan. Versi cetak dan wattpad tentu sangat berbeda.

1. Pada versi cetak sudah melalui penyuntingan dan revisi bersama editor kompeten sehingga membuat novel ini jauh lebih rapi baik dalam penulisan dan alur.

2. Pada versi cetak ada 5 ekstrapart yang hanya ada di novel.

3. Hidden Konflik dan penyelesaiannya hanya bisa kalian dapatkan di versi cetak. Tidak ada di wattpad atau di sekuel sekalipun. Ekslusif hanya ada di versi cetak.

4. Ada salah satu tokoh yang namanya Harus diubah. Penasaran gak siapa? Cuusss segera cekout di shopee Grassmediaofficial

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top