30 // Selang dan Tiang Infus

"Wen, minum dulu ini. Kamu harus banyak minum, Sayang."

Chandra masih belum beranjak dari acara membujuk agar Wenda mau meminum segelas air mineral yang sudah dia sodorkan sejak tadi. Wenda tetaplah Wenda, si manja dan keras kepala. Mungkin saat Tuhan menciptakan kepala Wenda bukan dari tanah liat, melainkan dari batu bujang dan semen berkualitas premium.

"Aku nggak mau ngomong sama kamu!"

Lah? Itu kamu lagi ngomong. Bukan lagi ngulek pecel, Wen.

"Iya, nggak apa-apa kalo kamu mau mogok ngomong sama aku, tapi minum dulu ya."

"Nggak! Aku puasa minum, puasa ngomong sama kamu."

"Boleh, aku izinin kamu mau puasa ngomong sama aku, tapi jangan puasa minum."

"Aku bukan minta izin, ya," ketus Wenda lagi.

"Nanti kamu tambah dehidrasi, tambah lemes, Wen. Kamu, 'kan butuh tenaga buat marah-marahin aku."

Wenda mengulurkan tangannya, meraih gelas yang sejak tadi dia biarkan saja menggantung di tangan Chandra. Menghabiskan satu gelas air minum tanpa bersisa. Dasar Wenda, sudah tahu haus masih saja banyak drama.

"Ini karena aku butuh tenaga, ya. Pokoknya, aku nggak mau ngomong sama kamu."

Dari tadi, nggak mau ngomong, nggak mau ngomong, tapi itu bibir tetep aja cerewet. Aduh! Pengin gue gigit rasanya.

"Iya, nggak apa-apa kamu diemin aku," sahut Chandra.

"Aku nggak mau ngomong sama kamu, selamanya."

"Iya, boleh, selama-eh? Jangan dong, kalo selamanya, terus nanti aku ngobrol sama siapa?"

"Sama tukang komidi putar pasar malam!"

Kurang kerjaan banget kayaknya idup gue, ke pasar malam cuma mau ngajak tukang komidi putar ngobrol.

Chandra membenahi rambut yang ada di dahi Wenda. Namun, ditepis oleh Wenda. Matanya menatap tajam seolah tidak mengizinkan Chandra menyentuhnya barang sedikit saja.

"Sekarang istirahat, ya." Chandra membenahi bed pasien, agar posisi tidur Wenda terasa nyaman.

"Aku lagi nggak mau ngomong sama kamu."

"Oh, iya lupa. Udah mulai ya? Kirain tadi belum mulai mogok ngomongnya," jawab Chandra dengan cengiran di wajahnya.

Chandra menekuri ponselnya, duduk di kursi sebelah tempat tidur Wenda. Tiga puluh menit berlalu, Wenda sudah kembali tertidur dalam buaian selimut dan nyamannya kasur. Derit pintu terdengar, Chandra menoleh ke arah pintu. Ada sosok wanita dewasa yang berada di ambang pintu, berjalan mendekat ke arah Chandra.

"Asalamualaikum," sapa bunda saat sudah masuk ke ruang rawat inap Wenda.

"Wa'alaikumussalam, udah datang, Nda? Sama siapa?"

"Sendiri, tadi naik taksi. Ayah lagi ada operasi. Kata ayah kenapa nggak dibawa ke rumah sakit tempat ayah aja?"

Chandra bangkit dari posisinya, mempersilakan bunda untuk duduk di kursi yang semula dia duduki. "Nggak kepikiran, Nda. Keburu panik, jadi nyari rumah sakit terdekat aja. Untung aja ada Bi Yati yang bantuin."

"Dia rewel nggak? Biasanya kalo sakit Wenda lebih-lebih dari bayi tantrum rewelnya."

Chandra lagi-lagi menyengir, tersenyum canggung. Bukan rewel lagi, Nda. Hampir bikin aku frustrasi ngadepinnya, serasa pengin benturin kepala ke tabung oksigen.

"Iya, Nda. Rewel ... sedikit. Tadi Wenda sempet nyariin Bunda juga."

"Dia nih kebiasaan, kalo lagi sakit nggak bisa jauh dari bunda. Pasti kamu kesulitan ya tadi? Maafin Wenda ya, Chan."

"Loh? Kok minta maaf segala sih, Nda. Kan emang kewajiban aku jagain istri."

Sekarang gantian bunda yang menyengir. "Bunda masih suka lupa kalo kalian udah nikah," ucap bunda.

Nggak ada harga dirinya banget idup gue di mata mertua.

-o0o-

Chandra duduk di sofa, memperhatikan Wenda yang bermanja-manja dengan sang bunda. Entah apa saja yang anak dan ibu itu bicarakan, tentunya tidak akan pernah dimengerti oleh Chandra.

Pintu diketuk, sontak Chandra menoleh ke arah sumber ketukan itu. Pintu terdorong lalu terbuka, kepala Jaffran menyembul lebih dahulu, bertatapan dengan Chandra.

"Oh, maaf, Mas. Salah kamar kayaknya saya," ucapnya sembari menutup pintu kembali.

Chandra terlihat bingung, telunjuknya menggaruk dahinya yang tidak gatal. Seperti musibah dia mendapatkan teman makhluk ajaib seperti Jaffran.

"Kalo mau minta sumbangan nggak usah masuk lo," teriak Chandra agar terdengar oleh Jaffran di balik pintu.

Pintu kembali terbuka, kali ini kepala Joy yang menyembul diikuti dengan Jaffran di belakangnya.

"Permisi," ucap Jaffran sembari duduk di sofa kosong sebelah Chandra, "get well soon ya, Bro. Semoga nyawa lo cepat diangkat Tuhan."

"Sialan! Lo nyumpahi gue mati? Emang nggak ada akhlak ini kampret."

Gelak tawa Jaffran terdengar nyaring di ruangan ini, Joy sudah bergabung di dekat Wenda dan bunda. Berbincang-bincang ringan, Jaffran dan Chandra berjalan ke tempat tidur Wenda, karena tujuan mereka ke sini ingin membesuk Wenda.

"Siang Tante, apa kabar, Tan?" sapa Jaffran pada bunda.

"Alhamdulillah, sehat. Mama kamu apa kabar, Jaf? Udah lama tante nggak arisan sama mama kamu."

"Bunda kenal mama Jaffran?" tanya Chandra tiba-tiba.

"Iya, bunda kenal mamanya Jaffran, maklum ibu-ibu satu arisan." Bunda terkekeh canggung.

"Bro, lo tahu? Saking kenal baiknya nyokap gue sama bunda Wenda. Nyokap gue ngebet banget pengin gue macari Wenda waktu kita masih SMA, katanya mantu idaman itu yang kayak anaknya dokter Andra."

Chandra melotot, dia berdecih tidak percaya. "Ini pasti karangan lo kan?"

"Sumpah, Bro. Nggak percaya tanya aja sama bundanya Wenda," ujar Jaffran, "iya, kan Tante?"

Bunda hanya mengangguk, tersenyum setelahnya. "Itu kan cuma ucapan ibu-ibu, jodoh mana ada yang tahu. Toh, ternyata yang berjodoh sama Wenda kamu, Chan," hibur bunda pada Chandra.

"Nggak usah mikir macem-macem, Bro. Gue nggak berminat jadi pebinor, hati gue udah digembok sama dia," tunjuk Jaffran pada Joy yang sudah tersipu salah tingkah, "lagian lo juga kalo saingan sama gue, bakal kalah, Bro. Ganteng gue kemana-mana."

Chandra mengeratkan pertemuan rahangnya, menahan kesal. Rasanya ingin sekali melilitkan selang infus ke leher Jaffran, jarum yang ada di punggung tangan Wenda dicolokkan ke mata Jaffran.

"Kata dokter, lo sakit apa, Wen? Dari kemarin emang lo udah keliatan banget lagi nggak sehat." Joy bertanya.

"Emang dari kemarin Wenda udah sakit, Joy?" Chandra bertanya, karena jujur saja dia baru tahu jika Wenda sudah dari kemarin sakit. Dia pikir dari semalam Wenda demam.

Pandangan Chandra langsung beralih ke Wenda yang berbaring setengah duduk di tempat tidurnya.

Kemarin waktu berantem sama Shanshan, kamu kayak nggak sakit, semangat banget jambak rambut anak orang.

"Tuh, kan. Masa bini sakit nggak tahu, Lo apa-apa kalo saingan sama gue bakal kalah, Chan. Lo nggak perhatian kayak gue," ejek Jaffran semakin menjadi-jadi.

"Tan, maafin temen aku ya, dia memang bukan mantu idaman kayak aku," celetuk Jaffran menggoda Chandra.

"Gue cuma demam biasa sama dehidrasi, Joy. Mungkin besok udah bisa pulang," sahut Wenda menjelaskan pertanyaan Joy tadi.

"Chan, di rumah kalian nggak ada minum atau gimana? Kok, Wenda bisa dehidrasi. Bener-bener ya lo jadi suami." Jaffran kembali mengompori.

"Minum sih ada, cuma dia nggak mau ngambilin buat istrinya yang lagi sakit," sindir Wenda.

"Astaga, Chan. Istri sakit mau minta ambilin minum, lo nggak mau? Bener-bener kelewatan lo."

Chandra memejamkan matanya sejenak. Menghela napas jengah, Chandra sudah benar-benar muak dengan yang diucapkan Jaffran.

Pengin banget kasih pelajaran sama ini anak setan satu. Ini tiang infus di pojokan nggak kepake, 'kan, ya? Digunakan buat mukul leher temen yang nggak ada akhlak, kayaknya halal nih. Ampun! pengin banget itu jakun gue tebas pakai tiang infus, anggap aja pedang deadpool.

"Chan? Yee ... dia malah ngelamun. Ngapain lo ngeliatin ke sana. Itu tiang infus, Chan. Nggak bisa lo pake buat pool dancing."

"Jaf, lo ngebacot lagi, itu tiang infus masuk ke mulut lo tembus sampe ke pantat," geram Chandra.

Tanjung Enim, 17 NOV 2020
Republish, 06 Maret 2021

Salam sayang ♥️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top