29 // Sudah Tidak Ingin.
Tidur Chandra terganggu saat benda canggih di atas nakas memekakkan telinganya. Chandra meraih benda itu, ponsel milik Wenda ternyata. Chandra menyipitkan matanya, beradaptasi dengan silaunya cahaya dari ponsel. Ada nama Joy di riwayat panggilan tak terjawab.
"Ngapain sih, ini komplotannya Jaffran," sungut Chandra.
Chandra menoleh ke sisi kosong tempat tidur, dia ingat, bahkan sangat ingat jika semalam Wenda pindah ke kamar tamu. Sudah jadi kebiasaan Wenda, jika sedang merajuk pasti tidur di kamar tamu. Chandra sengaja semalam tidak membujuk Wenda, dia hanya ingin memberi sedikit teguran ke Wenda bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Meski sebenarnya bukan murni kesalahan Wenda.
Dengan gerakan berat, Chandra menurunkan kakinya dari tempat tidur, duduk di tepi tempat tidur mengumpulkan niat. Tiba-tiba ponsel Wenda yang di genggaman berbunyi singkat. Masih nama Joy yang tertampil sebagai pengirim pesan.
Kinder Joy :
Wenda, gimana kabar lo? Lo baik-baik aja, 'kan? Kok, nggak kuliah? Mana nggak ada kabar lagi.
Chandra mengernyit, melirik jam pada ponsel, sudah pukul delapan lewat. Hari ini Chandra memang tidak ada jadwal kuliah, tetapi Wenda ada kuliah jam delapan. Langkah Chandra terayun menuju kamar tamu.
"Eh, Mas Chandra sudah bangun?"
Bi Yati dengan keranjang pakaian di tangannya, datang dari arah halaman belakang—selesai menjemur pakaian—menyapa Chandra.
"Iya, Bi. Oh, ya, Wenda sudah bangun, Bi?
"Bibi belum lihat, Mas."
Chandra hanya mengangguk, Chandra membuka pintu kamar dengan perlahan.
Untung nggak dikuncinya.
Chandra masuk, suasana kamar masih gelap dengan gorden yang tertutup rapat, hanya ada cahaya yang mengintip dari celah ventilasi udara.
"Wen, handphone kamu bunyi terus dari tadi, ada chat dari Joy," ucap Chandra sembari menyibakkan gorden.
Chandra berbalik, memperhatikan Wenda yang masih tertidur ... gelisah.
Gerak tubuh Wenda terlihat gusar, kepalanya terkadang ke kanan dan ke kiri, suara gumaman terdengar samar dari bibirnya. Chandra memperhatikan bibir Wenda yang kering dan pucat.
Chandra duduk di tepi tempat tidur, menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahi Wenda. Chandra terperanjat saat telapak tangannya bersentuhan dengan dahi Wenda.
Panas banget. Dia demam?
Chandra memangku kepala Wenda, mengusap lembut pipi Wenda. "Sayang, kamu demam? Wen, bangun, yuk."
Tidak ada sahutan dari Wenda selain bulu matanya yang bergerak pelan, berusaha membuka mata, tetapi tertutup kembali.
Chandra panik, terus memanggil dan menepuk pelan pipi Wenda agar tersadar. "Wen, hei ... sayang. Wen ... Wenda."
"Bi ... bi Yati, tolong, Bi!" teriak Chandra memanggil Bi Yati.
Derap langkah tergopoh mendekat. "Iya, kenapa, Mas?" Bi Yati pun tak kalah panik mendengar teriakan minta tolong dari Chandra.
"Bi, Wenda pingsan. Bantu aku bawa ke rumah sakit."
***
Wenda sudah ditangani oleh dokter dengan baik. Sudah dipindahkan dari IGD ke ruang rawat inap. Rasa khawatir masih mengepung perasaan Chandra.
"Kira-kira kapan istri saya akan sadar, Dok? Kenapa nggak sadar-sadar dari tadi, Dok," tanya Chandra pada seorang dokter yang tadi menangani Wenda.
Dokter itu terkekeh sejenak, menarik senyum samar. "Istri Bapak tidak pingsan, hanya saja mungkin sekarang terlalu lelah. Dia hanya tertidur. Bapak jangan panik, pantau saja jika nanti pasien bangun dan biasanya akan minta minum karena merasa haus efek dari dehidrasinya."
Chandra mengembuskan napas lega. "Baik, Dok. Terima kasih," jawab Chandra.
Wenda hanya dehidrasi, tetapi Chandra sudah panik setengah mati. Kakinya seperti tidak bertapak pada bumi saat menemukan Wenda yang sudah lemas, tidak merespon setiap panggilan darinya.
Chandra mendekati bed pasien, dokter sudah meninggalkan ruang rawat inap Wenda. Chandra sudah duduk di samping ranjang pasien, memperhatikan wajah Wenda yang pucat, mata tampak cekung.
"Kok bisa gini sih, Sayang," lirih Chandra mengusap pipi Wenda dengan sangat hati-hati.
Chandra menggenggam tangan Wenda, sesekali telapak tangan yang masih terasa hangat itu diciuminya. Suara derit pintu mengalihkan fokus Chandra, wajahnya menoleh ke pintu. Ada Bi Yati yang berdiri di ambang pintu.
"Kenapa, Bi?"
"Itu, Mas. Mas Chandra sudah tidak perlu sama bibi lagi, 'kan?"
"Oh, iya, Bi. Bi Yati mau pulang? Aku pesanin taksi, ya. Aku nggak bisa anter, Wenda nggak ada yang jaga."
"Aduh, tidak usah, Mas. Biar bibi pulang naik angkot saja," tolak Bi Yati yang merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, Bi. Mending naik taksi aja, lebih aman. Tunggu, Bi."
Chandra meraih ponselnya dari saku celana memesan taksi online dari aplikasi ponselnya. Chandra sudah lima menit meneliti ponselnya. "Taksinya udah di depan pintu gerbang sebelah kanan, Bi. Bilang aja atas nama Chandra," lanjut Chandra memberi tahu.
"Ya, sudah kalau begitu. Bibi pamit ya, Mas. Semoga Neng Wenda cepat sembuh."
"Iya, Bi. Makasih, Bi."
Bi Yati sudah berlalu meninggalkan ruangan inap Wenda, Chandra kembali memperhatikan Wenda yang tidur pulas di atas tempat tidur pasien. Telapak tangannya mengusap wajah Wenda, Chandra tinggalkan satu kecupan lama di dahi Wenda.
"Cepat sembuh ya, Sayang. Maafin aku, udah lalai lagi jagain kamu," lirih Chandra.
Cengeng sekali kelihatannya, mata Chandra sudah memanas, ada sesuatu yang dia tahan di pelupuk mata agar tidak terjatuh. Chandra beranjak dari posisinya, berjalan menuju kamar mandi yang berada di sudut ruangan, membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar.
"Bunda." Suara Wenda terdengar di rungu Chandra saat dia baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, Sayang," sahut Chandra bergegas mendekati Wenda, "kamu mau apa?"
Wenda menatap Chandra, tatapannya datar tidak menampilkan ekspresi apa pun.
"Bunda!" jawabnya singkat.
"Iya, bunda udah aku kabari, bentar lagi ke sini." Chandra duduk di kursi sebelah tempat tidur Wenda, tangannya terulur hendak mengusap kepala Wenda, tetapi ditepis cepat oleh Wenda.
"Kamu masih marah sama aku?"
Wenda tidak menjawab, justru berbalik membelakangi Chandra.
"Wen," panggil Chandra membujuk Wenda. "Sayang, liat aku dulu dong."
Diam, Wenda bungkam tidak merespon sama sekali panggilan dari Chandra. Sepertinya Chandra harus lebih banyak bersabar saat bayi pandanya sedang mode merajuk.
"Kamu kok nggak bilang, kalo nggak enak badan."
"Gimana mau bilang, kamu aja sibuk belain itu cewek, sibuk nyalahin aku," ketus Wenda masih dengan posisi yang sama—membelakangi Chandra.
"Aku nggak belain dia, Sayang. Iya, aku yang salah. Semalem aku nggak peduliin kamu, ya? Aku minta maaf ya, Sayang."
Chandra bangkit, meraih satu botol air mineral di atas nakas. "Sayang, kamu minum dulu, ya. Kata dokter kamu dehidrasi berat, jadi harus banyak minum."
"Semua gara-gara kamu," ketus Wenda sembari berbalik, "coba semalem kamu mau ambilin aku minum, aku nggak akan dehidrasi."
"Iya, emang aku yang salah. Maafin aku, ya. Sekarang mau minum?"
"Nggak! Aku bisa ambil sendiri. Biasanya juga gitu," sindir Wenda seperti yang diucapkan Chandra semalam padanya.
Chandra seperti kena tamparan telak. Jika semalam dia mengambilkan Wenda segelas air, mungkin Wenda tidak akan dehidrasi dan di opname seperti sekarang ini.
"Ya, udah. Sekarang mau apa? Mau aku peluk, iya? Katanya semalem mau minta peluk." Masih berusaha membujuk Wenda karena merasa bersalah.
"Udah nggak pengin." Wenda menarik selimut menutupi tubuhnya. Hanya menyisakan kepalanya saja.
Chandra terdiam, semua usahanya ditolak Wenda. Rasa frustrasi perlahan menyerangnya, Chandra tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia memandangi punggung Wenda.
Tanjung Enim, 16 NOV 2020
Re-publish, 06 Maret 2021
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Selamat hari Selasa wahai pensnya Wenda yang manja. 🤭
Bagaimana liburannya tinggal berpaa hari lagi. Bete, ya. 😑
271222
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top