28 // Perang Dunia ke Sekian.
"Wen, lo beneran nggak apa-apa? Gue liat dari tadi muka lo rada pucet."
Wenda menunduk, telapak tangannya menyanggah dahinya. Dia sadar ada yang salah dengan tubuhnya, hanya saja Wenda masih berusaha menyelesaikan satu mata kuliah hari ini.
"Bohong banget kalo gue baik-baik aja, Joy. Ini kepala gue berasa dibawa naik rollercoaster. Pusing!"
"Lo telepon Chandra, suruh buruan ke sini. Ini mereka ke mana juga. Lama banget." Joy terlihat semakin khawatir.
"Udah nggak apa-apa. Nanti juga ke sini. Mungkin belum keluar kelas."
Wenda menumpukan keningnya di meja kantin, memejamkan matanya sejenak.
"Wen, udah periksa belum? Kapan terakhir haid. Mungkin lo hamil," bisik Joy sembari mengaduk lemon tea miliknya.
"Gue nggak hamil, Joy. Gue lagi datang bulan ini."
Wenda kembali menundukkan kepalanya, Joy fokus pada ponselnya. Sampai ... suara ketukan di meja Wenda dan Joy terdengar di telinga mereka. Joy mendongak terlebih dahulu, disusul Wenda mengangkat kepalanya lemah.
"Kenapa, Kak?" tanya Joy yang lebih dahulu membuka suara.
"Chandra mana? Kalian sering sama dia kan?"
Wenda mengangkat kepalanya, menatap heran pada Shanshan. Ini lemper oncom ngapain juga nyari Chandra.
"Ada perlu apa nyariin Chandra?" Wenda menimpali percakapan Joy dan Shanshan.
Shanshan mengalihkan tatapannya ke Wenda. Bola matanya memutar ke atas sejenak, senyum miring meremehkan terlihat jelas pada wajahnya.
"Penting banget buat lo tahu?"
Wenda mengembuskan napas jengah, jemarinya menyisir poninya menggunakan jari, membawanya helaian rambut itu ke belakang.
"Kak, sering ke butik Tante Sisca, 'kan? Pasti pernah liat foto Wenda sama Chandra di sana?" Joy bertanya pada Shanshan.
Ya, sejak Chandra menikahi Wenda, di butik mami terpajang foto pernikahan Wenda dan Chandra berukuran besar. Betapa bangganya mami mengabadikan hasil karya terbaiknya dalam sebuah jepretan kamera, terlebih lagi yang mengenakan anak menantu kesayangannya.
"Gue nggak peduli dia siapa, bukan urusan gue," ucap Shanshan dengan nada penuh keangkuhan. "Ini semua gara-gara lo, di malam party kampus gue mau kenalan sama Chandra dan lo nggak ada sopan santunnya bawa Chandra pergi."
Ya, ampun. Party udah tiga hari lewat masih dibahas lagi.
Wenda berdecih. "Gue nggak punya sopan santun? Lo apa? Nggak tahu malu?" balas Wenda sengit.
"Lo makin kurang ajar ya sama senior," tunjuk Shanshan menatap tajam.
"Masa bodo dengan senioritas, urusan kita bukan lagi tentang senior junior."
"Wen, udah. Kita pergi aja, yuk." Joy sudah merasakan aura-aura perang dunia akan terjadi.
Ucapan Joy tidak diindahkan oleh Wenda maupun Shanshan. Wenda melipat tangannya di depan dada, tatapannya tidak kalah tajam menatap seonggok manusia yang masih berdiri di hadapannya.
"Lo cantik, gue akui. Sayang banget kalo kecantikan lo buat ngejar suami orang. Lo nggak lagi ngidap kelainan jiwa, 'kan?" cibir Wenda.
"Kurang ajar!" teriak Shanshan, meraih gelas lemon tea Joy kemudian menyiramkannya pada Wenda.
Gerakan Shanshan terlalu cepat, hingga Wenda tidak dapat mengelak. Rasa dingin menelusup hingga ke dalam blouse Wenda.
"Sialan, cewek nggak tahu diri!" Wenda meraih apa saja yang ada di hadapannya, satu botol kecap berhasil diraihnya.
Wenda menyemprotkan kecap ke wajah Shanshan. Namun, Shanshan berhasil mengelak dan hanya mengenai rambutnya saja. Kali ini kecepatan gerakan Wenda patut diakui. Wenda sudah berhasil meraih jus alpukat miliknya, menyiramkannya hingga mengenai wajah Shanshan.
Shanshan menutup matanya, menyingkirkan sisa jus alpukat yang menghalangi pandangannya. Detik itu juga Wenda berdiri, dia gunakan untuk menjambak rambut pendek Shanshan.
"Wen, udah, Wen. Malu dilihat orang." Joy panik saat cengkeraman Wenda membuat Shanshan terhuyung dan meringis sakit di kepala.
"Lo kalo hobi godain suami orang. Jangan laki gue. Lo salah target, setan! Lo harus berhadapan sama gue dulu!"
Shanshan mendorong tubuh Wenda, Wenda yang pada dasarnya sedang tidak enak badan jatuh terduduk di lantai karena dorongan keras Shanshan.
"Wenda!" Joy menghampiri Wenda, ada tangan lain berusaha menarik rambut Wenda, tetapi tidak berhasil karena ditepis Joy.
"Aduh, tolongin, dong. Jangan nonton aja," teriak Joy pada mahasiswa yang sudah berkumpul menonton perkelahian Wenda dan Shanshan.
Wenda bangkit dari posisinya, tangannya bergerak hendak membalas Shanshan. "Sini lo, cewek murahan. Gue masih mau jambak lo. Dasar lemper oncom."
Merasa tertantang Shanshan maju, "Liat aja gue akan kasih lo pelajaran, biar lo tahu siapa gue," ancam Shanshan.
Wenda sudah dipeluk Joy, sedangkan Shanshan dihalangi mahasiswi lainnya. Entah tubuh Wenda yang terlalu licin hingga bisa lolos begitu saja dari pelukan Joy, menghampiri Shanshan kembali dan berhasil menarik rambut Shanshan.
"Astaga! Sayang, lepas. Hei, lepas ... lepas. Wen!" Suara Chandra terdengar di telinga Wenda, tapi dia memilih untuk tidak menghiraukannya, menjambak rambut Shanshan hingga terkelupas dari kulit kepalanya adalah misi yang harus Wenda jalankan.
Chandra berhasil menjauhkan Wenda dan melepaskan cengkeraman tangannya di rambut Shanshan.
"Nggak usah ganggu gue! Gue mau kasih pelajaran sama itu pelakor," jerit Wenda.
"Wenda!" bentak Chandra membuat Wenda diam di tempat.
-o0o-
Chandra berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Wenda dengan tatapan meminta penjelasan atas apa yang dia lakukan tadi. Setelah melalui proses panjang di ruang dosen konselor, akhirnya Chandra membawa Wenda pulang.
Wenda duduk di sofa ruang tengah, dengan perasaan masih teramat kesal. Sesekali terdengar gerutuan dan umpatan dari bibirnya.
"Kamu nggak ada yang mau dijelaskan ke aku?" sindir Chandra yang masih berdiri di depan Wenda.
"Nggak ada!" ketus Wenda.
"Kamu ngapain sih, Sayang. Pake acara berantem sama senior." Chandra masih berusaha lembut.
"Aku nggak suka ya, punya aku diganggu. Dia tuh mau godain kamu!"
Chandra menghela napas berat. "Iya, aku paham kamu paling nggak suka ada yang ganggu punya kamu, tapi kan aku udah bilang hindari dia. Kamu juga udah janji. Eh, malah berantem. Lagian aku nggak tergoda."
"Jadi kamu belain dia? Aku harus diem aja gitu suami aku digodain orang. Iya, sekarang bilang nggak tergoda. Lama-lama nanti menikmati juga." Suara Wenda sudah meninggi.
"Wen, pelani suaranya. Suara kamu bisa kedengaran sampe dapur. Nggak malu sama Bi Yati?"
"Nggak! Aku emang nggak punya malu, nggak punya sopan santun."
"Wenda!" bentak Chandra.
Chandra memijit pelipisnya, rahangnya mengeras, kepalanya berat menghadapi Wenda dan keras kepalanya.
"Sekarang kamu mandi! Aku mau pergi kerja. Di rumah aja, jangan kemana-mana," perintah Chandra.
"Nggak! Aku nggak mau mandi!" Wenda masih meninggikan suaranya.
"Terserah! Aku capek ngadepin kamu kayak gini," tandas Chandra.
Chandra berjalan meninggalkan Wenda di ruang tengah. Langkahnya menuju pintu depan. Ada Bi Yati yang baru saja masuk.
"Bi Yati, aku kerja dulu, ya. Aku titip Wenda. Nanti siapin makan siang buat Wenda ya, Bi. Dia belum makan."
"Baik, Mas. Mas Chandra nggak sekalian makan dulu?" tawar Bi Yati.
"Nggak usah, Bi. Aku udah telat," tandas Chandra, menarik pintu utama meninggalkan Bi Yati di depan pintu.
-o0o-
Chandra baru saja pulang kerja, jika biasanya nama Wenda yang akan dia panggil saat memasuki rumah, tapi tidak kali ini. Langkahnya langsung dia bawa masuk kamarnya. Pandangannya tertuju di atas tempat tidur, ada Wenda yang bergelung di bawah selimut. Chandra memilih untuk mengabaikannya, masuk ke kamar mandi membersihkan diri, kemudian menyelesaikan semua pekerjaannya di ruangan yang dia sebut markas.
Chandra melirik jam dinding yang ada di sudut ruangan, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tanpa dia sadari sudah empat jam lebih ternyata dia berada di markas.
Chandra menaiki tempat tidurnya, berbaring di sebelah Wenda, mencoba memejamkan matanya.
"Chan." Suara lirih Wenda mengetuk gendang telinga Chandra, tetapi dia abaikan.
"Chan," panggil Wenda lagi.
Tidak ada jawaban dari mulut Chandra, dia justru membalik tubuhnya membelakangi Wenda. Tangan Wenda menarik-narik kaus belakang Chandra, mencari perhatian seperti hal biasa Wenda lakukan.
"Chan, haus. Mau minum," rengek Wenda.
"Kamu bisa ambil sendiri, Wen. Biasanya juga gitu."
Lima belas menit bertahan dengan posisi seperti ini, Wenda yang menatap punggung Chandra seperti mencari akal untuk mendapatkan perhatian Chandra.
Ah, jurus terakhir. Pasti Chandra nggak nolak kalo aku minta peluk.
"Chan, mau peluk."
"Tidur, Wen. Udah malem." Chandra tetap bergeming, jangankan memenuhi permintaan Wenda, membalik tubuhnya saja tidak.
"Ya, udah. Kalo kamu masih sebel sama aku, nggak mau peluk aku. Aku tidur di kamar tamu aja," tantang Wenda yang sudah turun dari tempat tidur.
Chandra berbalik masih dengan posisi berbaring miring, tangannya dilipat di dada, menatap Wenda datar atau mungkin sudah jengah.
"Kamu kenapa sih, Wen. Aku capek, Wen. Seharian ini ngadepin tingkah kamu kayak anak kecil gini."
"Ya, udah, kalo kamu capek ngadepin aku. Aku tidur di kamar tamu." Wenda keluar kamarnya dengan membawa bantal dan selimut.
Tidak berapa lama Wenda kembali masuk, masih dengan bantal dan selimut yang dia peluk. "Kamu nggak mau bujuk aku? Aku mau ngambek ini!"
Chandra mengeryit, masih menatap Wenda dengan tatapan sama datarnya seperti tiga menit lalu.
mau ngambek kok ngomong sih, Wen.
"Aku beneran tidur di kamar tamu nih," tandas Wenda, menutup pintu kamar dengan kekuatan ekstra hingga menghasilkan dentuman yang cukup memekakkan telinga. Chandra menghela napas berat. Seberat bebannya hari ini.
Tanjung Enim, 15 NOV 2020
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Gemas syekali Wenda kalo caper. Pengen jentik ginjal kirinya. 😀😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top