23 // Nggak jadi mie instan
Wenda duduk pada bar stool, dengan kedua telapak tangan menyanggah dagunya agar tidak jatuh. Matanya masih lekat menatap dua bungkus mi instan, dua butir telur, dan beberapa batang daun bawang. Chandra berdiri di seberang Wenda, hanya meja pantry sebagai pembatas mereka.
"Chan, serius ini kita makan malam dengan ini lagi?" tanya Wenda frustrasi.
"Iya. Seru, 'kan? Apalagi kalo kita makannya pake panci kecil warna kuning, yang kamu beli di olshop Korea. Jadi berasa kayak di Kor—"
"Seru dari mana, Chan? Kemarin malam kita makan mi instan. Ini udah malam ke tiga. Masa makan mi instan lagi. Emang nggak ada makanan lain?"
Chandra berjalan memutari meja meraih tubuh Wenda, punggung Wenda sudah bersandar pada Chandra yang berdiri di belakangnya.
"Maaf, ya. Aku belum gajian dari kantor. Jadi, untuk satu minggu ini kita harus ngehemat dulu."
Wenda memutar bar stool yang dia duduki menghadap Chandra, wajahnya mendongak menatap Chandra yang ... Chandra tidak tahu arti dari tatapan itu. Tangan Wenda melingkar memeluk pinggang Chandra, pipinya menempel pada perut Chandra.
"Chan, kita belanja pakai uang aku aja ya, aku ada kok uang, Bang Lay masih suka ngirimin uang saku tiap bulannya."
"Itu uang kamu, Wen. Yang menuhi kebutuhan rumah tangga itu suami, aku."
Wenda mendongak. "Ya, masa makan mie instan lagi, aku nggak mau, Chan," rengek Wenda.
Chandra sedikit membungkuk, mendaratkan satu kecupan di hidung Wenda. "Maaf, ya. Malam ini aja, besok aku janji cari solusinya."
"Chan, bukannya kamu punya credit card?"
"Udah aku kembalikan ke papi, aku mau kita bener-bener mandiri, nggak nyusahin orang tua lagi."
"Ya, Allah, Chan. Coba sebelum dibalikin kamu pake dulu buat belanja kek, biar kita bisa makan seenggaknya sampai kamu gajian. Ah, tapi sudahlah."
Wenda merasa lelah melanjutkan ucapannya, tidak ada gunanya. Mau kecewa karena Chandra mengembalikan kartu kredit yang jelas-jelas punya orang tua Chandra? Rasanya tidak etis. Sekarang yang harus dia lakukan hanya menurut apa kata Chandra—kepala keluarganya.
Chandra berjongkok di depan Wenda. "Maaf, ya," ucap Chandra penuh sesal.
"Maaf terus, sih. Udah berasa lebaran aja. Kamu minta maaf seribu kali malam ini, itu mi instan nggak akan berubah jadi bulgogi, Chan."
Wenda menghela napas, rasanya sudah lelah menghadapi rasa gengsi Chandra. Memang apa salahnya, belanja kebutuhan mereka untuk beberapa hari saja menggunakan uang Wenda. Namun, semua itu tidak sesederhana yang ada di pikiran Wenda. Karena bagi Chandra, ini bukan masalah gengsi, melainkan prinsip, yang bertugas memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah dia selaku kepala rumah tangga. Chandra sudah menanamkan itu sejak hari pertama mereka berstatus suami istri.
"Chan," panggil Wenda yang sudah mengalungkan lengannya di bahu dan leher Chandra. "Kamu bilang uang aku terserah mau aku apain aja, kalo kita pake buat makan ke luar. Anggap aja aku traktir kamu malam ini, nanti kalo kamu udah gajian kamu gantian yang traktir aku, gimana?"
Chandra menatap Wenda lamat, masih belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Masih nggak mau juga? Gengsi banget ya ditraktir sama istri. Udahlah! Kalo kamu masih mau makan mie instan, aku mending nggak makan, dah! Biarin lapar, anggap aja lagi puasa."
"Ya udah ayo. Daripada kamu mogok makan, nanti sakit. Aku juga kena imbasnya, kena marah Nyonya Sisca karena mantu kesayangannya sakit."
Wenda terkekeh, dia ingat betul bagaimana omelan mami saat menegur Chandra jika tidak bisa menjaga Wenda dengan baik. Wenda sangat bersyukur akan itu.
"Bentar, aku ambil dompet sama sweter." Wenda berlari kecil ke kamar mereka.
"Wen, sekalian ambilin jaket aku," teriak Chandra pada Wenda yang sudah masuk kamar.
Lima menit berselang, Wenda sudah siap, berdiri di depan Chandra yang sudah pindah duduk di sofa. Wenda mengangsurkan sweter berwarna abu milik Chandra.
"Chan, ayok," ajak Wenda.
Chandra memandang Wenda dari atas hingga ke bawah. "Sayang, kamu nggak bercanda, 'kan?"
"Bercanda gimana sih? Hayuk kita cari makan."
"Wen, kamu nggak salah mau ke luar dengan cuma pake piama? Apalagi ini celana kamu pendek gini, paha kamu ke mana-mana diliatin orang. Ganti!" tegas Chandra.
"Ya Allah. Ribet banget, sih. Padahal mau makan doang, bukan ke pesta yang mesti ada dresscode-nya," gerutu Wenda yang sudah menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
Chandra bangkit dari posisinya, menarik pinggang Wenda hingga merapat ke tubuhnya, jarinya menyingkirkan rambut Wenda dan menyelipkannya ke belakang telinga.
"Mau ganti atau nggak pergi, terus kita makan mi instan aja." Chandra menaikan satu alisnya, "atau kamu yang aku makan malam ini," bisiknya sensual, dengan telunjuknya yang bergerak nakal di paha Wenda.
Wenda terkesiap, matanya melotot karena reaksi dari ulah tangan Chandra. Dia berdeham sesaat. "I-iya, aku ganti," ucapnya seraya melesat ke kamar dengan tergesa.
"Sekalian sweter kamu ganti, pake yang agak tebel, kalo nggak pake aja couple hoodie ini," teriak Chandra memberi titah pada Wenda agar mengenakan sweter seperti yang dia kenakan.
-o0o-
"Chan, ini serius kamu mau makan di sini?" tanya Wenda saat mobil mereka sudah berhenti di pelataran sebuah tempat makan yang sangat terkenal di Jakarta.
"Mesti ikhlas, lho, Sayang. Jangan yang tanggung kalo mau mentraktir suami."
"Emang suami nggak ngotak. Ini, 'kan tempat makan mahal banget, Chan. ini sih kamu sama aja ngerampok. RIP sudah isi dompet aku."
Chandra tergelak saat mendengar wenda menggerutu, tangannya mengusak puncak kepala Wenda, gemas.
"Ikhlas, nggak?"
"Iya, deh—terpaksa—ikhlas."
Wenda dan Chandra mencari tempat kosong, netra Chandra tidak sengaja menangkap sepasang manusia di meja pojok, Chandra meraih lengan Wenda. "Wen, lihat itu siapa?" tunjuk Chandra. "Samperin, yuk."
Wenda dan Chandra sudah berdiri di depan meja yang sudah menjadi target incaran mereka.
"Mami."
"Papi."
Panggil Wenda dan Chandra secara berbarengan. Mami dan papi kompak mendongak menatap anak mantu mereka yang sudah berdiri di depan mereka.
"Ngedate ya?" celetuk Chandra yang sudah menarik kursi di depan Wenda, mempersilakan Wenda untuk duduk.
"Kalian dari mana?" tanya papi.
"Dari rumah, mau makan."
"Wen, kamu mau pesan apa, Sayang? Pesan aja jangan sungkan ya," ucap mami pada Wenda.
"Mi, anaknya nggak ditawari?" tanya Chandra.
"Nggak usah. Kamu nggak ditawari juga pasti pesen sendiri nggak tahu malu."
"Emang dia nggak punya malu, Mi," cibir Wenda.
"Ada! Kemarin baru aku ambil malunya." Chandra tersenyum jahil ke Wenda. "Udah, Wen, nggak usah malu, pesen aja sesuka kamu, kapan lagi kita ditraktir Bapak Agung Siswanto. Salah satu pemilik pabrik tekstil terbesar nomor 3 di Indonesia."
Wenda tersenyum, itu 'kan kalimat yang sering dia ucapkan kala menggoda Chandra.
"Terus juga, dompet kamu nggak jadi RIP," lanjut Chandra.
"Dompet Wenda RIP? Maksudnya gimana?" tanya mami.
"Di rumah kita cuma ada mi instan, Wenda nggak mau makan itu. Aku belum gajian, jadi belum bisa belanja buat kebutuhan dapur."
"Gayaan, sih, pake ngembaliin kartu kredit. Chan ... Chan, dari kamu sekolah udah terbiasa pake itu kartu. Sekarang udah punya tanggung jawab lebih besar malah dibalikin. Seperti udah mampu saja."
"Ya, maksud aku kan nggak mau nyusahin kalian lagi, Pi."
"Papi sama mami juga dulu pernah seperti kalian, pernah susah juga di awal pernikahan. Oma sama eyang kakung kamu itu yang suka bantuin kita, papi terima-terima aja, karena emang keadaan kita butuh bantuan. Kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kecuali kalau kamu sudah mampu, tapi masih minta, itu nama tidak tahu diri."
Wenda tercenung, selama dia mengenal sosok papi, baru kali ini papi memberi wejangan panjang lebar. Biasanya cuma kalimat, 'hati-hati, belajar yang bener, jaga istri kamu' tidak lebih dari kalimat singkat. Malam ini Wenda jadi tahu sisi lain dari mertua laki-lakinya. Sementara Chandra hanya menyengir kuda salah tingkah.
Tanjung Enim, Nov. 01. 2020
Republish, 1 Maret 2021
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Selamat hari Selasa everyone. Jangan lupa setelah baca vote ditekan ya bestie.
201222
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top