22 // Aku Aja Belum

Suara bel terdengar nyaring. Rasanya masih terlalu pagi untuk bertamu, Chandra yang baru saja habis berolahraga mengernyitkan dahi saat melihat Ina sudah berdiri di depan rumahnya, menekan bel berulang kali. Jangan lupakan Clarissa dalam gendongannya.

"Kak Ina, kenapa Kak?" tanya Chandra yang berdiri di belakang Ina.

Ina berbalik. "Eh, Chan. Itu ... kakak mau minta bantuan. Bisa?"

"Bantuan apa, Kak? Kalo bisa aku bantu, aku bantuin."

Ina tampak ragu mengutarakan niatnya.

"Hmm ... kalian nggak kuliah, 'kan?kakak mendadak ada meeting di kantor, tapi bingung nitipin Clarissa ke mana, bibinya lagi pulang kampung, papanya lagi ke luar kota, mau ke daycare nggak keburu," papar Ina.

"Oh, gitu. Ya udah nggak apa-apa dititip di sini aja, Kak. Lagian aku sama Wenda juga lagi free kok hari ini."

Ina sumringah. "Terima kasih ya, Chan."

Chandra mengambil alih Clarissa. "Ikut uncle, mau?"

Balita itu tanpa menolak, langsung saja berpindah ke dalam gendongan Chandra.

"Kak, kalo Clarissa aku ajak jalan-jalan boleh?"

"Boleh, kok. Asal nggak ngerepotin kalian berdua. Semua perlengkapannya sudah kakak siapin di tas semua, ya. Kakak titip ya, Chan. Kalo ada apa-apa telepon kakak."

Dengan tergesa, Ina masuk ke mobilnya setelah berpamitan dengan putri kesayangannya. Chandra menggerakkan lengan kecil Clarissa melambai ke arah mobil Ina yang sudah melaju meninggalkan Chandra dan Clarissa.

Chandra masuk ke dalam rumahnya, belum ada tanda-tanda eksistensi Wenda. Keadaan dalam rumah masih seperti saat dia meninggalkannya untuk joging. Chandra melirik jam dinding yang tergantung di ruang tengah, sudah menunjukkan pukul delapan.

"Kayaknya Auntie Wen belum bangun, kita bangunin, yuk?"

"Auntie Wen?" tanya Clarissa polos.

"Iya, Auntie Wenda males ya? Udah siang masih bobok," ujar Chandra.

"Momo?"

Eh, iya. Clarissa panggil Wenda kan Momo, kalo Wenda Momo gue Popo gitu? Berasa jadi merk HP.

"Iya, Momo Wen. Kita bangunin yuk."

Chandra melangkah ke kamar mereka, benar saja Wenda masih bergelung di balik selimutnya dengan nyaman. Chandra menurunkan Clarissa di samping Wenda, sedangkan dia berjongkok di tepi tempat tidur.

"Cha, kiss Momo Wen." Chandra mengecup pipi Wenda memberi contoh untuk Clarissa.

Balita lucu itu mengikuti meninggalkan kecupan di pipi Wenda. Chandra mengulangi aksinya, seakan tidak mau kalah Clarissa pun terus mengikuti apa yang dilakukan Chandra.

Wenda menggeliat, tidurnya terganggu oleh kecupan bertubi yang dia dapatkan di pipi. Matanya mengerjap memastikan apa yang dia lihat.

"Kamu nyulik anak orang?" tanyanya dengan suara khas bangun tidur.

Chandra terkekeh, mengubah posisinya menjadi duduk di tempat tidur. "Buruan bangun, mandi. Mau ikut nggak?"

"Ke mana?"

"Kita ajak Clarissa jalan-jalan. Ke mall yang deket sini."

Mata Wenda terbuka lebar, meraih tubuh kecil Clarissa ke pangkuannya. "Cha, kita mau shopping, kita habisin duit anak semata wayang Bapak Agung Siswanto." Wenda terkikik geli seraya berbisik pada Clarissa yang tentu saja hanya ikut menyengir.

-o0o-

Tidak membutuhkan waktu lama mereka sudah sampai di tujuan mereka. Chandra sengaja membawa Wenda dan Clarissa ke tempat pusat perbelanjaan yang menurutnya dekat.

"Yeey, kita udah sampai. Cha, mau jajan apa?" tanya Wenda pada balita yang sedari rumah duduk di pangkuannya.

"Es klim," sahut Clarissa antusias.

"Masa cuma es krim. Yang mahalan dong. Kapan lagi kita bisa dijajani sama pewaris PT. Tunas Mandiri, salah satu dari lima pabrik tekstil terbesar di Indonesia," ucap Wenda.

Chandra terkekeh mendengar ucapan Wenda. Ada-ada saja istrinya itu. "Turun, yuk," ajak Chandra.

"Oke, Daddy," ucap Wenda dengan kerlingan sengaja dibuat nakal.

Chandra mengusap puncak kepala Wenda. "Harus nurut ya kamu sama aku, hari ini kamu jadi baby sugar-ku," bisiknya.

Chandra turun lebih dulu, memutari mobil menuju pintu kiri dan membukakannya untuk Wenda. Clarissa sudah diambil alih dalam gendongan Chandra, mereka berjalan beriringan memasuki mall.

"Chan, pake gendongan, monyet," ucap Wenda.

Sontak Chandra menoleh, gue nggak salah denger, 'kan? dia ngatain suaminya monyet? Wenda sudah mengulum senyum. Tidak ada yang salah dari nama gendongan itu. Gendongan anak dengan gaya diletakkan di depan dada itu memang disebut 'gendongan monyet'. Mungkin serupa monyet menggendong anaknya. Hanya saja pengucapan yang dilakukan Wenda yang salah.

"Kamu ngatain aku monyet?"

"Nggak, nama gendongan ini emang gendongan, monyet." Wenda menunjukkan gendongan yang Chandra tidak tahu sejak kapan Wenda membawanya.

"Chan, pake gendongan monyet, gitu yang bener. Bukan kata monyetnya kamu penggal terus ditekan lagi pengucapannya. Harus yang bener ngomongnya sama daddy."

"Dih, malah ketagihan dipanggil daddy." Wenda mencibir Chandra.

"Iya, dong. Apalagi kalo baby-nya yang gemesin kayak gini." Chandra mencubit pelan pipi Wenda.

Langkah kaki mereka terhenti di depan kedai es krim. "Mau es krim dulu atau keliling dulu?"

"Es krim!" ucap Wenda semangat.

"Iya, kan, Cha? Es krim, kan? Tuh, Chan. Clarissa mau es krim." Wenda menunjukkan Clarissa yang berada di dalam gendongan Chandra, balita itu menggerakkan kaki dan tangannya semangat.

"Chan, kata Clarissa dia mau dua porsi gede. Satu coklat, satu lagi greentea," bisik Wenda pada Chandra saat mereka sudah duduk di salah satu meja kosong.

"Itu sih, momonya yang mau. Bukan Clarissa," sindir Chandra yang sudah beranjak dari duduknya hendak memesan. Tangannya terulur mengacak poni Wenda.

Wenda menyengir, masih menatap punggung lebar Chandra yang sudah menjauh. Wenda membenahi posisi duduk Clarissa. Lima belas menit berselang, Chandra datang dengan nampan berisi tiga mangkok es krim. Dua berukuran besar dan satu berukuran kecil.

"Chan, baju Clarissa basah kena es krim. Tadi aku nggak bawa baju ganti buat dia. Gimana dong?"

"Wen, kita di mall. Bukan di tengah hutan belantara. Gampang, nanti kita cari baby shop."

"Ciee, Clarissa ... beli baju baru, padahal belum lebaran." Wenda menggoda balita yang masih asik menyendok es krim di depannya.

Terdengar kekehan dari mulut Chandra. "Emang mau lebaran aja beli baju?"

-o0o-

"Ih, lucu banget ini, mau matoy rasanya."

"Apa sih, Wen. Ngomong kamu!"

Wenda sibuk memilih pakaian untuk Clarissa, kakinya bergerak lincah menjelajahi rak atau bahkan gantungan yang menjajakan beraneka ragam pakaian anak. Mulai dari ukuran, warna, dan model semua lengkap.

"Chan, yang kanan atau yang kiri?" Wenda mengangkat dua model baju yang berbeda. Yang satu dengan model dress dan yang satu overall.

"Yang kanan aja, yang kiri terlalu heboh," tunjuk Chandra pada tangan kanan Wenda.

"Tapi aku suka dress-nya, lucu ada bandananya, pasti cantik." Wenda mensejajarkan dress itu di depan dada Clarissa yang masih berada di gendongan Chandra.

"Cha, suka nggak? Bagus ya, kamu kayak princess Elsa, cantik. Mau jadi princess Elsa nggak?"

"Plincess Elca? Mau itu, Momo. Mau plincess, Momo."

Wenda menyengir, mendongak menatap wajah Chandra. "Tuh, Clarissa suka yang ini, Chan."

"Ya, udah ambil dua. Gitu aja ribet banget."

"Aah, thank you, Daddy."

Wenda senang, melompat kecil. Hingga tidak sadar punggungnya hampir menabrak pelanggan lain. Beruntung Chandra sigap menarik Wenda.

"Hati-hati, Wen. Kamu hampir nabrak ibu hamil, tuh," tunjuk Chandra pada pelanggan dengan perut besar di belakang Wenda.

Wenda meringis menatap wanita itu yang terlihat menahan sesuatu dari perut besarnya. Tangannya mengusap perutnya. Wenda berbalik, bergerak tergesa menuju kasir, meninggalkan Chandra dan Clarissa.

Wenda membawa Clarissa ke toilet, untuk mengganti baju balita itu. Chandra menunggu di depan pintu, hanya Wenda dan Clarissa berada di dalam sana. Jelas Chandra tidak bisa masuk, kecuali kalau Chandra mau mati konyol dengan nekat masuk ke ruangan khusus perempuan itu.

"Chan," panggil seseorang yang jelas Chandra tahu siapa pemiliknya.

Chandra menoleh ke sumber suara. "Sudah selesai, Sayang?"

Chandra membungkuk mengangkat tubuh mungil yang berdiri di samping kaki Wenda, membawa Clarissa ke dalam gendongannya. "Wah, anak daddy, pakai baju baru cantik banget!" tukas asal Chandra.

Chandra meraih tangan Wenda untuk di genggamannya. Langkah mereka sudah cukup jauh meninggalkan toilet. Ada banyak pasangan atau keluarga yang terlihat di sekitar sana.

Wenda melepaskan genggaman tangan Chandra. "Chan, pulang!" ujar Wenda, netranya menatap lurus ke orang di depannya. Tidak ada yang aneh, hanya sepasang suami istri dan anak mereka. Fokus Wenda jatuh pada wanita itu. Wanita hamil yang Wenda lihat di baby shop tadi.

Chandra menoleh, menelengkan kepalanya ke arah Wenda. "Kok, pulang? Kita baru mau jalan-jalan."

"Pulang! Kalo nggak aku pulang sendiri." Wenda sudah berbalik hendak meninggalkan Chandra dan Clarissa.

Chandra menarik kembali tangan Wenda. "Kenapa sih? Aku salah apa?" tanya Chandra bingung.

"Pokoknya pulang, kalo nggak aku marah, nih."

"Iya, tapi kenapa?"

"Aku marah!"

Chandra menghela napas berat. Berat sekalinya rasanya cobaan jadi suami Wenda.

Baru juga kemarin baikan dari peristiwa kopi Alika. Sekarang tiba-tiba ngambek gini. Gue salah apa lagi?

Chandra masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, Clarissa masih berada di pangkuannya. Pintu mobil terdengar dentuman keras tanda ditutup dengan kekuatan ekstra. Tapi kok ... Wenda?

"Sayang, kok duduk di belakang? Ini aku kayak jadi supir loh."

"Aku marah, ya!"

Chandra mengatupkan mulutnya, apa yang dia khawatirkan terjadi juga.

"Sayang, kamu duduk di belakang, ya."

"Ini aku udah duduk di belakang, ya! Kamu mau aku duduk di bagasi?"

Chandra terlonjak mendengar suara keras Wenda. "Wen, aku ngomong sama Clarissa. Ini aku mau nyetir, susah sambil mangku Clarissa."

Wenda keluar mobil, pindah ke kursi depan di samping Chandra. Kenapa nggak dari tadi sih, Wen. Nggak pake drama.

"Sini, Cha. Sama Momo."

Dalam perjalanan pulang tidak ada pembicaraan antara mereka, Wenda yang masih kekeuh mogok bicara, Chandra yang tidak punya keberanian untuk membuka suara. Hingga mobil Chandra sudah bersentuhan di carport rumah mereka.

"Turun, yuk." Akhirnya Chandra berhasil mengeluarkan suara yang sudah tertahan sejak tadi.

Tidak ada sahutan dari Wenda, hanya terdengar ringisan kecil dari mulut Wenda. Chandra menoleh ke samping kirinya, matanya ikut fokus memperhatikan Clarissa yang tidur dalam dekapan Wenda, tidak aneh memang. Hanya saja bibir mungil balita itu seperti mencari sesuatu dari dada Wenda.

"Eh, kok? Dia—" Chandra terkekeh, mendekatkan wajahnya ke pipi gembil Clarissa. "Jangan dong, Sayang. Uncle aja belum," lanjut Chandra.

Spontan Wenda menoyor kepala Chandra. "Ngomong suka nggak ada akhlak depan anak kecil."

"Lah, emang bener. Aku aja belum ngerasain bagian itu," kilah Chandra.

Wenda berdecak sebal. Suaminya memang semesum itu. Tidak tahu tempat dan kondisi.

"Buruan buka pintu, mau turun ini."

Terpaksa, sangat terpaksa. Chandra harus menyimpan suara berharganya kembali. Dia tidak akan berani menjawab jika Kanjeng Nyai sudah memberikan perintah.

Tanjung Enim, 29 Oktober 2020
Republish, 28 Februari 2021

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Hahahah... Update subuh lagi. Maafkan saya.
Selamat hari Senin semua.
191222

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top