21 // Nikahi Manekin.
Mobil Chandra baru saja memasuki carport rumahnya, rasanya hari ini terasa lebih lelah. Lelah raga dan pikiran. Tubuh yang dibawanya untuk bekerja saat selesai kuliah, pikiran yang dibawanya memikirkan kejadian fan war tadi siang. Belum lagi ucapan teman laknatnya yang membuat ketar-ketir seluruh badan.
"Siap-siap tidur di dapur, Chan."
"Gimana kalau Wenda ngadu ke orang tuanya? Mati lo Chan, dihabisi sama tiga abangnya."
"Atau lebih parah Wenda minta cerai."
Chandra menggelengkan kepala mengusir pikiran yang menggangu kinerja otaknya, rasanya ingin menyumpal mulut Jaffran dengan kunci inggris, obeng, dan peralatan bengkel lainnya.
Chandra turun dari mobilnya, memasuki rumah yang terasa dingin. Setelah kejadian tadi siang Chandra terlalu berharap tinggi jika menginginkan Wenda menyambutnya pulang kerja dengan wajah sumringah dan manja.
"Wen."
Seperti kebiasaannya selama ini saat pulang kerja, nama Wenda yang akan Chandra panggil setelah kakinya menapaki ruang tengah.
Tidak ada sahutan, Chandra segera melangkah menuju kamar. Senyumnya terangkat saat melihat Wenda berbaring di tempat tidur memainkan ponselnya. Wenda membelakangi pintu dan telinganya tersumpal earphone. Wajar saja jika tidak menyadari kehadiran Chandra.
"Kamu di sini, pantes aja nggak denger aku pulang." Chandra menunduk, mencium belakang kepala Wenda. Selain pipi Wenda yang chubby untuk dia gigit, menghidu aroma rambut Wenda adalah hal favorit bagi Chandra.
Wenda berbalik, jangan lupakan tatapan tajamnya melihat kehadiran Chandra, wajahnya merenggut.
"Masih marah sama aku?"
Bukannya menjawab, Wenda justru menenggelamkan tubuhnya di balik selimut. Chandra terkekeh melihat tingkah istrinya yang terkadang sangat menggemaskan.
"Aku mandi dulu, nanti kita makan. Aku udah bawain makan malam untuk kita."
Dua puluh menit kira-kira dihabiskan Chandra membersihkan diri di kamar mandi. Wenda masih di tempat yang sama, memainkan ponselnya, berguling ke sisi kosong tempat tidur, membolak-balik majalah yang tadi dia baca.
"Wen, kaus aku yang warna putih, yang biasa aku pake di mana, ya?"
Hening! Tidak ada sahutan.
Chandra sibuk mencari sendiri kaus oblong yang biasa dia kenakan jika malam.
"Wen, sisir mana?"
Masih hening, ini gue nggak nikahin batu atau manekin, kan ya?
Chandra berjalan menghampiri Wenda yang—sok—sibuk dengan kegiatannya. Meraih pergelangan tangan Wenda.
"Ayo makan dulu. Belum makan, 'kan?"
Wenda menyingkirkan tangan Chandra, bangkit dari posisinya kemudian berjalan menuju ruang makan. Chandra menghela napas berat. Mereka duduk bersampingan di meja pantry. Menikmati makan malam dengan hening, hanya dentingan alat makan yang terdengar. Sampai makan malam selesai pun tidak ada obrolan di antara mereka.
-o0o-
Wenda duduk di sofa, menghadap layar besar. Menekan tombol-tombol yang ada di remote TV, entah acara apa sebenarnya yang ingin dia tonton.
Chandra duduk di sofa kosong di sebelah Wenda. Sedikit menyamping menghadap istrinya.
"Wen, udah dong marahnya. Kita baikan aja, yuk? Ini aku udah kayak nikah sama manekin, loh. Tersiksa nih aku dari tadi dicuekin mulu," ujar Chandra.
Wenda mendelik tajam saat dirinya disamakan dengan boneka kaku yang terpajang di toko pakaian, matanya melototi Chandra yang menyengir salah tingkah.
Ampun! Dipelototi doang, udah kayak ketemu malaikat pencabut nyawa.
Wenda bertambah sebal dengan ucapan Chandra, dia menaikkan volume TV hingga terdengar sangat nyaring agar suara Chandra tidak terdengar. Chandra merebut remote di tangan Wenda, menurunkan suara berisik itu hingga tidak ada suara sama sekali.
Chandra meraih tangan kiri Wenda, ibu jari Chandra bermain di atas punggung tangan Wenda, mengusap dengan lembut.
"Iya, aku minta maaf. Aku salah nggak cerita dari awal sama kamu."
"Bagus, kalo ngerasa," sahut Wenda tanpa memalingkan wajah. Melihat acara berita tanpa suara di layar televisi rasanya lebih penting.
"Tapi beneran, Wen. Aku berani sumpah aku nggak pernah merespon dia."
"Nggak merespon, tapi kopinya diembat juga."
"Ya, karena aku nggak enak, Wen. Niat dia baik. Ya, udah, iya. Aku emang salah. Sekarang kamu maunya aku gimana ke dia?"
Chandra mengubah posisi menjadi berjongkok di depan Wenda. Kedua tangannya menggenggam tangan Wenda. Mata Wenda masih fokus pada layar televisi.
"Kelamin seorang suami dipotong istri, karena ketahuan selingkuh!"
"Heh?" Chandra meringis mendengarnya.
"Itu, ada beritanya," tunjuk Wenda dengan dagunya pada televisi.
Sontak Chandra berbalik, memastikan pemberitaan itu, yang Chandra lihat hanya berita seputar mahasiswa dan masyarakat berdemo di gedung DPR.
Chandra tahu, Wenda sedang menyindirnya.
"Aku minta maaf, ya. Aku nggak akan ulangi lagi. Sekarang kamu mau gimana?"
"Nggak usah terima kopi dari dia lagi," ucap Wenda yang sudah mau menatap wajah Chandra.
"Iya, aku nggak bakal terima kopi dari dia lagi. Dari sebelum kejadian siang tadi juga aku udah ngomong sama dia untuk berenti ngasih kopi karena—pawang gue ngeri—aku udah ada pemiliknya. Dasar dia aja yang bebal."
"Nggak usah nyalahin orang! Nggak cuma dengan si kedelai hitam, sama semua cewek lain juga nggak usah ganjen."
"Aku nggak pernah ganjen ke cewek lain, Sayang. Lagian namanya Alika. Bukan Malika yang kayak di iklan kecap manis."
"Hapal banget namanya, pantesan dia bebal, dikasih harapan, sih."
Chandra menghela napas. "Demi Allah, Sayang. Aku berani sumpah, aku nggak pernah kasih harapan ke dia atau ke cewek-cewek lain. Toh, di kampus juga aku kebanyakan sama kamu."
Wenda menepis tangan Chandra, bangkit dari posisinya hendak ke kamar mereka. "Nggak usah nyebut sayang kalo kelakuan kamu masih kayak buaya."
Astaga, disamakan dengan buaya. Emang gue kayak fucek boy ya?
Langkah Chandra terayun mengikuti ke mana langkah Wenda. Dia bersandar di pintu kamar mandi, memperhatikan Wenda membasuh wajah dan menggosok gigi. Kemudian duduk di tepi tempat tidur masih memperhatikan Wenda mencari piamanya yang akan dia kenakan malam ini.
"Wen, mau ke mana?"
Wenda yang sudah bersiap masuk ke kamar mandi kembali dengan satu setel piama motif beruang cokelat di tangannya.
"Ganti baju lah, emang mau ngapain lagi."
Chandra bergerak melangkah ke depan pintu kamar mandi. "Kenapa nggak di sini aja? Malu? Ngapain mesti malu sih sama suami sendiri. Aku aja biasa aja ganti baju di depan kamu."
"Aku masih marah, ya!"
Chandra menyeringai. "Jadi, kalo nggak marah lagi boleh lihat kamu ganti baju?"
Wenda memutar bola mata, tangannya menoyor kening Chandra. "Kamu atur sendiri aja, terserah imajinasi kotor kamu mau gimana," bisik Wenda.
Chandra hanya terkekeh, Wenda sudah masuk kamar mandi dengan pintu menghasilkan dentuman keras.
Chandra duduk bersandar di kepala tempat tidur, menunggu Wenda keluar dari kamar mandi. Netranya teralih saat menangkap Wenda yang sudah berganti piama panjang, rambutnya sudah tergelung ke atas. Langkahnya tertuju ke meja rias, mengolesi krim-yang Chandra tentu tidak tahu-ke wajahnya. Sejurus kemudian Wenda melangkah ke tempat tidur.
Chandra merentangkan tangannya. Menepuk sisi kosong yang biasa Wenda tempati. "Sini ... sini ... kita bobo," ajaknya senang.
Namun, ekpektasi dijatuhkan seketika.
"Wen, mau ke mana bawa bantal?"
"Kamar tamu. Malesin banget tidur sama playboy cap gerobak, semua cewek bawaannya pengin diangkut semua."
"Sayang, di kamar tamu nggak ada selimut lho, mending di sini aja. Aku bisa peluk kamu."
Lain Wenda, lain juga istri tetangga. Jika para istri di luar sana kebanyakan akan mengusir sang suami untuk tidur di luar saat melakukan kesalahan. Sedangkan Wenda sungguh luar biasa unik. Dia yang akan pindah kamar.
Wenda memutari tempat tidur, mendorong tubuh Chandra menjauh. Mengambil selimut yang tertindih oleh tubuh Chandra. "Minggir!"
"Galak banget istri manekin," gumam Chandra.
"Ngomong apa kamu!"
"Eh, nggak kok! Aku cuma ngomong, istri aku gemesin banget jadi pengin aku pelukin."
Wenda mendekatkan wajahnya ke Chandra. "Kasian banget, ya. Udah tidur sendirian tanpa selimut, nggak ada yang bisa dipeluk pula," cibir Wenda yang sudah meninggalkan Chandra dengan wajah bodohnya.
Tanjung Enim, 25 Oktober 2020
Republish, 28 Februari 2021
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Selamat subuh. Maaf lupa update kemarin. 🤭
Pendatang baru boleh dong, absen sini. Nemu cerita ini dari mana?
181222
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top