19 // Kopi Asmara
Chandra memarkirkan mobilnya, meraih ponselnya yang disimpan di dashboard, bergegas ke luar dari mobil. Telapak sepatunya baru saja bersentuhan dengan conblock parkiran kampus gedung D.
Tangannya mendorong pintu mobil, menekan tombol kunci pada remote.
"Hai, Chan," sapa seorang gadis yang sudah berdiri tidak jauh dari Chandra.
Netra Chandra beralih pada tangan si gadis, kopi lagi?
"Kenapa?" tanya Chandra.
"Gue mau kasih lo ini," ucapnya.
Gadis itu mengangsurkan satu cup kopi dan sandwich. Mohon maaf nih sebelumnya, bukannya Chandra menolak rezeki. Hanya saja dia bingung motivasi apa yang mendorong gadis ini setiap hari memberinya kopi. Memangnya Chandra musafir yang kehausan di tengah teriknya padang rumput.
Iya, Chandra sadar diri kok, dia suka mengantuk apalagi saat mata kuliah pengantar ekonomi, matematika bisnis, akuntansi biaya, dan mata kuliah lainnya yang membutuhkan kerja otak untuk hitung menghitung. Jika saja bukan karena untuk meneruskan perusahaan papi, mana mau Chandra mengambil jurusan manajemen bisnis yang sangat memuakkan baginya.
"Lo mau gue cipirit di kampus?"
Chandra masih belum menyambut pemberian gadis itu, dia biarkan saja tangan si gadis menggantung di udara.
Gadis itu mengernyitkan dahi. "Hah?Maksudnya, Chan?"
"Justru gue yang nanya! Maksud lo ngasih gue kopi tiap hari apa? Atau lo mau gue kena maag?"
"Gue cuma mau kasih semangat aja."
Chandra berdecak, semangat katanya? Memangnya Chandra lagi tanding basket antar sekolah? Yang butuh tim cheerleader bersorak heboh sebagai penyemangat, demi mengharumkan nama sekolah dengan membawa pulang sepotong piala.
Chandra meneliti gadis di depannya dari atas hingga ujung sepatunya. "Kalo nggak salah, kita pernah satu sekolah, 'kan? SD, SMP?"
"Kita pernah satu SMP."
"Nama lo?"
"Alika."
Chandra meraih kopi dari tangan Alika. "Lo pasti tahu Wenda, 'kan?"
Alika mengangguk. "Iya, gue tahu dengan Wenda, sahabat lo dari SD, 'kan?"
Oh, jadi dia cuma tahu sampai sahabat dari SD. Nggak tahu cerita gue sama Wenda yang sekarang.
"Gue terima ini, tapi tolong ini untuk terakhir kalinya. Pawang gue ngeri, kalo ngamuk bisa-bisa kekuatan pengendali api, tanah, udara, dan air diborongnya semua. Gue takut lo nggak selamat."
Gadis itu bergeming, masih belum bisa mencerna dengan baik ucapan Chandra. Langkah Chandra terayun melewati Alika, sesaat dia berhenti dan membalik tubuhnya.
"Alika," panggil Chandra.
Alika menoleh saat namanya dipanggil, senyumnya terpatri. "Ya, Chan?"
"Thanks, ya." Chandra mengangkat kopi dan sandwich di tangannya.
Chandra terus melangkah, menenteng cup kopi dan sandwich pemberian Alika, baru saja kakinya sampai di ambang pintu kelas, suara bisikan terkutuk mengganggu telinganya.
"Wuidih, yang dibekali sama bini," ucap Jaffran yang sudah menghadang langkah Chandra.
"Bukan dari Wenda."
"Terus dari siapa?" Jaffran menatap Chandra jahil, "dari selingkuhan lo, ya?" lanjutnya.
"Mulut si anjing, ya, kalo ngomong nggak pake filter," sungut Chandra dengan kaki menendang bokong Jaffran.
Chandra masuk ke dalam kelas diikuti Jaffran, mereka duduk di bangku kosong bagian belakang, mustahil rasanya dua manusia paling malas sejagat raya itu akan duduk di barisan depan. Chandra menyimpan apa yang sedari tadi dia bawa di atas meja, tanpa berniat untuk menyentuhnya lebih.
"Jaf, cewek lo mau pergi nyari bahan tugas sama Wenda?"
"Emang kenapa kalo Wenda jalan sama cewek gue? Lo pikir cewek gue bakal ngapa-ngapain bini lo?"
Chandra berdecak. "Justru dia cewek lo gue khawatir sama Wenda. Coba kalo Joy cewek abang lo yang lulusan pesantren itu. Gue pasti percaya Wenda aman."
"Anjir! Bawa-bawa abang gue. Ya, kali, abang gue mau pacaran, yang ada Joy udah diajak taaruf."
Jaffran terpingkal-pingkal, membayangkan kakaknya yang religius berpacaran, yang katanya lebih banyak menumpuk dosa ketimbang pahala.
"Chan, kurang-kurangi bucin lo, gue kasian sama bokap lo. Udah anak cuma satu, mendadak tolol pula karena jadi budak cinta."
"Sialan, ini anak setan nggak punya kaca atau gimana, sih. Kayak lo nggak aja."
"Gue nggak bucin, Chan. Ya, emang kalo di depan Joy gue suka menye-menye, tapi adakalanya gue tegas, nggak semua permintaan Joy gue turuti. Lah, lo? Jangan-jangan ini kalo Wenda minta candi dalam satu malam, lo jabani juga."
"Wenda itu dari kecil udah dimanja, apa-apa dituruti sama abang-abangnya, Jaf. Masa gue nggak nuruti."
"Ya, kalo semuanya lo turuti bakal nggak baik untuk rumah tangga kalian ke depan, Bro. Lagian Wenda yang gue lihat nggak semanja itu, kok."
"Sok iye, ya, ini makhluk sebatang ngomongnya," protes Chandra yang melihat teman di sampingnya berubah jadi ustaz.
"Sebatang? Emang gue flora?"
"Iye! Tumbuhan dikotil, berbiji dua."
"Anjay! Biji gue dua. Ya, tapi ... benar, sih."
-o0o-
Lima belas menit berlalu, Jaffran menguap, membuka mulutnya lebar, sudut matanya berair. Sesekali matanya berkedip.
"Ngantuk, Pak ustaz? Nih, kopi." Chandra mengangsurkan kopi pemberian Alika ke meja Jaffran.
"Iya, Bro. Ngantuk parah gue. Kemarin abang gue pulang dari pondok, seperti biasa gue diceramahi sampe jam sebelas malam. Untung nggak dirukiahnya gue." Jaffran menusukkan pipet pada permukaan cup, menyeruput dengan nikmat kopi—gratis.
"Cuma sampe jam sebelas, biasanya juga lo tidur lebih dari itu," sahut Chandra yang tanpa memalingkan wajah dari layar ponsel.
"Apaan! Jam tiga subuh pintu kamar gue digedor. Gue bangun dong, spontan nyandang tas aja tuh, gue kira kesiangan mau ke kampus. Ternyata dia ngajakin salat tahajud, anjir!"
Chandra mendongak, tergelak mendengar cerita atau lebih tepatnya penderitaan Jaffran, gantian tangan Chandra memukul meja di depannya.
"Chan, emang ini kopi dari siapa, sih?" Jaffran penasaran, pasalnya Chandra bilang ini bukan dari Wenda. Terus, beli sendiri? Kalau beli sendiri kenapa tidak diminum? Malah dibiarkan begitu saja.
"Lo tahu Alika, anak kelas sebelah? Itu dari dia, akhir-akhir ini dia sering ngasih gue kopi."
"Wenda tahu?" Jaffran kembali menyeruput minuman itu.
"Oh, tentu tidak! Bisa mati gue dibunuhnya, tapi tadi gue udah bilang ke tuh cewek, berenti ngasih gue kopi. Gue ngeri dia nelan pil pahit kalo Wenda tahu."
"Ada hubungan apa lo sama tu cewek?" Jaffran memicingkan matanya curiga.
"Nggak ada hubungan apa-apa. Dia pernah satu SMP sama gue dan Wenda. Sewaktu SMP juga dia suka beliin gue jajanan gitu," ucap Chandra sembari menyandarkan bahunya pada kursi. Tangannya terlipat di depan dada.
"Wah ... kopi asmara, nih."
Jaffran berdiri dari duduknya, mengangkat minuman itu tinggi-tinggi, tubuhnya berputar menggoyangkan pinggulnya.
"Kopi asmara yang dahulu pernah membara ...."
"Yihaa ... serasa hangat bagai ciuman yang pertama," sahut mahasiswa lainnya. "Detak jantungku seakan ikut irama, oleh terlena ... oleh pesona, alunan kopi dangdut."
Seketika kelas gaduh, menyanyikan sebuah lagu dangdut lama yang kembali viral. Ada yang bergendang di atas meja, ada yang ikut bernyanyi. Sementara Jaffran berkeliling di dalam kelas sembari bergoyang.
-o0o-
Riuh gaduh memang sudah berhenti sejak lima menit yang lalu. Namun, mereka masih belum memulai kuliah.
"Ini dosen ke mana, sih. Katanya masuk jam sembilan, tapi ini satu jam lewat. Belum kelihatan juga tuh dosen. Niat ngajar nggak, sih, kalo nggak niat, biar gue bisa pulang. Rebahan." Jaffran menggerutu.
"Udah lo joget aja lagi," sahut Chandra.
Jaffran menyeringai, dia berdiri hendak memulai aksinya kembali. Jaffran mengajak mahasiswa yang tadi ikut andil menyulap kelas layaknya acara dangdutan di salah satu stasiun TV ikan terbang.
"Kopi asmara yang dahulu pernah memba—"
"MUHAMMAD JAFFRAN ALFATIH, NOMOR ABSEN 23! DUDUK SEKARANG!" teriak seorang pria sudah berdiri di depan kelas. "Sudah punya otak pas-pasan bertingkah pula kau. Mau jadi apa kau!"
Jaffran seketika tergugu saat seorang pria berperawakan sedikit gempal, dengan kacamata membingkai wajahnya, dan jangan lupakan logat bicara khas bahasanya—batak—menyebutkan namanya dengan lantang.
"Kambing! Ini colosal squid kok masuk, sih!" cicit Jaffran menundukkan wajahnya. Jelas sang dosen tidak mendengar, tapi Chandra yang duduk di sampingnya mendengarnya.
Kepala Jaffran dikeplak Chandra dari belakang. "Nggak sopan! Dosen dikatai cumi-cumi. Heran gue, nama lo religius banget, tapi kelakuan udah kayak bapaknya dajjal."
Jaffran mengulum senyum, menahan kekehan sekaligus sakit di belakang kepalanya karena pukulan Chandra.
Tanjung Enim, 18 Oktober 2020
Republish, 27 Feb 2021
Di tempatku hari ini bagi raport. Di tempat kalian udah belom?
Selamat hari Jumat berkah semuanya 🥳
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top