18 // Morning ... kiss
Di bawah selimut tebal itu, sepasang pasutri masih berbagi kenyamanan satu sama lain. Wenda menggeliat, tidurnya terganggu karena merasa ada sesuatu yang salah di perutnya. Dia berbalik, hal pertama yang ditangkap netranya adalah leher dan jakun milik Chandra. Tangannya menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, kepalanya masuk ke dalam selimut. Dia memastikan sesuatu di bawah, baik dirinya maupun milik Chandra.
Gue masih pakai piama, lengkap. Chandra juga. Berarti nggak terjadi apa-apa.
Wenda kembali berbalik membelakangi Chandra, kakinya sudah menggantung di tepi ranjang, sedikit lagi menyentuh dinginnya lantai keramik. Tangan panjang Chandra dengan cepat melingkar di pinggang Wenda, menariknya kembali ke dalam pelukan.
"Chan, lepasin!" seru Wenda. Tubuhnya berontak ingin melepaskan diri.
"Temeni aku lima menit lagi."
"Chan!"
Chandra tetap tidak menghiraukan seruan Wenda. Kaki Wenda menendang udara, tangannya mendorong dada Chandra, tapi tetap saja kungkungan Chandra lebih kuat dari tenaganya.
"Morning kiss dulu, baru aku lepasin."
"Nggak!"
"Ya udah tetap kayak gini, lima menit aja." Chandra mengeratkan pelukannya.
"Chandra," rengek Wenda, "lepasin, aku pengin ... pup."
Chandra sontak membuka matanya lebar-lebar, tanpa drama, Chandra melepaskan pelukannya. Wenda sudah berlari kecil menuju kamar mandi, hingga selesai.
Chandra masih tidur dengan posisi terlentang, tubuhnya ditutupi selimut, tangannya bertautan di atas perut. Wenda kembali naik ke atas tempat tidur. Diraihnya tangan Chandra untuk dijadikan bantal. Kakinya melintang di atas tubuh Chandra.
"Chan, aku mau sarapan nasi goreng," ucap Wenda dengan sedikit menggeser tubuhnya merapat ke Chandra.
Masih dengan mata terpejam Chandra menyahuti ucapan Wenda. "Mau dimasakin?"
"Nggak. Aku masak sendiri."
"Yang bener masaknya."
Wenda bangkit dari posisinya, merangkak ke atas tubuh Chandra yang masih terlentang. Sesaat Chandra meringis, menahan bobot tubuh Wenda di atasnya.
Ini yang katanya nggak berat. Yang katanya cuma 40 kilogram. Nggak yakin gue. Allahu Akbar! Serasa berkurang jatah gue hidup.
"Emang kenapa?" Wenda tengkurap di atas tubuh Chandra.
"Minggu kemarin, kamu masak nasi goreng nggak ada rasa, cuma terasa bawang doang," ucap Chandra dengan tangannya bergerak melingkar di pinggang dan punggung Wenda, menahan tubuh Wenda agar tidak terguling.
"Dua hari lalu, kamu masak nasi goreng keasinan, mana sosisnya gosong lagi."
Wenda berguling turun dari posisinya, bergegas menuruni tempat tidur.
"Mau ke mana?"
"Mau masak lah, emang mau ngapain lagi," protes Wenda.
"Ya, kali aja mau kasih morning kiss dulu, sini."
Wenda berbalik mendekat ke wajah Chandra. "In your dream!" Tangannya menarik selimut hingga menutupi wajah Chandra.
***
Wenda masih sibuk mengayunkan spatula, mengaduk nasi goreng sosis buatannya. Menaburkan sedikit penyedap rasa. "Oke, cukup. Daripada keasinan. Ntar gue dikira mau kawin lagi, kasihan anaknya Bapak Siswanto jadi duda," celetuk Wenda.
Wenda bergeser ke kompor sebelahnya, meraih dua butir telur. Nasi goreng tanpa telur mata sapi rasanya kurang spesial. Nasi goreng buatan Wenda sudah matang, tinggal ditaruh di piring. Wenda menatap takjub hasilnya, tanpa dia sadari Chandra sudah berdiri di sampingnya, menatap bangga kerja keras Wenda.
"Wen," panggil Chandra yang sedikit membungkuk.
"CHANDRA!"
"Yes, akhirnya dapat morning kiss."
"Morning kiss ... morning kiss aja terus. Nggak usah sarapan!"
Wenda kesal. Pasalnya, saat Chandra memanggil namanya, posisi wajah Chandra sudah di depan wajahnya, mau tak mau saat menoleh, bibir mereka bertemu.
Wenda menyendok nasi goreng membawanya ke dalam mulut, dahi Wenda berkerut. Chandra yang duduk pada kursi sebelahnya ikut mengernyit.
"Kok, rasanya begini, ya?"
"Begini, gimana?" tanya Chandra yang penasaran dengan rasa nasi goreng yang Wenda buat kali ini.
Tangan Wenda menyendok satu sendok nasi goreng, menyuapi Chandra. Indera pengecap Chandra meresapi nasi goreng yang bergerak teratur dalam kunyahan.
"Kurang asin, Wen!"
"Terus, kasih garam lagi?"
"Nggak usah." Chandra meraih botol kecap asin di tengah meja makan. "Life hack check!" ucapnya bangga, membubuhkan sedikit kecap asin pada piring nasi gorengnya, mengaduk rata, menyuapkan pada Wenda. "Gimana?"
"Hmm ... pas rasanya, Chan." Mata Wenda berbinar.
Mereka menikmati sarapan nasi goreng buatan Wenda hingga tandas, di piring yang sama, dari sendok yang sama, dengan saling menyuapi satu sama lain.
"Wen, hari ini kamu nggak ada jadwal ngampus, 'kan? Beneran kamu nggak mau ke butik mami aja? Sendirian kamu di rumah. Aku pulangnya sore lho?" tanya Chandra memastikan.
"Aku mau jalan sama Joy, mau nyari bahan buat tugas," balas Wenda.
"Bahan tugas apa yang lain?"
Wenda mengangkat tangan kirinya, jemarinya terentang. Telunjuk kanannya menunjukkan benda bulat yang melingkar di jari manisnya. "Gimana mau nyari yang lain. Selama benda ini ada di sini. Nggak usah nuduh yang aneh-aneh."
"Kamu mikirnya sampe mana, Wen? Ya, maksud aku bisa aja kalian ngomong nyari bahan tugas ternyata belanja nggak jelas."
"Tahu, akh!" Wenda kembali membelakangi Chandra, melanjutkan pekerjaannya membersihkan piring kotor yang mereka gunakan sarapan tadi.
"Kalian para cowok tuh, ya. Bisanya curigaan mulu, biasanya nih justru itu tingkah kalian sendiri," lanjut Wenda menggerutu.
Chandra terkekeh mendengarnya, kakinya maju beberapa langkah. Mencium belakang kepala Wenda. "Aku mandi dulu, jam sembilan ada kelas. Udah dari kampus langsung ke pabrik."
Chandra sudah bersiap, duduk di depan rak sepatu. Sibuk mengikat tali sepatunya menjadi simpulan yang erat. Dia sudah siap ke kampus, Wenda berdiri di sampingnya mendengar dengan seksama rentetan panjang pesan Chandra.
Chandra berdiri saat selesai dengan urusan sepatu, telapak tangannya menepuk bagian bokongnya, menyingkirkan debu yang mungkin melekat pada jeans-nya.
"Give me a hug," ucapnya merentangkan kedua lengan.
"Kamu itu mau ngampus, terus kerja. Bukan dikirim ke medan perang. Heran, dari tadi banyak banget dramanya."
"Ya, biar semangat, Wen. Aku mau nuntut ilmu sekaligus nyari nafkah buat kita."
Chandra masih merentangkan tangannya, menggoyangkan lengannya. "Wen, pegel ini, masa nggak disambut-sambut."
Wenda berdecih, langkahnya mendekat masuk ke dalam pelukan Chandra. Tanpa instruksi lebih, pelukan sudah Chandra eratkan, tangannya mengusap belakang kepala Wenda.
"Hati-hati nanti perginya, kalo ada apa-apa kabarin aku." Wenda hanya mengangguk di dada Chandra.
Pelukan sudah renggang, tapi tangan Chandra masih berada di pinggang dan punggung Wenda. "Kiss," pintanya tanpa menyerah.
Sebelah kaki Wenda diangkat, melepas satu sandal rumah yang dia kenakan. "Buruan pergi, sebelum ini melayang. Ini udah jam 8 lewat, Chan. Nanti telat!"
Gelak tawa Chandra terdengar. Sesaat wajahnya meringis melihat Wenda yang sudah bersiap melemparkan sandalnya. "Iya. Iya. Aku pergi dulu, ya."
-o0o-
Wenda melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang istri. Merapikan kembali tempat tidur mereka, membersihkan kamar serta membawa pakaian kotor untuk dicuci. Sungguh menghayati peran sekali Ibu Wenda ini, ya.
"Ini pasti alasan kenapa bunda cuma mau punya dua anak," gumam Wenda sembari memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci.
Tangannya menekan tombol-tombol pada mesin, Wenda masih bermonolog sendiri. "Masih berdua aja, gue udah pengin ngibarin bendera putih selebar-lebarnya. Gimana nanti kalo udah punya anak, otomatis pekerjaan rumah bertambah."
Anak? Wenda sejenak berpikir dengan ucapannya tentang anak. Pikirannya menerawang pada obrolannya kemarin malam.
"Chan, tadi sore aku main sama Clarissa, dia lucu banget. Aku jadi gemes. Coba aku punya adik kayak dia. Pasti seneng banget aku."
"Kalo mau punya adik, berarti harus minta dibikinin ayah sama bunda. Kita aja yuk, bikin, yang kayak Clarissa."
Wenda menelengkan kepalanya, tangannya menoyor kepala Chandra. "Kalo ngomong suka nggak ada akhlak."
Wenda yang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur, terkesiap saat kakinya ditarik Chandra. Posisinya sudah terlentang, Chandra mendekatkan wajahnya. Menyingkirkan anak rambut di dahi Wenda. Mengikis jarak yang semakin tipis, bibirnya bertemu dengan bibir Wenda. "Manis," katanya.
Chandra semakin memperdalam ciuman, mencecap setiap sudut bibir Wenda yang katanya terasa manis. Tangan Wenda refleks melingkar di leher Chandra. Tangan Chandra sudah menelusup ke balik piama Wenda, meraba kulit perut Wenda.
Suara penyanyi idola Wenda terdengar nyaring dari ponselnya, menggiring Wenda untuk kembali pada kesadarannya. Itu mungkin telepon dari Joy.
Wenda menggelengkan kepalanya berulang. Mengenyahkan sisa kejadian kemarin malam. "Astaga, Wen. Lo mikirin apa, sih!" Wenda memperingati diri sendiri.
Tanjung Enim, OCT. 11, 2020
Republish, Feb. 26, 2021
Halloooww... Aku kebangun tiba-tiba pengen update pengen suami kayak Chandra juga, sih. 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top