17 // Temannya Pintu.
Wenda sibuk membereskan buku-bukunya, jam kuliahnya sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Sebagian mahasiswa di kelasnya sudah beranjak meninggalkan ruangan. Ponselnya yang dia letakkan di atas tumpukan buku bergetar, ada nama Chandra tertampil di sana.
Chan-chan:
Wen, aku tunggu di parkiran.
Pesan singkat yang Chandra kirimkan. Tanpa menjawab pesan Chandra, Wenda bergegas memasukkan semua buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas.
"Wen, nongki-nongki, yuk," ajak Joy yang duduk pada kursi di sebelah Wenda.
"Jaffran ke mana? Tumbenan ngajak gue nongkrong. Biasanya lengket terus kayak prangko di kasih air ludah. Nempelnya paten!"
"Jaffran nggak kuliah, lagi ada urusan katanya, gabut nih gue, Wen."
"Gue nggak bisa. Chandra mau ke kantor bokapnya," ujar Wenda yang sudah berjalan ke luar kelas, Joy menyamakan langkah kaki Wenda.
"Chandra udah mulai kerja, Wen?"
"Iya, kita kan pasangan aktif, gue juga kerja part time di butik mami."
"Termasuk di ranjang juga aktif ya, Wen?"
Wenda menelan ludahnya susah payah. Gila ini cewek! Ngomongi urusan ranjang di tengah umum gini. Wajah Wenda bersemu dengan pipi menghangat.
"Enak, ya, jadi laki lo."
"Enaknya gimana?"
"Ya, enak udah kerja aja. Di perusahaan bokap sendiri, langsung ada jabatan."
Wenda tergelak tidak dapat menahan tawa, langkahnya berhenti sejenak. "Joy ... Joy ... gue kasih tahu ya, cuma ada di cerita wattpad, anak baru tamat SMA bisa jadi Dirut, jadi CEO. This is the real world, Dear."
"Terus, Chandra kerja sebagai apa?"
"Ya, sama kayak karyawan di pabrik papi yang tamatan SMA, cuma bedanya kalo Chandra kerja setelah dia pulang kuliah atau lagi nggak ada jadwal kuliah, selebihnya sama aja."
"Emang bakal cukup, Wen? Kerja di pabrik gajinya seberapa sih, belum kebutuhan kalian, belum biaya kuliah," tanya Joy.
"Ya, dicukup-cukupi. Harus pinter ngaturnya. Biaya kuliah urusan papi."
"Wah, gila! Omongan lo udah kayak nyokap gue, Wen. Dewasa banget lo. Gue pengin nikah muda juga, akh. Jaffran mau nggak ya."
Wenda menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan ucapan Joy barusan. Joy kembali bertanya, "Tapi by the way, kenapa semuanya nggak di tanggung mertua lo. Kenapa cuma biaya kuliah? Gue rasa mertua lo nggak akan bangkrut nanggung idup lo berdua, jadi Chandra nggak perlu kerja paruh waktu gini, nanti kerja setelah lulus kuliah."
Wenda menoleh ke wajah Joy. "Sekarang gue tanya lo, emang lo mau nikah muda sama Jaffran yang belum kerja. Terus biaya idup kalian ngerepotin orang tua lo atau orang tua Jaffran?"
"Ya, nggak lah! Gila aja, udah dapet gue, bonus idup ditanggung orang tua gue, tapi ... kalo ditanggung orang tua Jaffran, pasti Jaffran nggak mau. Orang jajan pake duit gue aja dia nggak mau."
"Nah, itu otak lo bisa encer."
"Sialan! Lo pikir otak gue selama ini bongkahan batu meteor. Keras, nggak bisa mikir."
Wenda tergelak, sayang sekali rasanya tidak menertawakan Joy, sampai tidak terasa sudah berada di tempat Joy memarkirkan mobilnya, kemudian mereka berpisah.
Wenda bergegas, pandangannya mengitari parkiran mencari keberadaan Chandra. Beberapa mahasiswi lewat di hadapan Wenda, obrolan mereka membuat Wenda geli.
"Dia ganteng banget, sumpah!" ucap salah satu mahasiswi itu.
"Asli. Lo cuma berdiri doang di depan dia. Udah keliatan aura-aura kecocokan," timpal satunya lagi.
Gue kalo belum nikah gitu juga kali, ya. Haha hihi ngobrolin cowok.
Wenda melangkahkan kakinya, tidak terdengar lagi obrolan mahasiswi itu. Kembali netranya menyapu sekitar. Mata Wenda menemukan sosok laki-laki mengenakan baju berwarna cokelat susu dan topi senada. Persis seperti yang Wenda lihat pagi tadi.
Ah, ketemu! Itu dia.
Chandra berdiri di sana, tangan satunya memegang tali tas, wajahnya menunduk fokus memainkan ponselnya.
"Chan!" teriak Wenda dari kejauhan. Chandra masih bergeming. Panggilan Wenda tidak terdengar oleh telinga caplang Chandra.
Wenda sedikit mendekat. "Raffa Chandra Dirganis!" ulang Wenda dengan memanggil nama lengkap Chandra, untung tidak beserta bin disebutnya.
Chandra mendongak, dia terkekeh sebelum akhirnya membalas panggilan Wenda dan tak kalah berteriak juga. "Iya, kenapa Navera Four Wenda!"
-o0o-
Mereka sudah berada di dalam mobil, Chandra mengangsurkan satu cup minuman ke Wenda. "Buat kamu," ucapnya.
"Dapet dari mana?" tanya Wenda sembari menancapkan sedotan pada permukaan cup.
"Ya, beli, Wen. Masa minta."
"Ya, maksud gue. Gimana cara lo belinya. Ini kan nggak ada dijual di kampus."
Wenda menyeruput minuman kopi itu. Benar! Brand yang berasal dari Amerika, dengan logo seorang wanita bermahkota bintang di atas kepalanya itu, tidak ada di kantin kampus mereka.
"Tadi aku nitip sama Jaffran," jawab Chandra sekenanya.
"Bukannya Jaffran nggak ngampus, ya? Tadi Joy bilang Jaffran lagi ada urusan."
Chandra berdeham. "Tadi dia mampir bentar ke sini. Makanya sekalian aku titip buat kamu." Chandra menoleh, "Gimana enak nggak?"
Wenda mengangguk antusias. "Hmm ... enak."
"Mau dong." Chandra meminta minuman yang masih Wenda genggam. Tangan Wenda mengangsurkan ke arah Chandra. Bukannya mengarah ke minuman, Chandra justru membawa bibirnya ke bibir Wenda.
"Nggak usah cari kesempatan lo!"
Aksi Chandra tidak terlaksana dengan baik. Tangan Wenda sudah mendorong bibirnya menjauh.
"Sedikit aja sih, Wen."
"Nggak! Udah buruan nyalain mobilnya, udah gerah ini."
"Iya. Iya. Kanjeng Ratu."
Mobil Chandra sudah keluar dari area parkir, bahkan area kampus, membelah jalanan dengan santainya.
"Chan, tadi Kak Dhika kirim chat, katanya dia udah dibeliin mobil sama ayah. Ya, walaupun yang bayar cicilan dia juga. Ayah cuma bayar DP doang."
"Terus?"
"Katanya mobil gue nggak dipakai lagi. Hmm ... gue mau belajar nyetir boleh?"
"Boleh, tapi ada syaratnya."
"Harus ada SIM? Bukannya itu didapat kalo udah bisa nyetir?"
"Bukan syarat itu. Syarat dari aku," ujar Chandra melirik Wenda sekilas kemudian kembali fokus pada jalanan.
"Apa?"
"Coba sebut 'aku kamu'." Chandra tersenyum. "Chan, aku mau belajar nyetir, boleh nggak?"
Chandra menggeleng. "Ah, gini aja lebih bagus. Chandra menyeringai. "Sayang, aku mau belajar nyetir, boleh nggak?" Chandra memberi contoh.
Tidak tahan, Wenda menertawakan ucapan Chandra. Tangannya memegang perutnya.
"Mau dapat izin nggak dari suami?"
"Mau, tapi jangan pake sayang-sayang segala. Geli gue."
"Aku!" Chandra mengoreksi ucapan Wenda.
Chandra mengingatkan Wenda lagi tentang mengubah panggilan sapaan mereka. Lidah Wenda serasa kelu menyebut kata itu.
"Chan, a-aku mau belajar nyetir, boleh nggak?"
Chandra menarik garis senyum, tangan kirinya terulur mengusap puncak kepala Wenda. "Iya, boleh kok, Sayang."
"Ish! Apaan sih."
Mobil Chandra sudah berhenti di depan butik mami, Chandra melepaskan seat belt yang melingkar di tubuh Wenda.
"Baik-baik, ya. Aku mau kerja dulu. Nanti pulangnya aku jemput."
"Hmm ...." Wenda menyahuti hanya dengan dengungan. Bersiap membuka pintu mobil. Wenda tersentak, tangan kanannya ditarik, Chandra mendaratkan satu kecupan di pipi Wenda.
Refleks, tangan Wenda menoyor kepala Chandra. "Kebiasaan!"
Chandra hanya terkekeh, Wenda bergegas ke luar mobil. Melangkahkan kaki menuju pintu kaca besar butik mami. Kaki Wenda dibawanya menaiki anak tangga ke lantai dua.
"Mbak, Wenda. Udah pulang kuliah?" sapa karyawan mami saat Wenda melewati ruangannya.
"Iya, Kak." Wenda masuk ke ruangan itu. Ini karyawan terlama mami, sejak masih gadis hingga sudah punya anak dua masih setia di butik mami.
"Mbak Wenda, nggak langsung ke ruangan mami?"
"Tadi ke sana, tapi ada tamu kayaknya, Kak."
"Oh, iya. Aku lupa! Itu pelanggan VIP sini, Mbak."
Tidak lama, pintu ruangan diketuk. Mami dan dua orang perempuan berada di belakangnya.
Dia ... Shanshan? Yang diceritakan Joy waktu itu, kan?
"Tia, yuk temeni Shanshan sama maminya, lihat-lihat koleksi kita." Suara mami memberi titah.
"Baik, Bu." Tia beranjak dari kursinya meninggalkan Wenda.
Wenda bertopang dagu, jari tangannya yang bebas mengetuk-ngetuk pelan meja kayu dihadapannya. Bosan juga sendirian di sini.
"Eh, ada si Mbak cantik." Belum juga beranjak meninggalkan ruangan Tia. Wenda sudah dicegat Mang Udin. Cleaning servis di sini.
"Hai, Mbak windaw."
"Wenda, Mang. W-e-n-d-a. Wenda!"
"Ya, itulah namanya, Mbak."
Wenda menarik napas, mengembuskan pelan. "Windaw! Berasa jadi temennya pintu gue," ucap Wenda asal.
"Itu window, Mbak. W-i-n-d-o-w. Jendela." Mang Udin menirukan cara Wenda mengeja namanya tadi.
"Nah, itu tahu wahai Mang Udin, kembarannya Sharuk Khan."
Mendengar dirinya disamakan dengan sang idola, Mang Udin meniup kedua telapak tangannya, mengusap rambutnya.
Itu rambut apa panci tirisan gorengan, sih. Berminyak banget.
Tanjung Enim, 08 okt 2020
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top