15 // Tetangga Baru
Mobil Chandra berjalan pelan di carport rumah mereka, terhitung hari ini, mereka berdua akan menjalani kehidupan berumah tangga seperti pom bensin saat mengisi kendaraan. 'Dimulai dari nol, ya'. Memulai segala sesuatunya dari awal dan hanya berdua saja.
"Chan, ada Clarissa!" seru Wenda saat matanya menangkap balita cantik itu sedang bermain dengan riangnya. Wenda menurunkan kaca jendela mobil.
"Clarissa ...."
Wenda bergegas turun dari mobil, menghampiri bocah gembil itu. Sang balita tersenyum manis saat melihat kehadiran Wenda. "Halo, Momo," sapa Clarissa sembari menampilkan deretan gigi susunya.
"Hai." Wenda menyapa balik dan berjongkok di depan Clarissa. "Cantik banget pake baju Elsa." Wenda memuji penampilan balita itu.
"Maacih, Momo," jawab Clarissa dengan kurang sempurna dalam pengucapan kata 'terima kasih'.
"Maaf ...." Suara itu terjeda, Wenda mendongak menatap wanita yang berdiri tidak jauh di belakang Clarissa.
Wenda berdiri, mengulurkan tangan kanannya. "Kenalkan, aku Wenda, yang tinggal di sebelah," sapa Wenda pada wanita dengan paras cantik dan kulit seputih susu.
Wanita itu menerima uluran tangan Wenda. "Aku Nizrina, kamu bisa panggil Kak Ina." Dia tersenyum, teduh sekali.
Wenda mengangguk. "Kak Ina ...."
"Aku mamanya Clarissa," jelas Ina seolah mengerti ucapan Wenda yang terjeda.
"Oh, mamanya."
"Itu kakak kamu?" tunjuk Ina pada Chandra yang masih sibuk menurunkan beberapa koper barang mereka dari mobil.
Wenda mengikuti arah tunjuk Ina. Wenda tergelak tidak bisa menahan tawanya saat mengerti yang di maksud Ina. "Itu suami aku, Kak." Wenda menjelaskan kemudian memutar tubuhnya ke arah Chandra.
"Chan, sini," panggil Wenda, tangannya bergerak menggapai udara. Isyarat agar Chandra mendekat.
Chandra melangkahkan kakinya mendekati Wenda dan Ina. Senyum tipisnya terlukis. "Chan, kenalin ini Kak Ina," ucap Wenda.
"Aku Chandra, Kak." Perkenalan yang singkat dari Chandra.
Ina membuka bibirnya ingin kembali berucap, "Maaf, ya. Kakak pikir tadi Wenda adik ipar kamu, ternyata suami istri. Malah tadinya kakak pikir Wenda masih SMP paling tinggi SMA lah."
Wenda tertawa renyah. "Wenda masih pantes pake seragam putih biru dong, Kak?"
"Kita nikah muda, Kak. Kita juga baru lulus SMA," sahut Chandra.
"Mama, poop, Mama. Caca mau poop," ucap Clarissa menginterupsi obrolan mereka, lucu sekali, wajah balita itu memerah menahan sesuatu yang ingin keluar, tangan mungilnya memegang perutnya.
"Kalian silakan lanjutin, maaf ya kakak tinggal duluan, soalnya Clarissa kalo poop mau di toilet nggak mau di diaper."
"Iya, Kak. Lain kali kita sambung lagi, kami masuk dulu ya, Kak," pamit Wenda.
-o0o-
"Wah, udah diisi perabotan, Chan. Kemarin kita ke sini belum ada ini," tunjuk Wenda pada beberapa perabotan yang ada di dalam rumah tersebut.
"Iya, mami yang ngatur semua." Chandra menarik lengan Wenda menuju sebuah ruangan yang dia sebut 'ruang pribadinya'.
Mata Wenda menyapu ruangan memperhatikan. Seingatnya ini adalah kamar yang dia lihat dengan foto pernikahan mami dan papi menggantung di dinding. Namun, sekarang sudah disulap menjadi sangat berbeda.
Pada ruangan luas ini, Chandra membagi menjadi tiga bagian. Bagian kanan terdapat banyak alat musik, bagian kiri seperangkat komputer gaming, dan di pojok ruangan ada satu meja dengan laptop yang tertutup.
Ruang kerja, tempat main game, tempat main musik, dicampur jadi satu. Udah kayak es campur dawet.
"Gimana? Keren nggak?" tanya Chandra yang bersandar pada pintu kamar.
"Ini mami juga yang ngatur?"
"Gue sendiri dong," jawab Chandra bangga.
"Kapan? Kok nggak ngajak gue," rengek Wenda.
"Kalo ajak lo, gue malah nggak bisa konsen. Yang ada malah habis energi karena debat."
"Ishh! Nyebelin." Wenda menghentakkan kakinya ke lantai. "Gue mau ke kamar, beresin baju-baju," lanjutnya.
Chandra mengangguk. "Iya, gue di sini ya. Beresin di sini."
Baru juga lima menit Wenda sibuk menyusun semua baju-baju mereka untuk dipindahkan ke dalam lemari, rungunya menangkap suara bel ditekan berulang kali.
"Chan! Ada yang mencet bel," teriak Wenda dari kamar mereka yang bersebelahan dengan ruang pribadi Chandra.
"Lo aja yang buka, Wen. Gue masih ribet ini," sahut Chandra yang tidak kalah dengan nada tinggi yang sama.
Wenda menghela napas jengah, berjalan keluar kamar menuju pintu utama, belum satu hari pindahan sudah ada yang bertamu. Wenda membuka pintu melihat siapa tamu perdana mereka.
"Eh, Kak Ina. Masuk yuk, Kak."
Ina tersenyum. "Maaf ya ganggu. Kakak cuma mau kasih ini," ucap Ina menyodorkan satu stoples kukis.
"Wah, repot-repot. Makasih ya, Kak."
"Iya, sama-sama. Kakak permisi ya."
"Nggak masuk dulu, Kak?" tawar Wenda lagi.
"Udah, nggak usah. Clarissa tadi tidur. Takut bangun, nanti nangis nyariin."
"Oh, gitu. Makasih ya, Kak."
Wenda masuk kembali, menyimpan cookies pemberian Ina pada meja pantry. Dia melirik stoples, kayaknya enak. Wenda yang sangat menyukai kue kering itu tanpa berpikir lagi langsung membuka stoples, mengambil satu keping yang dipenuhi topping choco chip.
"Hmm ... enak juga," gumam Wenda sembari menghabiskan satu, tangannya kembali meraih untuk yang ke dua, ke tiga. Tidak terasa Wenda sudah menghabiskan lima kue itu. Dia terkekeh. "Gila! Saking enaknya gue udah habis lima."
Wenda berjalan menuju tempat keberadaan Chandra, kepalanya menyembul di balik pintu. "Chan, tadi ada Kak Ina, ngasih cookies, enak banget loh, gue udah nyicip. Habis lima!" seru Wenda bangga.
Chandra yang sedang berjongkok di depan meja alat pioneer DJ miliknya, sontak menoleh ke arah Wenda saat Wenda mengucapkan habis lima cookies alih-alih menyebutnya mencicipi.
"Lima? Bukan nyicip kalo udah lima, Wen. Laper! Nggak sekalian lo makannya pake nasi biar kenyang," ledek Chandra.
Orang Indonesia, apa-apa dimakan pake nasi.
Wenda menyengir. "Udah, akh. Gue mau balik ke kamar lagi. Lo kalo mau nyicip, tadi gue tarok di atas meja dapur."
Chandra masih sibuk memperbaiki, memindahkan serta merapikan apa-apa yang menurutnya masih belum pas letaknya. Tidak terasa kegiatannya sudah menghabiskan waktu dua jam. Pintu didorong dengan keras hingga menghasilkan dentuman yang memekakkan telinga.
"Chan," rengek Wenda.
Chandra menoleh ke arah pintu, Wenda berdiri di sana masih bergeming tidak melanjutkan langkahnya.
"Kenapa? Sini ...." Chandra menggerakkan tangannya memberi isyarat.
Bukannya mengikuti titah Chandra, Wenda justru berjongkok di ambang pintu, wajahnya memerah, air mata di sudut matanya sudah meluncur jatuh tanpa dapat dicegah.
"Loh? Kok nangis, kenapa?" Chandra menghampiri Wenda, ikut berjongkok di hadapan Wenda.
Wenda mengulurkan tangannya, memperlihatkan bercak merah pada kulitnya. "Gatel."
"Wen ... Wen ... digigit nyamuk aja pake nangis, yang begini nggak mau dibilang bocah," keluh Chandra.
Chandra menyelipkan lengannya di bawah lutut Wenda, lengan yang satu lagi dia simpan di belakang pundak Wenda. Chandra mengangkat tubuh Wenda. Allahu Akbar! berat juga ini bayi panda.
Chandra duduk di kursi kerjanya, mendudukkan Wenda pada pangkuannya. Tangannya mengusap-usap ruam pada kulit Wenda. Tangannya yang bebas meraih minyak kayu putih di laci.
"Chan, gatel! Nggak kuat lagi." Wenda terus merengek, posisinya yang duduk menyamping di pangkuan Chandra terus bergerak gusar, menendang-nendang udara.
"Ya terus mau gimana, Wen." Ini udah gue olesi minyak kayu putih."
Wenda menatap Chandra. Empat jarinya menggaruk di bagian leher. Chandra mengikuti arah yang Wenda garuk. Mata Chandra membesar saat menemukan ada hal yang tidak beres di sana. Chandra menarik kerah baju Wenda ke samping, meneliti leher serta bahu mulus Wenda yang terekspos bebas.
"Tadi makan apa?" tanya Chandra memastikan.
Wenda menggeleng. "Nggak makan apa-apa, cuma cookies dari Kak Ina."
"Kacang?"
Wenda menggeleng lagi. "Choco chip."
"Pasti ada kacangnya, ini efek alergi kacang, Wen. Persis kayak dulu alergi lo pernah kambuh." Chandra merapikan kembali kerah baju Wenda. "Kita harus ke dokter, sekarang!"
Wenda melingkarkan tangannya di leher Chandra, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Chandra. "Nggak mau pergi ke dokter," ujarnya.
"Ya kalo nggak ke dokter, gimana bisa sembuh," bujuk Chandra.
"Dokternya aja yang dipanggil ke sini."
"Kita baru pindah, Wen. Mana gue tahu ada dokter sekitar sini yang bisa dipanggil." Chandra mendudukkan Wenda di kursi. "Tunggu di sini, gue tanya ke Kak Ina, mungkin tahu."
Chandra bergegas ke luar rumah, meninggalkan Wenda. Baru saja hendak melangkahkan kakinya ke rumah samping, netra Chandra menangkap Ina masuk mobil hendak pergi.
"Kak Ina." Chandra mengetuk kaca jendela mobil yang belum menyala itu.
Ina menurunkan kaca jendela. "Eh, Chan. Kenapa?"
"Hmm ... itu, Kak. Sekitar sini ada dokter yang bisa dipanggil nggak ya?"
"Loh? Siapa yang sakit?" tanya Ina tak kalah panik.
"I-itu, Kak. Maaf ya sebelumnya. Tadi Wenda makan cookies dari Kakak. Kayaknya ada kacangnya, Wenda alergi kacang."
"Astaga! Iya, kakak bikinnya pake almond."
"Rumah di sebelah kalian, itu dokter. Ya udah kakak aja yang panggil dokternya. Mudahan dia ada, kamu urus Wenda aja, ya."
"Baik, Kak. Terima kasih banyak, Kak."
-o0o-
Chandra sudah memindahkan Wenda ke kamar mereka, menunggu Ina memanggil dokter yang dia maksudkan.
"Chan, pusing. Tenggorokan sakit," rengek Wenda dengan suara yang sudah berubah serak efek alerginya.
"Iya, sabar. Kak Ina lagi panggil dokternya, ya."
"Chan, mau muntah." Lagi suara serak Wenda mengalihkan atensi Chandra. Tanpa berpikir, Chandra langsung menuntun Wenda ke kamar mandi.
Pada wastafel, Wenda mengeluarkan isi perutnya. Setelahnya Chandra membawa kembali Wenda ke tempat tidur, tidak lama bel berbunyi.
"Itu mungkin Kak Ina sama dokternya, tunggu bentar ya. Gue buka pintu."
Chandra bergegas membukakan pintu, setelah pintu terbuka, Kak Ina berdiri dengan menggendong Clarissa dan ... seorang pria yang mengenakan kemeja soft blue garis-garis, berdiri di sebelah Kak Ina.
"Chan, ini dokternya. Namanya dokter Bisma."
Chandra mengernyit. Kayak pernah lihat, tapi di mana? "Oh, iya, Kak. Silakan. Wenda ada di kamar." Chandra mempersilakan dokter Bisma dan Ina masuk. Tangannya meraih Clarissa, mengambil alih.
Setelah dokter Bisma masuk ke kamar, kini giliran dokter Bisma yang mengernyitkan dahi. "Kamu anaknya dokter Sehandra, 'kan? tanya dokter Bisma pada Wenda. "Yang menikah waktu itu?"
"Iya, Dok. Saya Wenda anaknya dokter Andra."
Dokter Bisma segera memeriksa Wenda, menempelkan steteskop pada dada Wenda. "Tarik napas ... embuskan."
Dokter Bisma menarik kembali steteskop miliknya, menyimpan pada tas yang dia bawa. "Pernapasannya masih bagus. Reaksi masih ringan, bukan reaksi anafilaksis."
Dokter Bisma meraih lengan Wenda yang dipenuhi ruam-ruam kemerahan. Kemudian mengarahkan senter kecil pada mata Wenda. "Matanya berair efek dari alerginya ini." Dokter Bisma meraih spluit dan tabung kecil. Menyuntikkan spet yang dipenuhi cairan pada lengan Wenda.
"Mual, nggak?"
"Muntah, Dok."
"Anafilaksis itu apa, Dok?" tanya Chandra.
"Hmm ... kata lainnya, reaksi alergi yang lebih berat. Penderita bisa mengalami penurunan tekanan darah secara drastis hingga bisa memicu syok, penderita juga mengalami sesak napas."
Dokter Bisma tersenyum sejenak. "Saya sudah menyuntikkan antihistamin, untuk meredakan reaksi alergi. Efek obatnya akan mengantuk. Nanti saya resepkan untuk yang diminum, tapi kalau tidak ada perubahan, segera bawa ke rumah sakit, ya."
"Baik, Dok," jawab Chandra.
"Dunia terasa sempit ternyata, saya punya tetangga baru yang tak lain anak rekan saya sendiri," ujar dokter Bisma setelah selesai menuliskan resep pada secarik kertas.
"Dunia itu nggak sempit, Dok. Kalo sempit aku pasti udah ketemu sama bias nongkrong di mall," timpal Wenda yang masih berbaring di atas tempat tidur.
"Bias?" Dokter Bisma terkekeh, "Ucapan kamu persis seperti seseorang yang saya kenal."
"Siapa, Dok? Pacarnya ya? celetuk Wenda.
"Pasien saya." Dokter Bisma menoleh ke arah Ina sejenak. "Namanya ... Claudya."
Tanjung Enim, 27 Sept 2020
Republish, 21 Feb 2021
Salam sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top