14 // Momo
Wenda berdiri di teras rumah dengan perasaan sebal karena permintaannya tidak dikabulkan. Netranya sibuk memperhatikan Chandra mengeluarkan semua kantong-kantong plastik dari dalam mobil.
"Awas aja kalo nanti dia minta makanan gue, nggak akan gue kasih, biarin kelaparan sana," gerutu Wenda dengan rencana jahatnya.
Rungu Wenda menangkap suara berdecit, terdengar berulang-ulang dan semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
"Momo," panggil seorang anak perempuan yang sudah memeluk kaki Wenda.
Wenda menunduk, netranya menangkap keberadaan si kecil berusia sekitar tiga tahunan. Anak perempuan dengan gaun berwarna merah muda, rambut dikuncir tengah. Wenda mengalihkan atensinya ke arah kaki si anak yang mengenakan sandal dengan motif ciri khas balita, yang dilengkapi dengan lampu kerlap-kerlip dan suara berdecit saat diinjak.
Ini bukan anak tuyul penghuni kompleks, 'kan? Kakinya napak tanah, kok. Apa mungkin tuyul jaman now udah glow up jadi cantik, gayaan lagi pake sandal Princess Elsa.
"Halo, kamu siapa?" tanya wenda yang berjongkok menyamakan tinggi badannya.
"Mo? Momo." Anak kecil itu kembali berucap menyebutkan sepenggal nama.
Momo? Penyanyi lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia?
"Aku bukan Momo." Wenda menggelengkan kepalanya.
"Anak siapa, Wen?" tanya Chandra yang sudah berada di samping Wenda.
"Anak gue!" ketus Wenda yang masih sebal.
"Oh, berarti anak gue juga dong," goda Chandra.
Wenda mendongak menatap tajam Chandra yang sedang terkekeh. "Nggak lucu!" ketus Wenda.
"Lah? Bener, dong. Emang lo bisa bikinnya sendiri tanpa gue?"
Chandra menyimpan kantong plastik di lantai teras. Sedikit membungkuk mengusap puncak kepala Wenda yang masih berjongkok.
"Udah, dong, marahnya. Masa jauh-jauh ke sini cuma mau ngambek doang." Chandra kembali membujuk Wenda.
"Neng Clarissa!"
Suara seruan dari seorang wanita paruh baya menghentikan kegiatan Wenda dan Chandra. Wenda berdiri dengan tangannya menggandeng anak kecil yang ternyata bernama Clarissa.
"Bu, ini Clarissa, bukan?" tanya Wenda memanggil seorang ibu yang mondar mandir di teras rumah tepat berada di samping kiri rumah yang akan mereka tempati.
"Iya, benar, Mbak."
Wanita itu tergopoh menghampiri Wenda, mengambil alih menggendong balita cantik itu.
"Jadi nama kamu Clarissa? Aku Wenda. Hmm ... aunty Wenda," ucap Wenda dengan telunjuknya bermain di pipi gembil sang balita.
"Mbak, yang mau nempatin di sini ya?" tanya wanita itu.
Wenda tersenyum. "Iya, Bu. Aku Wenda, itu suami aku, anaknya Pak Siswanto," jelas Wenda.
"Atuh jangan dipanggil bu, panggil aja bibi, Bi Asih gitu. Saya kerja di sini, pengasuhnya Neng Clarissa." Wanita itu menjelaskan. "Silakan Mbak dilanjutkan, terima kasih tadi sudah jagain Neng Clarissa."
"Iya, Bi. Sama-sama. Kita masuk dulu ya, Bi."
Wenda dan Chandra melangkahkan kaki masuk ke rumah yang sudah lama tidak ditempati itu. Namun, terlihat bersih karena kemarin ada yang membersihkan.
"Wen, ulangi lagi dong yang tadi bilang 'suami aku'," pinta Chandra.
Mata Wenda mendelik tajam. "Merdu banget suara setan ngomong!"
Chandra menghentikan langkahnya, menunjuk wajahnya sendiri. Setan? Gue maksudnya? Punya bini kok laknat banget, sih.
-o0o-
Chandra menyimpan semua camilan Wenda di atas meja pantry. Wenda mengeluarkan semua isi kantong plastik.
"Wen, kamu pilih kamar mana yang buat dijadiin kamar kita," ucap Chandra.
Wenda segera menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah besar itu, netranya mengamati beberapa perabot yang sudah ada di sana. Langkahnya masuk ke sebuah kamar, ada sebuah tempat tidur yang ditutupi kain putih, ada yang menarik perhatian Wenda. Sebuah foto tergantung di sana.
Foto pernikahan papi dan mami. Wenda tersenyum melihat kedua mertuanya saat masih muda.
"Mami cantik banget, sih. Papi juga ganteng, tapi anaknya kok nyebelin, ya?" gumam Wenda menatap takjub pada benda mati itu.
Tungkai Wenda kembali dia bawa menuju dapur, hal pertama yang ditangkap matanya adalah Chandra yang sedang fokus pada layar ponselnya, Chandra menoleh ke arah Wenda, dia merentangkan sebelah tangannya, memberi isyarat agar Wenda bergabung pada kegiatannya. Namun, inilah Wenda dengan keras kepalanya, tetap tidak menggubris ajakan Chandra.
"Udah pilih kamarnya?" Wenda tidak menjawab pertanyaan Chandra.
"Wen, gue mau renovasi satu kamar. Buat gue jadiin ruang pribadi gue, menurut lo kira-kira bagus pakai cat warna apa?"
Hening! Semua pertanyaan Chandra diabaikan oleh Wenda. Chandra menoleh ke samping memanggil Wenda. "Wen?"
"Nggak usah ngajak ngomong! Gue masih marah!"
Chandra mengatupkan mulutnya, kembali fokus menonton video yang menampilkan cara mendesain ruangan. Minta pendapat Wenda dalam kondisi sekarang, sama saja seperti memadamkan api dengan bensin.
Wenda meraih satu kantong plastik berisi makanan kesukaannya, tangannya hendak membuka kertas pembungkus berwarna coklat itu. Namun, suara Chandra menginterupsinya kembali.
"Cuci tangan dulu, Wen. Tadi habis pegang kucing," tegur Chandra tanpa mengalihkan pandangannya pada benda canggih miliknya.
Wenda menghentakkan kakinya, teguran Chandra seperti gangguan yang mesti dilenyapkan. "Bisanya ganggu aja, sih," gerutu Wenda sembari mencuci tangannya di wastafel hingga bersih.
Wenda menikmati setiap gigitan toast curry tuna favoritnya. Chandra melirik Wenda, netra mereka bertemu beberapa detik.
"Nggak usah minta, ini punya gue!" seru Wenda.
"Iya, punya lo semua. Makan yang bener, duduk!" perintah Chandra yang sudah mulai geram.
Wenda merangkak menaiki meja pantry, mata Chandra terbelalak. "Wen, mau ngapain naik ke sana?"
"Katanya disuruh duduk. Ini mau duduk salah lagi. Salah mulu idup gue di mata lo," cerca Wenda.
"Ya, tapi nggak gitu juga konsepnya, Wen." Chandra menghela napas jengah. "Kenapa sih, Wen. Dari tadi ngajak ribut mulu. Astaga! Ya, udah terserah lo mau ngapain. Capek gue," ucap frustrasi Chandra.
Chandra sibuk dengan kegiatannya, tujuan awalnya ke sini adalah hendak merenovasi di beberapa bagian ruangan pada rumah yang akan mereka tempati, bukan menghabiskan energi untuk berdebat dengan Wenda.
Wenda juga sibuk dengan kegiatannya. Memakan semua snack-nya, mencicipi semua minuman kemasan botol, berjalan mengitari ruangan dapur hingga tengah. Kembali lagi duduk di meja pantry dengan tangan memeluk camilan, kakinya yang menggantung terayun teratur.
Sudah hampir satu jam Chandra tidak mempedulikan semua yang dilakukan Wenda. Chandra tetap fokus dengan kegiatannya membuka kaleng cat yang akan ia gunakan.
"Chan, bukain." Wenda menyodorkan sebotol minuman pada Chandra.
Tanpa kata, Chandra membuka tutup botol kemudian menyodorkan kembali ke Wenda. Lima belas menit berselang Wenda kembali menghampiri Chandra.
"Bukain," ucap Wenda yang kali ini meminta Chandra membuka pembungkus makanan ringan.
"Tangan lo kenapa? Lumpuh?" Meski dengan nada ketus, tetap saja Chandra menuruti keinginan Wenda.
Puas mencari perhatian Chandra, ini adalah jurus terakhir Wenda. Wenda merebahkan tubuhnya pada sofa yang berada tidak jauh dari dapur. Wenda menatap langit-langit ruangan, kakinya diangkat tinggi bersandar pada sandaran sofa. Posisi kepalanya terbalik di bawah. Melalui ekor matanya Chandra melirik tingkah Wenda.
Dasar perempuan! Giliran diperhatikan jual mahal. Giliran sudah didiamkan malah cari perhatian. Lebih parah lagi, berkomentar semua pria sama, tidak peka. Maha benar wanita dengan segala ribet hidupnya.
"Chan," panggil Wenda.
"Hmm." Tanpa repot-repot Chandra menjawab panggilan Wenda hanya dengan dengungan.
"Chan."
"Apa, Wen? Mau minta bukain botol minum lagi? Atau plastik snack? Mau apa?" Suara Chandra sudah mulai bergetar menahan sesuatu yang hampir meledak.
"Mau muntah," ucap Wenda dengan tangan kanan sudah membekap mulutnya sendiri.
Chandra mengalihkan atensinya ke Wenda, pupil matanya membesar, panik. Chandra menghampiri Wenda menuntunnya ke wastafel.
Wenda memuntahkan isi perutnya pada wastafel. Chandra memijit pelan tengkuk Wenda. "Gimana nggak muntah, sih, Wen. Semua lo makan, terus tadi ngapain tiduran kebalik kaki di atas kepala di bawah kayak gitu. Mau nyoba jadi kalong?" Chandra menggerutu.
Selesai membersihkan mulutnya Wenda berbalik menghadap Chandra. Wenda menyengir, matanya menatap wajah Chandra. Wenda pikir Chandra benar-benar tidak peduli, tetapi ternyata Chandra masih memperhatikannya.
Chandra mengangkat tubuh Wenda, mendudukkannya di meja. "Tunggu sebentar. Gue ambil minyak angin di mobil," perintah Chandra.
Chandra kembali dengan minyak kayu putih yang dia ambil dari kotak P3K di mobil, mengulurkan tangannya memberikan botol kecil berisi cairan berwarna bening itu ke Wenda.
"Mau gue apa pake sendiri," tawar Chandra pada Wenda.
"Pake sendiri." Wenda meraih minyak kayu putih, menumpahkan sedikit pada telapak tangannya. Tangannya menelusup ke balik bajunya, mengolesi perutnya dengan minyak tersebut.
Wenda selesai dengan kegiatannya, Chandra mendekati Wenda, merengkuh tubuh Wenda ke dalam pelukannya. Dagunya bertumpu pada bahu kiri Wenda.
"Chan, kenapa lo sekarang seneng banget meluk gue."
"Ya, 'kan lo milik gue," jawab Chan mengeratkan pelukannya.
"Dulu lo sering ngomong 'wenda punya gue' tapi nggak pernah begini."
"Ya, kan dulu beda."
Wenda mendorong sedikit tubuh Chandra agar melepaskan pelukan.
"Beda karena dulu ada Sonya?" Wenda memperjelas ucapan Chandra. "Iya sih, gue paham. Keberadaan gue nggak lebih dari sekadar-"
Mata Wenda terbuka lebar, Chandra memotong celotehan Wenda dengan mengecup bibir Wenda.
Wenda kembali berujar, "Kalo ada Sonya, gue pasti nggak ada apa—"
Kembali ucapan Wenda terpotong dengan Chandra mendaratkan satu ciuman lagi.
"Ngomong lagi, gue cium lagi," ancam Chandra yang sudah menarik Wenda ke dalam pelukannya lagi.
Chandra melonggarkan pelukan, tangannya menyingkirkan poni Wenda. "Jangan ngomong yang aneh-aneh lagi, jalani aja yang sekarang," ucap Chandra.
Wenda menggerakkan kepalanya ke atas ke bawah, seperti mainan yang ada di dashboard mobil, membuat Chandra gemas. Tangan Chandra menangkup rahang Wenda, bibirnya kembali mendekat ke wajah Wenda.
"Akh! Sakit," rengek Wenda saat hidungnya digigit Chandra gemas.
Chandra tergelak melihat hidung Wenda yang memerah.
"Dasar. Suami nggak ada akhlak!"
"Lebih nggak ada akhlak siapa. Tadi ada istri ngatain suaminya setan."
"Tau akh! Sebel."
Tanjung Enim, 24 September 2020
Re-publish, 21 Februari 2021
Salam sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top