12 // Double J

"Wendaa ...." Panggilan itu menyapa rungu Wenda, saat kakinya baru saja menapak di parkiran kampus. Di ujung sana seorang gadis melambaikan tangannya dengan heboh. Dia kuliah di sini juga?

Wenda menelengkan kepalanya ke samping ke arah Chandra. "Itu Joy, 'kan? Pacarnya si Jaffran temen lo?" tanya Wenda.

"Iya, mereka kuliah di sini juga. Kalo nggak salah Joy satu jurusan sama lo." Chandra merangkul bahu Wenda berjalan beriringan menuju keberadaan Joy.

"Gila! Lo udah kayak mahasiswi, Wen," ucap Joy saat Wenda sudah di hadapannya, netranya meneliti penampilan Wenda.

Wenda mengenakan kemeja bermotif garis lurus ke bawah. Kemejanya dia masukkan ke dalam jeans. Lengan kemejanya digulung sebatas siku, rambutnya dia gelung ke atas dengan poni dibiarkan menutupi dahinya, menambah kesan imut pada wajah manisnya, sebelah earphone-nya masih menggantung di salah satu telinganya.

"Menurut lo, kita ke sini mau ngapain? Daftar jadi peserta pawai? Kan emang mau kuliah, ya jelaslah kayak mahasiswi."

Joy menyengir, matanya membulat ke satu arah. "Itu dia ... itu dia datang," tunjuk Joy antusias.

"Siapa?" tanya Wenda dan Chandra kompak.

"Kekasihku, pujaan hatiku, belahan jiwaku," ucap Joy santai. Sementara Wenda dan Chandra menampilkan mimik muka ingin muntah.

Jaffran berlari tergopoh ke arah mereka. "Hai, Beib, kesayangan sealam semesta, kekasih ha—" Belum selesai Jaffran mengucapkan kalimat terakhirnya, sudah disela Chandra dengan memukul belakang kepala Jaffran.

"Kekasih halal dari mana, Jamet kuproy."

"Beib, aku dipukul Chandra," rengek Jaffran pada Joy.

"Ya, ampun, cayang aku. Sakit, Sayang?" Joy mengusap belakang kepala Jaffran.

Wenda mengernyitkan dahinya, merasa jijik melihat pasangan bucin di hadapannya. Wenda menarik lengan baju Chandra agar sedikit menunduk, lalu berjinjit berbisik di telinga Chandra. "Chan, gue yakin mereka terlahir dari kerang Spongebob."

"Kenapa emang?"

"Mereka aneh, Chan. Ternyata kerang ajaib Spongebob bisa naik ke daratan."

Chandra terkekeh, telapak tangannya ditangkupkan pada pipi Wenda, Chandra mendekatkan wajahnya ke wajah Wenda. "Kurang-kurangi nonton kartun."

"Ekhem! Pengantin baru, mentang-mentang masih anget mesra-mesraan nggak ingat tempat." Joy menginterupsi kegiatan Chandra.

"Beib, mereka nggak mesra-mesraan. Sebelum kawin pun mereka biasa begitu. Aku sampe bingung yang pacar Chandra Sonya apa Wenda," celetuk Jaffran menjelaskan.

Wajar saja jika Joy tidak mengetahui kisah Wenda dan Chandra sebelum menikah, Joy tidak satu sekolah dengan Wenda, Chandra, dan Jaffran. Ini adalah kali ke dua Wenda bertemu Joy, pertama di acara pernikahannya.

***

"Yaah, kita nggak satu kelas, Wen."

Wenda dan Joy berdesakan di antara calon mahasiswa fakultasnya. Meski sudah berjinjit, tetap saja pandangan Wenda tidak bisa mencapai papan pengumuman karena tinggi badannya yang kurang memadai.

Jika dibandingkan Wenda, Joy lebih tinggi, itu sebabnya Wenda menyerahkan pada Joy untuk mencari namanya.

"Masa sih? Nomor registrasi kita nggak jauh-jauh ini. Cari lagi, coba," pinta Wenda.

"Nama lo Wenda Saraswati, 'kan?"

"Hah?" Wenda mengernyitkan dahinya. "Sejak kapan nama gue berubah?"

"Lah, udah ganti lagi ya?"

"Lo kata nick name Facebook, yang bisa gonta-ganti seenak jidat," gerutu Wenda.

"Terus, nama lo sapa emang?"

"Navera Four Wenda."

Mata Joy kembali fokus pada kertas yang tertempel di sana, mencari nama Wenda di deretan nama mahasiswa lainnya. Senyumnya merekah, saat mendapati nama Wenda berada di kelas yang sama dengan dirinya.

"Wennn ... kita satu kelas, Wen. Aseekk ... seneng, deh!" Joy berseru senang.

"Serius? Aaahh ... gue juga seneng."

Dua wanita itu saling berpelukan layaknya anggota teletubbies merah cabe dan ungu terong. Getaran ponsel di tangan Wenda menghentikan kehebohan dan pelukan mereka.

"Halo, Chan," sapa Wenda saat mengangkat panggilan dari Chandra.

"Wen, di mana? Udah selesai belum? Ini kita udah di kantin fakultas Ekonomi. Buruan ajak Joy ke sini, ini pejantannya nyariin betinanya," kekeh Chandra yang membuat Wenda ikut terkekeh.

"Iya, kita ke sana. Shareloc aja." Wenda menutup panggilan, meraih lengan Joy.

"Ayo, pejantan lo udah nungguin," ajak Wenda.

"Udah kayak burung lovebird, Wen."

Wenda berjalan bersisian bersama Joy, tiba-tiba tangan Wenda ditarik Joy. "Wen, gue mau ke toilet. Ayo ke toilet dulu, buruan gue pengin pipis nggak tahan lagi."

Tanpa rasa curiga Wenda menuruti titah Joy yang menyeretnya menuju toilet. Sesampainya di depan pintu bertuliskan 'women', Joy menarik napas lega.

Wenda memicingkan matanya. "Katanya kebelet, buruan sana. Malah ngelamun. Gue tunggu di luar."

"Wen, sebenarnya gue nggak kebelet. Tapi ada orang yang gue hindarin."

"Siapa? Mantan lo? Yaelah mantan doang, 'kan sekarang udah sama Jaffran." Wenda berdecih.

Joy menggeleng, air muka Joy berubah khawatir. "Bukan itu, Wen. Ini lebih sial dari mantan."

Wenda melipat tangannya di depan dada, menyandarkan tubuhnya pada dinding. "Terus siapa?"

"Kak Shanshan, namanya Yuan Shanshan. Dia kakak kelas gue SMP dan SMA. Dia asli orang Tiongkok, pindah ke sini dari SD. Bokapnya pengusaha sukses di Jakarta."

Joy menarik garis bibir datar, memutar bola matanya sejenak ke samping, lalu menatap Wenda lagi. "Mertua lo pasti kenal, deh, sama orang tua Kak Shanshan, bokap gue yang pebisnis kroco aja tahu," celetuk Joy.

"Bisnis kroco itu yang gimana, sih, Joy." Wenda tergelak.

"Ya, begitu. Pebisnis kayak mertua lo kan beda kelas, Wen. Sama bokap gue."

"Ekhem, bisa minggir? gue mau ke toilet," deham seseorang di belakang Wenda.

Wenda berbalik, netranya menangkap  perempuan mengenakan setelan putih dan rok hitam. Rambut pendeknya sengaja dia warnai untuk menyempurnakan penampilannya.


Wajah Joy berubah panik saat mendapati seseorang yang sedang mereka bicarakan secara ajaib sudah berada di hadapan mereka.

"Aduh, udah melarikan diri, tetap aja ketemu," lirih Joy yang tak didengar Wenda.

"Oh, maaf Ibu. Silakan, Bu." Wenda mempersilakan, sedikit bergeser dari tempatnya berdiri.

Bola mata Joy membesar saat mendengar Wenda menyapa wanita itu dengan sapaan 'ibu'. Joy menarik tangan Wenda, buru-buru hendak meninggalkan tempat tersebut. Namun, tanpa diduga lengan Wenda yang satunya ditarik oleh Shanshan.

"Tunggu ... lo Joy Brigita, 'kan?" Pandangan Shanshan menatap lamat Joy, tapi tangannya masih menahan lengan Wenda.

"Iya, Kak. Aku Joy. Permisi Kak, kita masih ada keperluan." Joy melepaskan paksa cekalan tangan Shanshan pada lengan Wenda.

Joy menyeret Wenda sejauh mungkin dari tempat sial tersebut. "Astaga, Wenda Larasati. Kok panggil dia ibu, sih."

"Berubah Larasati, tadi saraswati. Jangan seenaknya ganti nama orang oi, dasar kinder joy."

"Kinder joy? Ada di rak paling depan dekat kasir dong," kekeh Joy menertawakan namanya yang disamakan dengan makanan sekaligus mainan anak-anak.

"Lagian siapa sih dia? kok lo panik banget. Dosen killer?"

"Lebih dari dosen killer, Wen. Dia itu Kak Shanshan yang gue ceritain tadi. Dia itu satu tahun di atas kita."

"Lah gue kira dosen. Habisnya penampilan dia kayak bukan mahasiswa." Wenda terus tertawa mengingat penampilan Shanshan yang tidak sesuai usianya.

Wenda dan Joy berjalan bersisian menuju tempat awal tujuannya. Joy menarik napas dalam sebelum kembali berujar, "Waktu SMA dia terkenal ... perusak hubungan orang."

Wenda menoleh ke samping. "Terus lo takut hubungan lo sama Jaffran akan dirusak gitu?"

"Bukan hubungan kita, Wen. Gue khawatir rumah tangga lo sama Chandra."

"Kok, kita dibawa-bawa? Kenal juga kagak."

"Kak Shanshan nggak suka ngerusak hubungan rakyat jelata kayak kita Wen, inceran dia anak beruang, anak tajir melintir kayak Chandra. Dia suka menghalalkan segala cara."

"Ya kali, dia mau sama suami orang. Mau jadi pelakor," celetuk Wenda.

"Dulu, waktu dia kelas dua belas, pernah ada cewek masih muda datang ke sekolah kita, ngelabrak Kak Shanshan, katanya karena merusak rumah tangganya."

Joy mengingat kembali kejadian itu "Tapi tetap aja si cewek itu yang disalahkan. Ya, karena bokapnya Kak Shanshan lebih berkuasa apalagi soal materi. Kasian banget, Wen. Padahal lagi hamil tua."

"Wen, Sini!" Suara Chandra menyentak Wenda mendengar cerita Joy.

Tidak terasa langkah kaki mereka sudah berada di kantin. Chandra dan Jaffran sudah duduk di meja sedikit di pojokan. Wenda dan Joy mempercepat langkahnya.

"Kok lama sih, Beib," rengek menjijikkan dari Jaffran.

"Uluuh ... uluuhh ... maaf ya tadi kita ke toilet dulu, biasa urusan cewek."

Wenda mengabaikan pasangan bucin itu, menyambar minuman Chandra, menyeruput hingga tandas setengah. Membasahi tenggorokannya lebih penting ketimbang mengurusi pasangan alay.

"Pesen lagi, Wen. Haus banget kayaknya habis maraton," sindir Chandra.

Wenda tidak mempedulikan sindiran Chandra, justru menarik piring makanan Chandra. Netra Chandra teralih ke lengan kiri Wenda. Terdapat goresan memanjang yang terlihat jelas di kulit putihnya.

Chandra meraih tangan Wenda. "Ini kenapa?" tanya Chandra.

Wenda menarik tangannya menatap goresan itu. "Huh? Oh, ini tadi ditar—"

"Oh, i-itu. Nggak sengaja kena kuku gue, Chan. Tadi gue terlalu exited karena kita satu kelas, sorry ya," sela Joy berbohong.

Wenda hanya mengangguk, melanjutkan kembali kegiatannya, memindahkan makanan—Chandra—ke perutnya.

Chandra meraih botol air mineral di depannya, menarik beberapa lembar tisu lalu membasahinya sedikit. Pelan, Chandra membersihkan luka gores di lengan Wenda.

"Maaf, ya, Chan. Gue jadi ngelukai tangan Wenda." Joy merasa bersalah, meski itu bukan ulahnya, tapi tetap saja merasa tidak enak hati.

Wenda mengibaskan tangannya di depan wajah Joy. "Nggak apa-apa, Joy. Lagian cuma luka dikit juga," ucap Wenda.

"Tuh, yang punya tangan biasa aja. Santai Joy, dia udah biasa bandel," ledek Chandra yang sukses membuat Wenda memutar bola matanya melotot tajam.

"Ini turuni aja, biar lukanya ketutup nggak kena debu." Chandra menarik tangan kemeja Wenda yang sengaja dia gulung hingga siku.

"Terus gue kayak orang bego, gitu? Sebelah digulung sebelah lagi nggak," protes Wenda.

"Ya, di turunin semua, Wen."

"Nggak mau! Cupu banget gue keliatannya."

"Ini luka lo nanti kena debu."

"Ya, lo cari plester atau apa gitu." Wenda yang masih keras kepala tidak mau menurunkan lengan kemejanya.

"Kenapa malah ribut!" sela Joy.

"Biasa, Beib. Mereka suka begitu, nanti Chandra ngalah sendiri," sindir Jaffran.

Chandra menghela napas berat, berdiri dari tempat duduknya, menuju stan di ujung sana. Jaffran benar. Chandra selalu jadi pihak yang mengalah.

Chandra sudah kembali dengan beberapa lembar plester warna biru bergambar kartun. Dia tutupi luka Wenda dengan plaster tersebut.

"Gue serasa jadi bocah pake beginian," ucap Wenda mengusap plester pada lengannya.

"Emang bocah," timpal Chandra.

"Nggak!"

"Terus apa kalau bukan bocah. Mau jadi apa?"

Wenda nampak berpikir. "You'll be the prince and I'll be the princess."

"Yes, Baby." Spontan Chandra menjawab.

"Sayang, aku mau kayak gitu juga dong, jadi princess," seloroh Joy.

"You'll get it dear," tandas Jaffran.
.
.

Tanjung Enim, 16 September 2020
Re-publish, 18 Februari 2021

Reader baru, yang belum masukin ke library. Masukin ya. Biar ga ketinggalan. Karena ini akan up setiap hari. Kalo bersedia, dimasukin ke list bacaan juga. Biar yang lain bisa baca. Makasih.

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top