11 // Kopi Laknat!

Wenda menuruni anak tangga, langkahnya terayun menuju dapur. Matanya nanar mencari keberadaan sang bunda. Senyum merekah tercipta saat yang dicari sudah tertangkap netranya.

Bunda dengan apron abu melekat di tubuhnya, sibuk membuat adonan kue. Mencetak adonan itu di atas loyang sebelum dipanggang ke dalam microwave oven.

"Bunda, lagi bikin kukis ya?" Wenda memeluk bunda dari belakang, mencium singkat pipi wanita yang sudah melahirkannya.

"Nggak. Bunda lagi bercocok tanam tuh. Nggak lihat lo, bunda lagi gali-gali tanah," celetuk Dhika yang tiba-tiba berada di belakang Wenda.

Wenda menoleh ke sumber suara. "Bunda, Kak Dhika ngeledekin," rengek Wenda pada sang bunda.

"Kak Dhika ...," panggil bunda memberi peringatan. "Udah, ah. Sana kamu duduk aja. Bunda nggak bisa gerak ini kalo dipeluk terus."

"Wenda bantuin Bunda, ya," tawarnya.

Wenda menarik satu apron lain dari dalam kabinet bawah untuk dia kenakan, mulai membantu bunda membuat kue kering. Bagi Wenda, tidak ada kue kering seenak buatan bundanya. Kesukaan Wenda adalah varian cokelat dan greentea.

Kegiatan membuat kue bersama bunda sangat mengasikkan. Sampai-sampai Wenda melupakan keberadaan tukang kopi yang masih berkutat—entah apa yang dia kerjakan—membelakangi Wenda.

"Rajin banget bantuin bikin kue. Lagi bikin kue rasa apa?" tanya Chandra yang sudah di depan Wenda dengan meja pantry sebagai pembatas.

"Cookies rasa taro, iya kan, Nda?" Wenda bertanya pada bunda memastikan. Bunda mengangguk membenarkan.

Chandra meneliti penampilan Wenda. "Udah pake baju buat ngampus?"

Sembari memegang penjepit untuk mengambil kue pada panggangan, Wenda mengangguk. "Biar nanti nggak ribet lagi, tinggal berangkat," ujar Wenda yang masih berusaha memperbaiki pengait pada penjepit kue.

"Chan, kafe gue ada menu baru. Hari ini launching-nya. Salah satunya kopi ini." Dhika menyimpan segelas kopi yang sejak tadi dia racik.

"Ada yang dingin dengan es, dingin biasa, dan anget. Ini yang dingin biasa. Lo cobain deh," lanjut Dhika menjelaskan.

"Benerin kaitannya biar nggak lepas, gue nggak bisa, susah. Keras banget." Wenda mengangsurkan penjepit ke hadapan Chandra.

"Sebentar, Kak. Gue benerin ini dulu," ucap Chandra meraih penjepit dari tangan Wenda.

Dhika memutar wajahnya, mencari sosok bunda yang ternyata sedang sibuk di depan oven, sedikit jauh dari keberadaan mereka.

"Keras, kayak punya Chan semalem ya, Dek," bisik Dhika ke arah telinga kiri Wenda.

Mata Wenda melotot, dia teringat apa yang terjadi semalam, hingga Chandra harus mandi air dingin di pagi buta, semua gara-gara Dhika—kakaknya.

"Laknat! Lo semalem ...," geram Wenda dengan jari telunjuknya menunjuk Dhika.

"Bunda ... semalem Kak Dhika ngasih Chandra permen pera—" Belum selesai ucapan Wenda mengadukan apa yang dilakukan Dhika semalam.

"Dek. Dek ... mending minum kopi ini aja, deh. Enak banget, loh." Dengan terburu Dhika menyodorkan gelas kopi ke mulut Wenda.

Wenda tidak siap menerima cairan kombinasi kopi susu dengan krim dipaksa masuk ke mulutnya. Dia tersedak dan terbatuk-batuk, bahkan ada sebagian yang keluar dari hidungnya.

"Akh. Sialan! Lo mau bunuh gue?" teriak Wenda yang sesekali masih terbatuk.

Chandra panik melihat Wenda yang tersedak kopi, mata Wenda berair dan memerah. Chandra memutari meja mendekat ke arah Wenda, tangannya menepuk-nepuk punggung Wenda pelan.

"Ada apa ini? Kok ribut-ribut terus." Bunda menatap Wenda. "Astaga, kamu kenapa bisa basah gini, Wen? Mandi kopi susu?" Bunda dengan sigap memberikan sekotak tisu.

"Gara-gara dia, Nda. Maksa Wenda minum kopi, sampe kesedak basah semua baju Wenda. Padahal udah mau ke kampus," adu Wenda pada sang bunda.

Bunda mengembuskan napas jengah. "Ini semua gara-gara ayah kalian!" seru bunda.

"Kok ayah, Nda?"

"Iya, kok gara-gara ayah, Nda? Ini kerjaannya si curut got itu tuh," tunjuk Wenda dengan mata berkilat marah.

"Gara-gara ayah, udah di bilang bunda cuma mau punya 2 anak, ayah maksa bunda buat hamil lagi, katanya mau anak cewek. Eh, Yang lahir cowok lagi. Terus, bunda ditipu lagi," beber bunda.

"Ditipu?" tanya Dhika.

"Iya, waktu kamu masih kecil, udah bunda bilang, bunda nggak pake KB, ayah nggak mau pake pengaman. Bilangnya dibuang di luar, nyatanya ... hamil Wenda. Mana jarak usia kalian deket banget cuma 18 bulan."

Wenda, Chandra, dan Dhika terdiam mendengarkan penuturan bunda. Tangan bunda masih bergerak membantu membersihkan wajah Wenda dengan tisu.

"Ekhem," deham Chandra salah tingkah.

"Bunda ... ngomong apa. Malu, ada Chandra." Wenda mengingatkan bundanya. Namun, tidak digubris sama sekali.

"Coba kalo ayah nuruti keinginan bunda cuma punya dua anak, nggak akan ada ribut pagi ini, nggak akan ada tuh kopi keluar dari hidung," tandas bunda.

"Ya, Nda, kalo bunda nggak ngelahirin Wenda terus siapa yang akan nikah sama aku," sahut Chandra membuka suara.

"Onta betina! Sekarang aja lo nikahin singa betina," ledek Dhika sembari mengambil langkah cepat meninggalkan dapur.

"Beruang tanah! Item. Sini lo, gue patahin taring lo," murka Wenda.

***

"Nyebelin banget sih itu jelmaan jin tomang, tercipta dari tanah sengketa kali ya dia itu, bawaannya ngajak ribut mulu," gerutu Wenda yang hanya didengarkan Chandra dengan seksama.

Chandra dan Wenda sudah berada di kamar mereka, Wenda berdiri di depan cermin wastafel kamar mandinya, masih sibuk mengibas-ibaskan kemejanya karena tumpahan kopi.

"Wen, ganti bajunya, cuci muka sana. lo gosok sampe habis sekotak tisu juga tetep lengket," tegur Chandra yang sejak tadi menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mandi.

Wenda berbalik menatap Chandra, air muka yang Wenda tampilkan sudah tanda-tanda akan ... menangis.

Chandra mendekati Wenda, tangannya menyelinap di antara ketiak. Mengangkat tubuh istrinya duduk di wastafel. Mereka saling berhadapan.

Chandra meraih handuk kecil dari dalam kabinet di atas kepala Wenda. Membasuhnya hingga sedikit basah, dengan telaten tangannya membersihkan wajah Wenda dari sisa-sisa krim kopi.

"Nyebelin banget tukang kopi itu. Iya, 'kan, Chan?"

"Iya, nyebelin," sahut Chandra singkat masih fokus membersihkan daerah mulut, rahang, leher hingga tulang selangka Wenda.

"Kalo lo bisa milih, enak terlahir jadi anak tunggal kayak sekarang atau punya kakak kayak dia?" tanya Wenda yang sudah sedikit santai. Emosinya sudah mulai mereda.

"Punya kakak atau adik, jadi tunggal itu nggak enak."

Chandra melebarkan handuk kecil itu, mengarahkan ke hidung Wenda. "Embusin, pasti di dalam banyak sisa kopi. Tadi kesedak keluar dari hidung, 'kan?"

Wenda mengangguk, menuruti titah Chandra mencoba mengeluarkan yang ada di dalam hidungnya. Sampai dirasa tidak ada lagi sesuatu di dalam sana.

Wenda kembali berkata, "Kalo gue sih mending jadi anak tunggal, daripada harus darah tinggi punya kakak dia. Kalo bisa gue giveaway-in. Udah lama dia gue giveaway-in. Ongkos kirim gue yang tanggung."

Chandra terkekeh mendengar celotehan Wenda yang masih menyisakan rasa kesal. Jari telunjuk Chandra menyingkirkan anak-anak rambut dari dahi Wenda, ditelitinya hidung Wenda yang sedikit memerah.

"Hidung lo merah, Wen. Kalo marah-marah terus," celetuk Chandra.

Wenda menyentuh hidungnya dengan ibu jari dan telunjuknya, mengusap pelan secara berulang. Tangan Chandra sigap menghentikan kegiatan Wenda. Wajah Chandra semakin mendekat mengikis jarak. Bibirnya yang hangat mengecup singkat puncak hidung Wenda.

Wenda masih duduk di atas wastafel, Chandra menaruh handuk yang dia gunakan ke dalam keranjang pakaian kotor.

"Chan, ini udah selesai?"

"Iya, kenapa? Masih ada yang lengket?" Dahi Chandra berkerut, menurutnya sudah dia bersihkan dengan teliti.

"Kopinya tumpah sampe dalem," tunjuk Wenda menggunakan gerakan bola matanya mengarah ke bagian dalam kemejanya.

"Mau dibersihin juga? Sini ayo," tantang Chandra.

Wenda menyilangkan tangannya di depan dada. "Nggak! Gue bisa sendiri," tukasnya.

Chandra menyeringai mendekati Wenda kembali, dia tersenyum jahil menatap Wenda.

"Ch-chan, mau apa?" tanya Wenda panik.

Chandra menangkup pipi Wenda. "Gemesin banget, sih," ujar Chandra.

"Chan, gue penasaran, deh. Lo kalo lagi sama Sonya, gini juga nggak sih?"

Chandra hanya tersenyum. "Rahasia dong."

"Chan," panggil Wenda.

"Hmm?"

"Gini juga ya," desak Wenda.

"Iya, kayak gini nih." Chandra mendaratkan gigitan kecil di pipi kiri Wenda. "Kayak gini juga," lanjutnya terus menggigit gemas pipi sebelahnya menggunakan bibirnya.

Wenda tergelak kegelian. "Chan, udah, geli. Ampun ... ampun."

"Wen, kayaknya lo harus mandi lagi deh, pipi lo masih terasa manis," ungkap Chandra.

Wenda mengerucutkan bibirnya. "Males banget mau mandi lagi, Chan," rengek Wenda.

"Daripada nanti digigit semut? Tadi lo bilang basah sampe dalem, 'kan? Emang mau digigitin semut? Atau mau gue aja yang gigitin."

"Nggak! Mending mandi aja!" tukas Wenda.

"Ya udah, mandi gih."

Wenda merentangkan tangannya. "Bantuin turun."

Chandra mundur selangkah, merenggangkan kedua tangannya juga. "Sini, lompat."

Wenda bersiap hendak melompat. "Satu ... dua ... tigaaa ... haapp ...." Wenda mendarat mulus ke dalam pelukan Chandra.

Chandra menurunkan Wenda dari gendongannya. "Mandi ya, gue tunggu di luar," tandas Chandra kemudian berlalu ke luar dari kamar.

Tanjung Enim, August. 30. 2020
Re-publish, September. 15. 2020
Republish, Februari. 16. 2021

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top