10 // Gara-gara Dhika
Chandra berdiri di samping tempat tidur, netranya menatap Wenda yang masih terlelap. Garis senyum tertarik ke atas sesaat. Dia masih tak percaya, gadis yang dulu menjadi sahabatnya kini berubah status menjadi istrinya.
Sekelebat kebersamaan mereka saat masih menjadi sahabat terlintas di benak Chandra. Seperti saat pertama kalinya Chandra mendekati Wenda untuk menjadi temannya.
Saat itu mereka masih kelas lima SD. Wenda yang menunggu sang kakak memutuskan untuk duduk di taman sekolah. Dhika yang sudah kelas enam harus menerima beberapa jam pelajaran tambahan.
Sementara Chandra sedang menunggu dijemput supir pribadinya. Meski satu kelas, Chandra hanya mengenal Wenda, tidak begitu dekat.
Langkahnya terayun mendekati Wenda. "Wen, kamu belum pulang?" tanya Chandra.
"Aku lagi nunggu Kak Dhika."
"Kita main ke sana, yuk," tunjuk Chandra pada sebuah kolam kecil berisi ikan yang dipelihara penjaga sekolah.
Wenda mengangguk antusias. Mereka bermain, berlarian dengan riang seperti anak SD seusianya. Sampai panggilan dari Pak Dirman—satpam sekolah—menginterupsi mereka. Chandra sudah ditunggu supirnya di depan gerbang sekolah.
Di hari berikutnya, Wenda tidak merasa kesepian lagi saat menunggu Dhika keluar kelas, akan ada Chandra yang menemaninya. Semakin hari mereka semakin akrab. Mereka melanjutkan SMP yang sama.
Meskipun Wenda dan Chandra sudah dekat. Namun, Wenda masih bergantung pada Dhika, itulah sebabnya dia selalu ingin di sekolah yang sama dengan kakaknya.
Wenda mengikuti Dhika ke mana pun saat jam istirahat, yang mau tak mau Chandra pun ikut mengekori ke mana Wenda dan Dhika. Baginya berada di samping Dhika adalah tempat teraman—meski kadang menyebalkan.
Semua tetap berjalan seperti biasanya, Chandra yang selalu menempeli ke mana Wenda pergi, selalu menjaga Wenda, yang selalu mengalah saat berdebat. Sampai ... Sonya hadir.
Sonya adalah siswi pindahan dari Bandung di kelas Wenda dan Chandra pada semester ke dua. Awalnya Dhika berniat mendekati Sonya dengan memperalat Chandra mencari informasi tentang Sonya. Aneh bukan? Kenapa tidak minta bantuan Wenda. Toh, mereka di kelas yang sama.
Dua minggu Chandra mendekati Sonya. Saat semua informasi sudah Chandra dapatkan, seperti apa yang disukai Sonya, hobinya, makanan kesukaannya. Chandra melaporkan kepada Dhika. Namun, di luar dugaan. "Gue rasanya belum mau pacaran, Chan. Gue mau jual kopi racikan gue. Lo aja yang macarin," ucap Dhika pada saat itu.
Kan, kampret!
Selain Wenda, tidak ada anak perempuan lain yang dekat dengan Chandra. Layaknya remaja labil yang ingin mencoba tantangan, dia berpikir tidak ada salahnya mencoba.
Satu minggu Chandra dan Sonya menjadi kekasih, seperti remaja muda yang baru mengenal pacaran Chandra banyak menghabiskan waktu bersama Sonya. Keberadaan Wenda sejenak terlupakan. Tidak ada protes dari Wenda. Sampai sesuatu hal terjadi membuat Chandra merasa bersalah.
"Chan, gue boleh bareng lo nggak pulang sekolah? Soalnya Kak Dhika mau ngerjain tugas bareng temen-temennya."
"Hmm. Sori ya, Wen. Gue mau jalan sama Sonya ke toko buku pulang sekolah."
"Ya, udah, deh. Gue naik angkot aja."
Tidak ada yang ganjil memang, sampai saat sore HP Chandra—yang seharian mati—mendapatkan pesan singkat dari Dhika, mengabarkan Wenda ada di rumah sakit karena kecelakaan sepulang sekolah dan memberi tahu alamat rumah sakitnya.
Chandra panik setengah mati, tanpa pikir panjang dia melajukan motornya ke rumah sakit yang di maksud Dhika. Sesampai di sana, Chandra berlarian di koridor menuju IGD, netranya tidak sengaja mendapati Dhika, duduk di bangku panjang berwarna putih di depan sebuah ruangan. Chandra melirik papan nama yang tergantung di atas ruangan, 'kamar jenazah'.
Langkahnya dipercepat menuju Dhika. "Kak, gimana Wenda?"
Dhika mendongak menatap Chandra, wajah Dhika berubah sendu. "Chan, sabar, ya. Ini cobaan buat kita. Wenda Chan, Wenda di sana," tunjuk Dhika pada ruangan di depannya.
Tubuh Chandra lemas, kakinya diseret menuju pintu kamar jenazah. Terduduk di lantai dingin depan pintu ruangan itu. Wajahnya sudah pucat.
Dhika mendekati Chandra, berjongkok di depan Chandra sembari menepuk pundak Chandra. "Chan," panggil Dhika.
Chandra menatap lurus wajah Dhika. "Wenda udah nggak ada, Kak?"
"Iya Wenda udah nggak ada, tapi ... bohong!"
"Ma-maksudnya, Kak? Wenda nggak jadi meninggal?"
"Enggak bohong juga, sih. Wenda emang udah meninggal—kan ruang IGD pindah ke ruang inap."
Pupil mata Chandra membesar, dia tercengang dengan lelucon Dhika.
Bisa-bisanya adek sendiri dijadikan bahan bercanda. Kakak laknat, emang! Kalo buang kakak temen sendiri hukumnya halal udah gue buang juga ini makhluk sisa Tuhan nyiptain cicak.
"Terus ngapain Kakak di sini?" geram Chandra.
"Tadi gue di kamar Wenda, tapi berisik ada teman-temannya ngegosip. Gue mau konsentrasi buat mikirin dagangan gue," tandas Dhika tanpa merasa bersalah.
Dhika dan Chandra sudah menuju ruang rawat inap Wenda. Wenda yang duduk di atas tempat tidur dengan beberapa balutan perban di tangannya. Memang tidak separah yang digambarkan Dhika, Wenda mendapat jahitan pada lengannya. Wenda diserempet pengendara sepeda motor saat hendak menyeberang jalan.
Chandra mendekati Wenda, teman-teman yang di maksud Dhika sudah tidak ada, tinggal bunda yang masih di sana. Melihat kedatangan Chandra, bunda pun beringsut meninggalkan kamar inap Wenda.
"Maaf, ya, gue telat," sesal Chandra yang sudah mengelus pipi Wenda.
"Nggak apa-apa, kok." Wenda tersenyum.
"Jangan senyum gitu, Wen. Gue jadi semakin bersalah." Chandra menunduk dalam.
"Maaf, ya, Wen," ulang Chandra, yang tidak diketahui Wenda ada setitik butiran bening luruh dari kelopak mata Chandra bersamaan ucapan maafnya.
Sejak kejadian itu, Chandra memutuskan waktunya bersama Sonya hanya di sekolah, itu pun terkadang Wenda ikut bergabung. Untuk hari Sabtu dan Minggu Chandra menghabiskan waktunya bersama Wenda.
Sudah seperti raja minyak beristri dua.
Ya, terkadang ada sesekali Chandra jalan bersama Sonya di hari Minggu. Itu pun disuruh Wenda, karena dia merasa tidak enak dengan Sonya yang selaku pacar Chandra.
Bagi Chandra, dia menyayangi Wenda bukan sekadar sebagai sahabat, tetapi seperti saudara perempuannya yang harus dia jaga dan lindungi.
Semua itu berjalan sampai mereka lulus SMA, sampai Sonya memutuskan hubungannya bersama Chandra dengan alasan pendidikan.
Lamunan Chandra tentang masa lalunya tersentak, saat mendengar suara erangan. Wenda menggeliat dalam tidurnya.
Wenda menendang selimutnya hingga terjatuh di lantai. Kakinya satu terlipat. Tangannya bergerak menyingkap piamanya sebatas perut, hingga memperlihatkan kulitnya yang putih. Telapak tangannya mengelus perutnya sendiri.
Chandra berdecak melihat tingkah laku Wenda saat tidur. Chandra memungut selimut yang terjatuh, menurunkan lagi piama Wenda yang tersingkap, dan membenahi posisi tidurnya lalu menutupi kembali tubuh Wenda dengan selimut.
Chandra duduk di bibir tempat tidur. Tangannya yang dingin mengelus pipi Wenda. Bini gue tidur kok nggak ada anggun-anggunnya, sih.
Wenda kembali menggeliat, tidurnya terganggu, bulu matanya yang lentik perlahan bergerak. Matanya mengerjap menyamakan cahaya yang masuk. Netranya menatap Chandra, meski sesekali tertutup.
"Jam berapa sekarang?" tanya Wenda dengan suara serak khas bangun tidur.
"Masih setengah enam," jawab Chan santai.
Mata Wenda sontak terbuka sempurna, wajahnya diputar ke arah Chandra di pinggir tempat tidur. Wenda memperhatikan Chandra lekat dari kepala hingga ke bawah.
"Lo udah mandi? Jam segini? Ngapain?"
"Kita hari ini mau ke kampus, Wen. Lo lupa?" Chandra menjelaskan.
"Gue inget. Inget banget malahan. Cuma, 'kan jam 10 nanti. Ini masih kepagian! Cepet kasih tahu gue lo kenapa?" desak Wenda. "Atau jangan-jangan lo ... mandi wajib? Mimpi basah ya lo semalem?"
Chandra beringsut naik ke tempat tidur. Duduk menghadap Wenda yang sudah bangkit dari posisi tidurnya, tangan Chandra mencubit pipi Wenda singkat.
"Tahu dari mana, sih, tentang mimpi basah?"
"Ya, 'kan waktu pelajaran agama, gurunya bilang gitu, berarti udah akil balig."
"Giliran bagian itu aja lo inget, yang lainnya nggak nyangkut di otak."
Mata Wenda memicing, tatapannya menuntut jawaban Chandra. "Chan, kenapa?"
"Gara-gara Kak Dhika," cicit Chandra hati-hati.
"Kenapa itu kambing?" Emosi Wenda sudah merangsak naik saat nama Dhika disebut.
"Semalem Kak Dhika ngasih gue ini, kan," tunjuk Chandra sembari mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Permen karet semalem?" Wenda mengernyitkan dahinya, tangannya menarik satu lembar permen dari dalam kotak kecil persegi. Pembungkus berwarna silver itu sudah Wenda buka hendak memakan permen itu. Namun, tangannya di cekal Chandra.
"Eh, jangan dimakan. Baca dulu!" Chandra mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar persis seperti permen yang sedang Wenda genggam.
Mata Wenda melotot membaca barisan kalimat yang ada di sana.
"Bangke! Ini permen buat ... itu? Kurang ajar tukang kopi. Dia dapat dari mana barang laknat ini?"
"Kata Kak Dhika, dapet dari temennya yang selebgram. Barang endorse. Kak Dhika makai jasa temennya itu buat promosiin kafenya."
Barang laknat yang di maksud Wenda adalah sejenis pembangkit libido yang dikemas dalam bentuk permen karet, yang banyak dijual di online shop.
Wenda tergelak, tatapan jahilnya tertuju ke Chandra. "Pantesan ... semalem, lo? Jangan bilang nahan bira—" Belum selesai ucapan Wenda. Tangan Chandra sudah membekap mulut Wenda.
"Ngomong apa, sih." Chandra memeluk Wenda dari samping sembari mengusalkan wajahnya di pundak Wenda, gemas.
Bekapan dari mulut Wenda sudah dilepas, tapi tidak dengan posisi pelukannya. Chandra menumpukan dagunya di bahu kanan Wenda. Tangan kiri Chandra menepuk-nepuk pelan puncak kepala Wenda. Sementara Wenda sibuk memainkan ponsel Chandra. Menjelajahi sosial media milik Chandra—suaminya.
"Ngapain buka instagram gue?"
"Ngecek siapa tahu lo masih berhubungan sama Sonya."
Hati Wenda menghangat, entah sejak kapan sosial media milik Chandra sudah bersih dari foto-fotonya bersama Sonya, hanya tersisa foto dirinya dan Wenda sejak masih bersahabat hingga terakhir foto usai ijab kabul mereka.
"Lo cemburu, Wen?" tanya Chandra usil.
"Nggak!" tegas Wenda.
"Ngaku aja sih, Wen. Kalo lo cemburu. Gue gelitikin nih kalo nggak mau ngaku."
"Ahh ... lepasin, Chan. G-geli tau!" ucap Wenda di sela-sela menghindari tangan Chandra yang bermain di pinggang Wenda.
Chandra terus melakukan aksinya tanpa ampun. Wenda sudah kehabisan daya untuk menghindar. Dengan kekuatan yang tersisa Wenda mendorong tubuh Chandra hingga ... terjerembab jatuh ke lantai.
"Sakit, Wen," adu Chandra yang terduduk di lantai.
"Sukurin. Udah gue bilang berenti!" tandas Wenda.
Agustus 2020.
Re-publish, 13 September 2020
Republish, 14 Februari 2021
Salam Literasi
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top