09 // Sempit
"Dek, boleh, ya. Kakak pinjem mobil lo."
Dhika masih berusaha, membujuk Wenda agar mau meminjamkan mobil yang dia dapat dari Lay, sebagai hadiah pernikahan.
"Nggak!" Entah jawaban ke berapa, Wenda tetap sama.
Dhika duduk di bawah beralas karpet, sementara Wenda duduk bersila di atas sofa dengan memeluk piring kue kering—kesukaan Wenda—yang dibuat langsung oleh tangan bunda.
"Ayolah, Dek. Gue butuh kendaraan buat jalan ke tempat supplier kopi. Lagian lo, 'kan belum bisa nyetir," ujar Dhika yang masih berusaha membujuk hingga napas terakhir, mungkin.
"Kenapa nggak minta sama ayah? Nggak berhasil ngebujuk ayah? kurang sajen mungkin lo."
"Kata ayah, nanti kalo gue udah umur dua puluh. Gue genap dua puluh tahun masih berapa bulan lagi, Dek. Gue butuh sekarang buat usaha," papar Dhika yang memasang wajah hampir frustrasi.
"Kenapa nggak minta atau pinjem duit sama Bang Lay? Terus lo beliin mobil. Nanti kalo usaha lo udah maju, lo bayar atau nyicil," usul Wenda sembari memasukkan kue kering ke mulutnya.
"Gue nggak enak sama Bang Lay, waktu buka kafe ini juga modal awal dari Bang Lay, masa minta lagi," ucap Dhika tertunduk dalam.
Jauh dari dalam hatinya, Wenda merasa iba terhadap Dhika. Menyebalkan bagaimanapun Dhika, Wenda tidak akan tega melihat kakaknya seperti ini. Wenda tidak sekejam itu.
"Udah, pinjemin aja. Toh, lo juga 'kan sama gue. Ntar gue yang anterin kalo lo mau pergi-pergi," imbuh Chandra dengan tangannya meraih kue kering di tangan Wenda.
Wenda menghela napas panjang. "Oke. Gue pinjemin, tapi cuma sampai ayah beliin lo mobil," ujar Wenda.
Dhika mendongakkan kepalanya, menatap Wenda tak percaya. "Serius, Dek? Gue boleh pake mobil lo?"
"Iya, tapi ingat jangan sampai lecet. Kalo lecet kafe lo gue bakar."
Dhika terkekeh mendengar ancaman Wenda. "Galak banget sih, Dek." Dhika beranjak dari posisinya, tangannya memegang kedua bahu Wenda menariknya ke dalam pelukan. "Makasih, Dek. Gue sayang lo. Pokoknya lo kalo ke kafe gue, mau makan minum apa pun, gratis!"
Dhika melonggarkan pelukannya, bibirnya sudah mendarat di pipi Wenda.
"Ah! Jijik banget. Nggak usah nyium-nyium juga kali. Udah sana, lepasin nggak?" protes Wenda karena pipi kanannya dicium Dhika singkat.
Dhika melepaskan pelukannya, bangkit dari posisi duduknya. "Ah, iya. Ini buat lo aja, Bro. Kalo masih kurang gue banyak, dikasih temen. Barang endorse." Dhika memberikan lagi permen karet yang sama pada Chandra.
"Yes! Gue ada mobil!" seru Dhika sembari berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
"Mobil gue, oi," teriak Wenda menimpali.
"Chan, gue dicium tukang kopi," adu Wenda dengan tangan memegang pipi kanannya.
"Nggak apa-apa. Kak Dhika udah suntik rabies, 'kan?"
"Belum, gimana dong? Gue takut tetanus, nih?"
Chandra tergelak mendengar ucapan Wenda tentang kakaknya itu. "Terus, mau di apain? Sini gue buang kumannya."
Mata Wenda membesar dengan apa yang Chandra lakukan, Chandra mengecup singkat pipi Wenda.
"Lo ngapain?"
"Ngasih nafkah batin," celetuk Chandra tanpa dosa. "Atau mau lebih nafkah batinnya?"
Mata Wenda memicing, telapak tangannya tergerak memukul bibir Chandra.
"Kok, dipukul sih, Wen."
"Mulutnya nggak ada akhlak kalo ngomong," balas Wenda.
"Halal, Wen. Halal. Justru nggak ada akhlak kalo gue ngasihnya ke cewek lain."
Mata Wenda melotot tajam, bantal sofa entah sejak kapan dia raih. Tiba-tiba saja sudah melayang ke kepala Chandra.
"Akh, sak—" Belum ucapan Chandra selesai sudah dipotong Wenda.
"Coba aja kalo berani, gue pastiin lo hidup nggak berguna. Gue potong habis," cicit Wenda menunjuk arah bawah Chandra dengan gerakan bola matanya.
"Nggak jadi, dong. Ngeri banget gue ngebayangi tanpa ini."
***
"Wen, kalo takut nggak usah ditonton. Cari film lain aja," tegur Chandra yang sudah mulai jengah.
Pasalnya sejak tadi Wenda ingin menonton salah satu film horor di kamarnya, sebelum mereka tidur. Namun, bukannya menonton dia justru bersembunyi di balik punggung Chandra.
"Tapi seru ini filmnya, Chan," sahut Wenda yang mengintip dari balik bahu Chandra, menyaksikan adegan film pada layar televisi.
"Seru dari mana, sih? Dari tadi lo kebanyakan ngumpet. Ini kerah baju gue lama-lama bisa bunuh gue tahu nggak."
"Lebay banget, sih. Gimana ceritanya kerah baju bisa bunuh lo."
Chandra menghela napas panjang. Dia tidak ingin melanjutkan perdebatan di antara mereka. Sudah tahu hasilnya. Wenda's the winner.
"Chan, huntunya keluar tuh, Chan. Serem banget, ih!" seru Wenda wajahnya sudah di balik lengan kokoh Chandra.
Chandra menepuk-nepuk pelan lengan Wenda. Tubuhnya terhuyung ke kanan. "Wen. Wen, ini lepasin tangan lo narik kaus gue. G-gue nggak bisa napas i-ini, Wen," ucap Chandra dengan terbata karena kerah bajunya dicengkeram Wenda hingga membuat lehernya tercekik.
"Oh. Sori, Chan. Sakit ya?" Tangan Wenda mengelus bekas cekikan di leher Chandra.
"Menurut ngana? Lagian hantu, Wen. Hantu. Bukan huntu. Udah, ah. Elusan tangan lo buat gue merinding." Chandra menyingkirkan tangan Wenda dari lehernya.
Wenda menyeringai. "Habisnya, kata orang nggak boleh nyebut mereka secara gamblang, nanti mereka bisa dateng, Chan."
Chandra mendekatkan bibirnya di telinga Wenda. "Iya mereka bisa dateng, makanya tidur udah malem ini."
Wenda melirik jam digital di nakas sampingnya, sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Ya udah, deh. Ayo kita tidur."
Wenda merebahkan tubuhnya, Chandra mematikan televisi lalu menyimpan remote TV di nakas sampingnya, menarik selimut sebatas dada.
Wenda memeluk guling di tengah-tengah mereka. Seperti malam sebelumnya, meski sudah berstatus suami istri. Di antara mereka akan ada bantal guling sebagai pembatas.
"Chan, gue masih takut. Masih inget huntu di film tadi."
Wenda menarik selimut, hingga menyisakan kepalanya. Matanya nanar seolah waspada pada sesuatu yang akan terjadi.
"Ini guling ngapa juga warna putih. Serasa meluk poci, 'kan gue jadinya," keluh Wenda.
"Apaan lagi itu poci," gerutu Chandra.
"Itu ... yang dibungkus kain putih, yang kepala sama kakinya dikuncir," jelas Wenda.
"Oh, itu ... poco—"
"Jangan disebut, nanti dia denger." Wenda membekap mulut Chandra agar tidak melanjutkan ucapannya.
"Ya udah, gulingnya tarok di belakang lo aja."
Wenda menuruti usul Chandra. Kini di antara mereka sudah tidak ada pembatas, Wenda merapatkan tubuhnya pada Chandra. Kepalanya dia sembunyikan di lengan Chandra.
"Wen, lo mancing gue?" tanya Chandra yang sudah mulai salah tingkah karena ulah Wenda.
"Mancing apaan sih, Chan. Lo kata kita di kolam ikan," gerutu Wenda tidak terima.
"Tangan lo, Wen. Tangan lo dari tadi ngeraba kemana-mana," beber Chandra memprotes tangan kanan Wenda yang mencengkeram kaus bagian pinggang Chandra.
Sementara jari lentiknya bergerak membentuk pola acak pada dada Chandra, sukses membuatnya panas dingin sekaligus pening.
"Ya, maaf. Gue nggak sadar, Chan. Bawaan masih takut, nih." Wenda mendongak menyengir.
Chandra sedikit menundukkan wajahnya. "Nggak usah nyengir! Gue kasih nafkah batin juga lo ntar," desis Chandra terdengar kian berat.
Wenda membuat jarak di antara mereka. Dia beranjak, tangannya bergerak memukul bibir Chandra dengan empat jarinya.
"Mesum banget, sih. Heran gue."
Kekehan Chandra terdengar pelan di telinga Wenda. Dia mengangkat alisnya kemudian bertanya, "Mau nggak?"
"Nggak!" Tangan Wenda kembali memukul bagian wajah Chandra. Kali ini pukulan kecil itu dia daratkan di dahi Chandra.
Lengan Chandra menarik pinggang Wenda hingga membuatnya mendekat dan jatuh di atas dada bidang Chandra. Tangan Chandra menyingkirkan rambut Wenda yang jatuh menutupi wajahnya. Membawa helaian itu ke belakang telinga.
Wenda memberontak hendak beranjak dari posisinya. Namun, gerakan cepat Chandra membalik keadaan. Kini Wenda sudah berada di bawah kungkungan Chandra. Tangannya di sisi kepala Wenda, menopang tubuhnya agar tidak menindih Wenda.
"Mau ngapain lo? Jangan gila ya, Chan," sungut Wenda yang tak diindahkan oleh Chandra.
Wajah Chandra sudah mengikis jarak, satu kecupan hangat mendarat mulus di pelipis Wenda. Wenda hanya bergeming, matanya mengerjap berulang. Satu telapak tangan Chandra sudah mengelus rahang Wenda, kecupan lainnya dia daratkan di kedua pipi Wenda, ke dua mata Wenda.
Seperkian detik berikutnya pupil mata Wenda membesar saat Chandra mengecup bibirnya. Meski singkat terasa hangat dan sukses membuat Wenda kehilangan kemampuan berbicara.
Meski jam digital sudah menunjukkan hampir pukul satu malam Wenda dan Chandra belum juga mengistirahatkan tubuh mereka.
"Wen, jangan gerak dong. Susah ini gue. Sempit nih," cicit Chandra.
"Ya terus gimana? Gue risih, nggak nyaman tahu nggak. Gue 'kan belom pernah, Chan."
"Lo kalo gerak terus, gue bisa-bisa jatuh ini ke bawah. Lagian tempat tidur lo kecil banget, sih."
"Bokap gue bukan kayak papi, Chan. Yang bisa beli tempat tidur luas kayak di kamar lo. Lagian badan lo aja yang kegedean," gerundel Wenda karena sejak tadi Chandra memprotes tempat tidur Wenda yang hanya berukuran queen size. Terasa sempit katanya.
Chandra berinisiatif menyingkirkan bantal guling yang kembali Wenda letakkan di antara mereka. Wenda memang selugu itu, dia tidak menyadari di balik inisiatif Chandra tersirat tujuan lain. Seperti tidur dengan memeluknya.
Nafkah batin belum dapat, meluk aja dulu, deh. Sabar, step by step.
Tanjung Enim, 16 Agustus 2020.
Re-publish, 12 September 2020
Re-publish, 23 Februari 2021
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top