Sahabat Kedua
Kucing. Aku suka hewan itu.
Dulu, saat aku masih berseragam putih biru tingkat kedua, aku pernah menemukan seekor anak kucing dekat semak belukar di bawah pohon mangga. Kondisinya hampir sama mengerikannya denganku. Kami sama-sama basah. Cuma bedanya, aku basah karena kepalaku diguyur minuman bersoda oleh tangan-tangan iseng, sedang kucing itu basah karena baru berjuang melawan dalamnya parit. Aku sempat memandanginya sejenak. Sepertinya kami punya banyak kesamaan, dan mungkin bakalan cocok satu sama lain, pikirku.
Karena kasihan melihat keadaan kucing kecil itu, akupun berinisiatif untuk membawanya pulang. Sesampainya di rumah, aku meminta izin pada ibuku untuk memeliharanya. Syukurlah, beliau tidak keberatan dengannya.
Lantas kucing itupun kuberi nama Bro. Alasannya sudah pasti karena dia itu laki-laki. Bro termasuk ras kucing kampung. Maka tak heran kalau bulunya tak sepanjang dan selebat keturunan anggora. Di samping itu, warna bulu Bro begitu pekat, hitamnya selegam arang. Sedang matanya hijau menyala layaknya lampu neon. Jika dia membuka mata, orang awam akan salah mengira kalau dia adalah hantu atau kucing penyihir dan semacamnya. Berbeda denganku. Karena menurutku, Bro adalah kucing bermata paling indah yang pernah kukenal. Dan satu lagi, aku menyayanginya.
Dia sahabatku, yang selalu siap sedia mendengarkan kisah-kisah dan keluh kesahku. Dia sahabatku, yang selalu mau mendekat di saat yang lain menjauh. Dia sahabatku, yang menjadi sumber penyemangatku setelah lelah melalui hari-hari panjang di sekolah. Dia sahabatku, yang menemaniku dari jaman aku masih jadi bahan olok-olokan di SMP sampai aku menjadi siswa normal pada jenjang berikutnya. Dia sahabatku, bisa jadi satu-satunya, dan takkan pernah tergantikan, sampai kapanpun.
Namun sayang, dua tahun kemudian aku harus melihat mayatnya tergeletak di jalanan aspal depan rumah. Darah dan isi perutnya berceceran di sana. Membuatku yang tak tahu apa-apa hanya bisa menangis histeris meratapi kepergiannya.
Belakangan kuketahui kalau pengendara motor bermata 'rabun' yang pernah menabrak kucingku dulu adalah seorang siswa dari SMA QWERTY. Terkejut bukan main aku waktu pertama kali mengetahui fakta tersebut. Ternyata kami satu sekolah, bahkan satu kelas, dan aku juga mengenalnya. Aditya, namanya.
Harus kukatakan kalau dia sangat menyesal. Tak dapat diragukan lagi kalau dia memang tulus meminta maaf. Dia bahkan bersedia kalau harus mengganti kucingku --yang telah mati-- dengan kucing yang baru. Namun sayang, dengan tegas kumenolak tawarannya itu. Bagiku, kucingku hanya ada satu, dan itu adalah Bro. Jadi bagaimana mungkin dia bisa seenaknya mengganti posisi Bro-ku dengan kucing pasaran dari toko hewan? Oh tidak bisa. Aku juga tidak mau menerimanya.
Kemudian berpindah hobi. Dari yang semula pecinta kucing kini akupun berubah menjadi pecinta buku. Oke, sebut saja yang satu ini kulakukan hanya untuk pelarian semata. Ya, awalnya aku hanya iseng mampir ke perpustakaan dan berpikir untuk mencoba satu-dua buku untuk dibaca sesampainya di rumah. Tapi semakin ke sini, semakin kumerasa, bahwa ternyata membaca buku tidak buruk juga. Sama asyiknya dengan mengelus bulu lembutnya si Bro. Lagipula, membaca satu buku membuatku seperti menemukan dokter pribadi. Singkat kata, karena kuanggap membaca itu mampu memberikan dampak positif bagi 'kerileksan otakku', maka aktivitas itu pun terus kulanjutkan hingga sekarang. Dan lambat laun, berkat selusin buku yang pernah kubaca, aku berhasil melupakan kesedihanku; terhadap kematian Bro.
Tapi ya yang namanya nasib, siapa sangka. Ibarat hilang satu jerawat timbul bisul di jidat; lepas satu kegalauan malah ditimpa sepuluh kejengkelan. Sudah bagus aku bisa melupakan kematian Bro, kucingku. Sudah bagus aku bisa menjadikan buku sebagai pelarian serta pelipur lara. Cuma yang menjadi masalahnya di sini adalah, kecintaanku kepada buku rupanya juga turut mengantarkanku selangkah lebih akrab dengan Aditya.
Bagaimana bisa hal ini terjadi? Lah, dia itu kan, pelanggan setianya perpustakaan sekolah. Sejak pertama kali masuk, hampir setiap hari dia berkunjung ke sini. Dan tujuannya bukan untuk cari WiFi saja loh, tapi untuk meminjam buku.
Wow, sebuah fakta yang sangat mengejutkan, bukan?
Yah, sebenarnya aku masih suka jengkel sih, kalau melihat wajahnya. Tapi kan, masalah di antara kami sudah selesai tuntas. Toh, bukan menjadi hakku untuk mengurusi apa yang ingin dia lakukan di tempat ini.
Hari demi hari berlalu. Semula, semuanya kelihatan normal-normal saja. Hubungan kami yang sebatas penabrak kucing dan pemilik kucing, menjadi penyebab utama mengapa kami sangat canggung saat hendak bertegur sapa.
Tapi kemudian, ada satu kejadian... yang sepele, namun berdampak besar bagi kelangsungan hari-hari damaiku.
Kejadiannya bermula ketika aku tidak sengaja menabrak cowok jangkung itu saat perjalanan hendak ke perpustakaan. Cowok yang satu itu memang berbakat dalam hal tabrak-menabrak. Akibat insiden itu bukuku pun terjatuh, dan payahnya aku, karena dialah yang terlebih dulu memungutnya sebelum diriku. "Cih, dasar cewek jaman sekarang, sukanya baca bacaan yang receh. Sangat disayangkan ya, padahal ada bacaan yang jauh lebih bagus ketimbang novel garing seperti ini," komentarnya waktu itu. Oh, sombong sekali dia. Orang idiot sepertinya mana tahu arti kata 'baper'?
Cih, dasar.
Akupun merebut paksa benda tersebut darinya. "Diam kau, Aditya. Pendapatmu sangat tidak diperlukan saat ini." Sempat kulirik buku yang ada pada sebelah tangannya yang kosong. Hampir satu tahun bersekolah di SMA QWERTY, dan satu kelas dengannya membuatku sedikit-banyak hafal buku-buku pinjamannya. Dan kali ini ia membawa Biografi Adolf Hitler. Yang jadi pertanyaanku adalah, untuk apa dia penasaran dengan kehidupan pemimpin ditaktor dari jaman baheula itu? Apa pula hubungannya dengan masa sekarang? Memangnya dia itu kerabatnya apa? Dasar, sok bijak.
Anggapan skeptisku terhadap sosok Aditya belum cukup sampai di situ. Dia, rupanya sikapnya itu sangat tidak mencerminkan buku-buku pinjamannya. Misalnya saja di kelas. Tak pernah sekalipun kulihat dia bercengkerama dengan tumpukan kertas tebal bernilai historial itu. Malah, setiap kali kuperhatikan, dia lebih sering bermain dengan teman laki-lakinya ketimbang membaca buku.
Tunggu dulu. Apa yang sudah kupikirkan? Aditya, dengan novelnya para profesor? Hah, yang benar saja. Mereka sama sekali tidak cocok. Tidak-cocok! Aku bahkan ragu kalau dia bisa menamatkan prasasti kertas semacam itu.
"Yo, Serena. Ketemu lagi kita, hehehe." Dengan tangan terangkat, Aditya menyapaku di perpustakaan. Aku heran saja, kira-kira apa ya rahasia yang dia sembunyikan hingga sanggup tersenyum berjam-jam seperti itu?
"Mau apa kau di sini? Jangan-jangan kau mengikutiku, ya?" tanyaku agak sinis.
Dan tentu saja, dia langsung mengelak. "Idih, enak saja. Aku hanya mau mengembalikan ini." Ah ya, buku itu. Judulnya masih sama, kondisinya juga masih seperti baru. Oke, aku harus mengaku, dia hebat dalam menjaganya. Jujur, diam-diam aku salut pada orang ini. Untuk cowok serampangan sepertinya, rupanya dia tahu juga tata cara merawat buku pinjaman dengan baik dan benar.
Dan Serena, tolong jangan berlebihan. Singkirkanlah pikiran negatifmu; yang selalu beranggapan kalau dia menguntitmu. Tempat ini perpustakaan. Dan perpustakaan itu tempat umum. Siapa saja bisa datang ke sini. Tidak menutup kemungkinan juga dirinya.
Ya, tapi kan dia... Ah, sudahlah.
"Serena, berapa novel yang sudah kamu baca?" Tiba-tiba dia bertanya disela aktivitasnya mencari buku. Jarinya sibuk meraba setiap buku yang ada di rak. Menatanya dengan cekatan.
Aku yang sedang membaca sedikit terkejut waktu ditanya demikian. Tapi kemudian aku menerawang. "Sekitar... tiga belas, mungkin? Atau... empat belas? Ah, entahlah. Aku juga lupa," bingungku yang tak mau ambil pusing.
Belakangan, aku sudah bisa mengikhlaskan kematian kucingku. Juga, mulai berteman baik dengan 'pembunuhnya'. Eh, maksudku bukan 'berteman baik' yang seperti itu. Hanya saja, aku sudah benar-benar memaafkannya. Lagipula, aku juga tidak bisa terus-terusan dendam padanya. Soalnya, ketimbang teman-teman sekelas lainnya, Aditya adalah satu-satunya orang yang rutin mengajakku berbincang, meski hanya basa-basi. Yah, walau hal tersebut hanya terjadi di dalam perpustakaan, bukannya di kelas.
"Oh ya, Serena. Kamu mau mencoba ini?" Dia mengacungkan sebuah buku klasik karya penulis legenda dari abad pertengahan. Sontak akupun dibuat bingung memandangnya.
Kutatap Aditya dan buku itu bergatian. Merasa aneh mendengar tawarannya. "Laila Majnun?" bacaku dengan sebelah alis terangkat, memastikan. Dan Aditya-pun mengangguk antusias setelahnya. "Apa kamu yakin kalau itu yang asli?"
"Tentu saja! Aku sudah pernah membacanya sekali. Dan ini benar-benar asli," sahutnya tidak mau kalah.
"Tunggu. Apa? Kamu sudah membacanya? Serius?" Kudapati dia mengangguk cepat. "Hmm, kupikir kamu cuma doyan sama biografi tokoh-tokoh penting atau ensiklopedia dunia. Baru kutahu kalau kamu suka baca cerita romantis seklasik ini."
"Makanya, sering-sering ngobrol dong, biar tahu."
Ha, lucu sekali. Saking lucunya, aku sampai mencebikkan bibir.
Untuk kesekian kalinya, dia mengulum senyum. "Sebenarnya, aku sudah membaca Laila Majnun waktu kelas dua SMP. Dan begitu melihat buku ini lagi, rasanya jadi seperti de ja vu."
Akupun hanya membulatkan bibir seraya menggumamkan kata 'oh' setelah dia mengatakan hal itu. Namun sedetik kemudian, keraguanku pun kembali muncul. "Tapi Dit, darimana kamu tahu kalau buku ini yang asli?" tanyaku. Ya, sedikit mengetes seberapa banyak pengetahuannya tentang karya-karya klasik, kurasa tidak masalah. "Apa cuma karena tata bahasanya? Atau, nama penulis yang tercantum di bukunya?"
"Bukan. Tapi karena sebait syair yang tercantum di dalamnya. Aku pernah mencari tahu di internet, kemudian mencocokkannya sendiri dengan isi buku. Dan ternyata mirip. Nah, dari situlah aku yakin kalau buku ini benar-benar asli."
Aku mengangguk. Masuk akal juga, pikirku.
"Kamu mau mencoba membacanya?" tawarnya lagi, setelah sekian lama terbalut bisu. Tumben, dia bisa berbicara dengan normal, tanpa perlu cengengesan atau memasang tampang menyebalkan. Sudah begitu nadanya sopan pula. Apa-apaan ini? Apa mungkin ini pengaruh dari nuansa perpustakaan? Atau, hanya dia saja yang kebetulan menampakkan wujud kedewasaannya? Entahlah.
Seringaiku mencuat. Dengusanku keluar. "Tidak. Terima kasih," jawabku mantap.
"Kenapa? Bukankah kamu suka cerita romantis?" Nekad nih, anak.
"Ini bukan romantis, Dit. Tapi tragis," keukeuhku.
Dia berdecak. "Begitu ya. Sayang sekali, kamu tidak mau membacanya. Padahal menurutku ini adalah karya sastra paling legendaris dan paling berkesan yang pernah kubaca."
"Oh ya? Kalau kamu yang bilang begitu, aku jadi semakin ragu. Maksudku, ragu apakah otak kecilku ini bisa mencernanya atau tidak."
"Kamu kan, pintar. Mana mungkin tidak bisa. Lagipula, kalau belum dicoba, siapa yang tahu, ya kan?"
Pemirsa sekalian, ingatkan aku kalau Aditya adalah orang terngeyel yang pernah kutemui. Ingatkan aku lagi kalau Aditya adalah sosok yang suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Ingatkan aku juga, kalau dia adalah pembunuh kucingku, bukan penggemar sastra berumur puluhan dekade atau peminat biografi orang-orang penting. Sekali lagi, ingatkan aku. Karena kurasa setelah ini aku bakal melakukan reset ulang otakku.
Belajar bersabar dari kejadian ini. "Duh, jangan memaksaku deh, Dit. Sudah kubilang, aku tidak mau membacanya. Sekali kukatakan tidak, maka itu artinya tidak." Kuambil buku tua bersampul kinclong itu dari tangannya. Lantas kumasukkan buku tersebut dalam rak yang seharusnya. Dengan begini, beres.
"Dasar payah. Serena itu... benar-benar mem~bo~san~kan~," dengungnya meledekku. Yang kemudian kutanggapi dengan putaran bola mata, jengah. Bodoh amat, pikirku.
Dan yang terjadi selanjutnya, tepat setelah percakapan kami di perpustakaan tempo hari, Aditya belum menampakkan batang hidungnya meski hanya sekali. Aku penasaran, padahal kami teman sekelas. Belakangan kuketahui dari surat izin yang dia titipkan pada sekretaris, ternyata dia sakit. Agak mengherankan, sekaligus mengkhawatirkan; ternyata orang pecicilan sepertinya bisa sakit juga, toh
Oke. Di hari pertama kucoba mengontrol diri untuk tidak menghubungi. Maklumlah, antara gengsi dan malu, beda-beda tipis. Namun di hari kedua, kubertekad untuk mencari tahu. Lalu kudapati fakta bahwa kini dia tengah di rawat di salah satu rumah sakit swasta di perbatasan kota. Dan entah bisikan apa yang sampai ke telinga, tiba-tiba saja, untuk pertama kalinya.. aku peduli dengan orang lain yang bukan siapa-siapaku.
Meski sesampainya di rumah sakit sempat timbul keraguan, namun waktu kuingat kembali tujuanku sebelum datang kemari, akupun sepakat untuk terus melangkah.
"Permisi." Berkat sedikit bantuan dari petugas resepsionis, akupun berhasil menemukan ruangannya. Semula aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Dia yang selama ini bersinar terang, kini harus meredup di antara selang infus dan kawanannya. Tak ada senyum usil atau tawa idiot seperti biasanya. Hanya ada sikap anteng dan semangat yang meluruh. "H-hai," sapaku canggung.
Dia yang semula sedang berkutat dengan buku sketsanya pun melebarkan mata begitu melihatku. "Serena? Kamu ke sini?" Dari nada bicaranya, dapat kupastikan kalau dia terkejut dengan kedatanganku.
Yang menjadi pikiranku setelah mengecek ruangannya pertama kali adalah, dimanakah orang tuanya? Heran saja, sebab tak ada seorang kerabat pun di sana, hanya ada perawat yang datang untuk mengecek kondisi pasien. Perawat berseragam rapi itu pun tersenyum ramah begitu melihatku, yang kemudian kubalas dengan anggukan pertanda hormat.
Setelah memastikan perawat itu keluar ruangan, lantas akupun mendekat ke arah Aditya.
Dia sedikit mendegakkan punggungnya saat duduk. "Dari mana kamu tahu aku ada di sini?"
Kutaruh sekantung jeruk yang kubawa ke atas meja. Lantas duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia di sana. "Jangan remehkan kemampuan orang introver," sombongku dengan muka datar, yang langsung disuguhinya dengan tawa serak. Gila, sebegitu parahnyakah dia sakit? Sampai-sampai tawanya juga turut berubah. Bagai besi berderit saja, suaranya itu.
"Jadi, di mana ayah-ibumu?" Basa-basi alaku.
"Keluar kota," jawabnya enteng. "Nanti malam baru mereka ke sini."
"Kalau... saudara, bagaimana? Kerabat?" Dia hanya mengedikkan bahu sambil lanjut menggambar. "Aditya, ini seriuskah? Tidak ada yang menemanimu bermalam di sini?"
Sekali lagi dia tertawa. "Mana ada orang sehat yang betah berlama-lama di rumah sakit, Serena?"
Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, aku langsung mengerti. Satu fakta yang berhasil kudapat lewat percakapan basa-basi ini; bahwa sebenarnya Aditya juga sama kesepiannya sepertiku. Tapi, masih mending aku, sih. Ibuku masih mau menemaniku dan jadi pawang curhatku. Tidak seperti orang tua Aditya, yang meski keduanya masih utuh, tapi mereka justru lebih mengkhawatirkan pekerjaannya ketimbang kondisi anaknya --yang tidak tahu kapan pulangnya dari ruang rawat inap.
"Di surat hanya tercantum kata sakit. Tapi untuk kejelasannya, aku ingin tahu langsung darimu. Jadi, bagian mana yang sakit?" Lewat dari sesi basa-basi, kini langsung saja kutanyakan apa masalahnya.
Dia hanya berdeham sambil menepuk dada. "Bukan apa-apa. Cuma radang paru-paru saja, kok," ujarnya.
"Radang paru-paru itu... Apakah itu penyakit yang mematikan?" Dalam ragu kubertanya. Sebut aku polos atau bodoh, tak masalah. Sebab, jujur saja, aku memang tidak begitu pandai dalam hal menganalisa penyakit dalam. Tapi sewaktu melihatnya yang berulang kali menahan batuk itu tentu saja membuatku sedikit merasa ngilu bercampur khawatir.
Dia menyeringai. Masih mendinglah, daripada tertawa patah-patah seperti tadi. "Memangnya kenapa kalau mematikan?" Sumpah ya, kalau dia tidak sedang sakit, mungkin aku sudah menoyor ubun kepalanya itu menggunakan pentungan golf.
"Dit, aku bertanya serius," geramku kali ini. Bahkan di saat seperti ini, bibir kering pucatnya itu masih bisa membuat orang lain kesal.
"Hadeuh, Serena. Pertanyaanmu itu sangat tidak masuk akal. Lagian, mana aku tahu kalau penyakit ini bakal mematikan atau tidak. Kalau kau ingin tahu lebih lanjut, tanya saja sama Pak Dokter sana."
"Ya, maaf. Mana kutahu, aku kan cuma penasaran," gumamku dengan bibir mengerut.
Sepanjang hening yang memekakkan telinga ini berlangsung, hanya ada suara tetesan cairan infus, gesekan pensil Aditya yang menggores kertas, serta deru napas kami yang saling bersahutan. Oh, betapa horornya suasana ini. Sekarang aku jadi tidak suka dengan fasilitas VIP rumah sakit. Minim asupan keramaian, alasannya.
Kulihat Aditya tampak kesusahan meredam batuknya. Berulang kali dia menepuk dadanya dan berdeham. Bisa kubayangkan, betapa sulitnya dia beraktivitas dengan penyakit separah itu.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Pertanyaan bodoh." Hei, inikah jawaban yang pantas kudapat? Menyesal betul aku karena sudah bertanya keadaannya. Percuma juga toh, kalau bertanya baik-baik tapi malah mendapat sahutan ketus seperti ini. Dasar, idiot.
"Baiklah. Akan kuganti pertanyaanku. Jadi, apa yang sedang kamu gambar?"
Dia tersenyum misterius. Sebelah alisnya terangkat "Menurutmu?" Kemudian diangkatnya hasil karya buatannya yang hampir jadi. "Coba tebak, ini apa?"
Untuk sesaat akupun terpana. Dia benar-benar pandai menggambar. Meski belum jadi benar, tapi setiap guratannya terlihat seperti nyata dan hidup. "Bukankah itu... Bro?" Aku meyakinkan pandanganku sekali lagi.
"Tentu saja!" Dia memamerkan senyum cerianya lagi. Sedetik kemudian dia kembali serius. "Kamu tahu, aku merasa bersalah setelah menabrak kucingmu. Kamu sendiri juga sepertinya sangat merasa kehilangan dia. Lalu aku menemukan foto kucingmu di instagram. Kamu ingat, kamu pernah mengunggahnya sekali. Dan yah... berhubung aku juga hobi menggambar, makanya aku buatkan ini untukmu. Kamu suka?"
"Apa kamu bercanda? Ini bahkan lebih baik daripada dibelikan kucing baru," seruku bersemangat. "Aku sangat tidak sabar menantikan ini selesai..."
"Baguslah. Kuharap dengan ini kamu bakal berhenti bersikap defensif padaku."
"Tenang saja. Aku tidak akan seperti itu lagi padamu," yakinku. "Oh ya, kalau boleh tahu, kira-kira kapan selesainya?" tanyaku antusias. Aku sudah tidak sabar ingin memajang gambar buatannya itu di dinding kamar. Mataku berbinar, sibuk membayangkan seperti apa potret Bro, nantinya. "Kapan aku bisa membawanya pulang?"
"Sebenarnya ini belum bisa dikatakan selesai. Aku juga belum menambahkan detail gelap terangnya. Mungkin besok, itupun kalau kondisiku tidak bertambah parah."
Aku terenyuh mendengarnya. Tak mampu berkomentar apa-apa lagi.
Aditya, aku tidak bisa mengerti ke mana arah jalan pikirannya. Bahkan di saat seperti inipun dia masih menyempatkan diri untuk memikirkan orang lain. Kalau diingat-ingat lagi, dari dulu aku selalu bersikap sinis padanya. Dan begitu mendapat apresiasi seperti ini darinya, aku lebih sadar diri. Perlahan aku mulai meragukan, apakah aku pantas menerima pemberiannya?
Sumpah, aku terharu. Hingga tanpa sadar, kutarik bibirku ke atas. Menampakkan deretan gigiku yang rapi. Menyipitkan kedua mataku yang tak henti-hentinya berbinar bahagia. "Baiklah, akan kutunggu sampai besok. Dan kau, cepat selesaikan pekerjaanmu itu, ya. Oh, satu lagi. Semoga lekas sembuh," kataku sebelum melewati pintu.
"Serena!" panggilnya yang langsung membuatku bergumam dan berbalik menatapnya. "Kalau... aku bisa menyelesaikannya, apa kamu mau baca Laila Majnun?"
Oh, rupanya dia juga meminta imbalan. Atau mungkin... dia hanya mencoba menantangku? Tapi baiklah. Akan kuterima, apapun itu permintaannya.
Tanpa perlu berpikir ulang, kali ini aku mengangguk mantap. "Jangankan disuruh baca Laila Majnun. Aku bahkan akan menjadikanmu sahabatku. Yah, itupun kalau kamu mau."
"Kamu ini bodoh atau apa, sih? Tentu saja aku mau!"
"Baiklah, Idiot. Berbahagialah, karena kita akan segera menjadi sahabat." Lalu akupun berbalik. "Selamat. Karena kau adalah ahabat yang keduaku, setelah Bro. Ingat ya, walau bagaimanapun, Bro tetaplah nomor satu."
"Heh, tunggu dulu. Ini sangat tidak adil. Serena, jangan pulang dulu, woy!"
Kudengar dari lorong rumah sakit, setelah Aditya berteriak demikian, diapun langsung terbatuk-batuk hebat. Dan anehnya, aku malah menertawai kondisinya itu. Oke, aku memang jahat.
Tapi kuyakin, di dalam ruangannya sekarang, Aditya pasti juga sedang tertawa. Mungkin dia juga merasa lega, karena berhasil melepaskan satu beban bernama perasaan bersalah. Ya, mungkin begitu.
Dan seperti kisah persahabatan yang lainnya. Setelah melewati drama Pemilik Kucing dan Pembunuh Kucing, serta sikap sinis yang dibalas dengan senyum ceria, kemudian adu argumen dan sebagainya, kini akhirnya kamipun bersahabat.
Dia, Aditya, kunobatkan dia sebagai sahabat keduaku --setelah Bro, tentu saja, haha. Juga, manusia pertama yang kuanggap sebagai teman sehobiku.
---
3006 kata.
Dari saya yang dililit deadline,
Inginku bilang DONE mommy...
Kurang gereget ea?
Entah kenapa risih aja pas mau bilang ini lomba. Emang sih, ini lomba. Lomba antara kemampuan diri sendiri versus waktu yang terbatas. Wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top