~20~

"Kata Kak Yudha temannya yang dari Jakarta itu udah dateng. Katanya dia berguna banget buat penyelidikan kali ini." jelas Angga. Saat di perjalanan menuju rumah putih.

"Hmm,,, semoga aja penyelidikan ini cepat berakhir." keinginan terdalam dati hatiku.

"Ya! Dan buku C.F.A.M seri keenam segera dicetak, dengan nama Angga Resmana sebagai bintang tamunya." ucap Angga secara bangga yang melupakan satu nama.

"Bersama Ruby Jensher. huft... temennya di lupain." kataku sambil menyikut lengan Angga.

Dan yang disikut hanya tertawa jail.

"Iyadeh nama Ruby juga ada," katanya mengalah yang membuatku tersenyum puas sepersekian detik.

"Eh! Kita udah sampek." tuturku yang baru sadar kalau kami sudah berada didepan gerbang rumah putih itu.

Angga membukanya dan kami pun masuk. Kak Eta menyambut dari latar rumah dengan melambai-lambaikan tangan.

Kami menghampirinya dan masuk bersama kedalam. Disana sudah terlihat anggota C.F.A.M yang duduk bersama dengan segudang tugas mereka masing-masing.

Kak Agas dengan laptop-nya, Kak Nita yang sibuk mencari lembaran kertas HVS yang berada diatas meja dan Kak Yudh yang sibuk berbincang dengan seseorang didepannya.

Kak Eta memberitahu pada semua tentang keberadaan aku dan Angga. Barulah semua anggota C.F.A.M menyapa.

"Owh! Halo Angga dan Ruby, kalian sudah lama menunggu?" sapa sekaligus tanya Kak Yudh.

"Tidak Kak," elak Angga.

"Perkenalkan dia Bima yang saya ceritakan pada kalian empat hari lalu. Perannya sangat penting untuk pencarian dan penyelidikan rumah misterius ini." ucap Kak Yudh yang memperkenalkan temannya itu.

Angga langsung menjabat tangan Kak Bima akupun demikian. Kami saling melontarkan senyuman, sebelum hal yang serius mulai memenuhi.

"Begini, saya diberikan oleh Yudha sebuah album foto dan saya berhasil menemukan barang bukti ini. Gambarnya memang tidak jelas namun ternyata ada sebuah tulisan yang berada pada sisi belakang dari foto ini. Apa kalian mau melihatnya?" tawar Kak Bima, Angga dengan sopan mengambil alih foto yang dipegang Kak Bima sebelumnya.

"Dy-dya Na, Van Ler, Ib Jensher." Angga membacanya dengan suara yang terbilang rendah, aku dengan spontan meraih foto itu ketika mendengar kata terakhir yang dibaca Angga dan melihat sendiri tulisan yang terdapat disana.

Mataku terbelalak. Memang benar ada tulisan Jensher dibelakang tulisan Ib, entahlah ada berapa banyak orang yang memakai marga Jensher sebagai nama belakang mereka. Tetapi yang aku tahu hanya keluargaku yang menggunakan nama belakang tersebut.

"Jensher 'kan nama belakang Ruby," ucap Angga— refleks.

"Apa itu benar?" tanya Kak Bima. Aku membalas dengan sebuah anggukan kecil.

"Selain Ruby, apa ada orang lain lagi yang menggunakan nama belakang Jensher?" selidik Kak Yudh.

"Setahu aku tidak ada lagi. Hanya Ruby yang memakai nama belakang itu." akunya.

"Ini aneh." ucap Kak Eta.

"Aku coba melacak nama belakang Jensher dulu. Mungkin ada." inisiatif Kak Agas. Semuanya mengangguk—yakin kalau itu keputusan yang tepat.

Sepuluh menit lamanya. Sampai Kak Agas memastikan sesuatu. "Kalau di Indonesia sendiri hanya ada dua kepala keluarga yang memakai nama belakang Jensher, tapi kalau di luar negeri sendiri ada sekitar 14 orang yang menggunakan marga itu." jelas Kak Agas dengan pandangan yang tak lepas dari laptop-nya.

"Sebutkan yang dari Indonesia?" pinta Kak Yudh.

"Andirama Jensher dan Revan Jensher." jujurnya.

"Revan Jensher itu Papa!" sahutku terus terang.

"Hmm... dimana tempat tinggal Andirama Jensher?" tanya Kak Bima.

"Yogyakarta!" tutur Kak Agas.

"Apa disana tertera nomer teleponnya?" tanya Kak Yudh dan Kak Agas langsung menggeleng.

"Intinya kita semua sudah tau, kalau selain Ayah Ruby, ada seseorang lagi yang memiliki nama belakang Jensher. Ada yang bisa memberi usul?" ujarnya.

"Apa perlu salah satu dari kita menemui orang itu?" usul Kak Eta. Hal itu langsung mendapatkan gelengan dari beberapa anggota yang lain.

Aku dan Angga sama sekali tidak dapat melakukan apa-apa saat ini. Karena memang merekalah yang lebih tau langkah yang seharusnya dilakukan. Kami berdua memilih diam.

"Hmm... Ruby, Angga sebaiknya kalian pulang saja. Sudah hampir sore, keluarga kalian pasti menunggu." saran dari Kak Yudh. Aku dan Angga melontarkan pandangan lalu memutuskan untuk mengikuti saran darinya.

Anggota C.F.A.M lain memberi ucapan selamat tinggal untuk kami sebelum melangkah pergi.

- - -

"Aku pulang!!" Hari ini begitu melelahkan. Banyak sekali kejanggalan yang terjadi, mulai dari mimpi itu, meninggalnya Arini hingga penelusuran nama belakang Jensher.

Membuang tas sekolahku di atas ranjang dan langsung merebahkan diri diatas sofa empuk. Membuatku sedikit merasa rileks.

Merasa kamar ini begitu senyap. Tercetus keinginan didalam hati dan pikiranku untuk memanggilnya.

"Ly!!" panggilku dari kejauhan. Kurasa dia tidak mendengar. Akan kucoba lagi, "Ly! Keluarlah!"

Ada apa dengannya?

Dengan malas aku berjalan mendekati cermin dan memintanya untuk menampakkan diri, tapi sampai satu jam berlalu, dia belum juga muncul.

Niat hati untuk memanggilnya sekali lagi, tapi sebuah suara mencegah keinginan hatiku.

Mama sudah memanggil untuk makan siang bersama.

Apa yang bisa kulakukan sekarang. Selain menuruti permintaan Mama terlebih dahulu.

Saat berada diambang pintu aku mengembuskan nafas kecil dan berlalu meninggalkan kamar.

"Ruby! Mama bawa cupcake red velvet dari toko roti yang baru buka disamping kantor Mama. Nih!" Lidya menyodorkan cupcake yang tersimpan cantik dalam kemasan yang mungil itu.

Mata Ruby berbinar kala melihat kue kesukaannya dibelikan oleh sang Mama. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih serta memeluk pundak Mamanya dari belakang.

Revan tersenyum sembunyi dibalik mengunyah makan siangnya.

"Gimana?" tanya Lidya. Sebelum memberi pendapat, Ruby membutuhkan waktu untuk membalas pertanyaan dari Mamanya karena ia masih harus menelan potongan cupcake yang masih singgah di mulut.

"Enak bangeeeeeet!!" antusiasme Ruby—menyuarakan pendapatnya akan kue tersebut.

Lidya merasa lega mendengarnya.

"Oh ya Ruby, gimana sama sekolah kamu?" ucap Revan.

"Baik dan buruk," kata Ruby lalu mencomot kembali cupcake-nya.

"Kok gitu?"

"Pelajaran aku sih baik-baik aja, cuman di sekolah tadi ada ambulans,"

"Hah!!" rasa terkejut kedua orangtuanya secara bersamaan.

"Ada yang sakit atau pingsan," duga Lydia.

"Bahkan lebih parah dari itu." ucapan yang dilayangkan Ruby begitu ambigu, sampai membuat orangtuanya penasaran.

"Parah gimana?" kata Lydia yang tak dapat mencerna perkataan putrinya tersebut.

"Arini, temen sekelas aku meninggal."

Revan tersedak saat mendengarnya Lydia pun tak kalah kaget mengetahui kalau ada yang meninggal di sekolah anaknya.

"Kamu serius?" ucap Revan. Ekspresi wajah Lydia juga sama.

"Iya! Ma, Pa. Ruby juga kaget saat tau kalau temen sekelas Ruby meninggal. Dan kata kepala sekolah Arini tewas tergantung dari atap gudang." Ruby tak lagi semangat memakan cupcake itu. Ia memilih menaruh kue itu ditempat asalnya.

"Terus, apa polisi sudah melakukan penyelidikan?" tanya Revan— semakin penasaran. Ruby menggeleng kecil.

"Pihak sekolah meliburkan kalian?" duga Lydia. Ruby mengangguk sedih.

- - -

"Jika memang tidak ada usul lain. Sebaiknya saya saja yang pergi ke Yogyakarta," Keputusan final yang sudah ditetapkan Yudha.

Anggota C.F.A.M lain juga merasa itu keputusan akhir yang harus dijalani.

"Menurut gue, gak usah deh Yudh!" sahut Nita—yang duduk di sofa tua rumah putih—sambil menggenggam handphone ditangan.

Semuanya memandang kearah gadis berusia 19 tahun itu. Yudha mengernyit.

"Lo ada ide Nit?" selidik Eta.

"Bukan ide lagi, tapi solusi." ucapnya seraya tersenyum penuh arti.

"Maksudnya?" reaksi Yudha.

"Gini, gue baru inget kalau sepupu gue tinggal disana dan barusan gue udah minta sama dia buat mencari informasi lebih dalam lagi tentang orang yang bernama Andirama Jensher itu." jelasnya. Bagas, Eta dan Bima tampak senang mendengar berita baik yang baru saja disampaikan.

"Itu bagus banget!" seru Bagas.

"Dia minta sesuatu sebagai imbalan?" celetuk Bima.

"Ya! Dia cuman mau namanya tertera sebagai informan di buku kita nanti." terang Nita dengan senyuman yang mengembang. Eta mengulum bibirnya. Matanya berpencar kesana kesini.

"Baiklah! Bilang sama dia kalau kita setuju dengan syarat atau imbalan yang dia minta." ucapan Yudha dirasa paling tepat oleh seluruh anggota.

Gadis itupun menelpon sepupunya dan tak lama ada jawaban dari seberang telpon, "Halo!" sapa Nita kepada orang itu.

"Iya! Jadi gimana Nit?" ucap terus terang pria diseberang telpon.

Yudha menjawab, "kita setuju memberi imbalan yang kamu mau." Tak lama sepupu Nita menyambar.

"Oke! Kalian tinggal bilang ke gue aja letak pastinya." Yudha langsung saja mengambil alih laptop dari tangan Bagas dan membaca alamat yang tertera disana.

"Jalan Malioboro. Nomer 43. Kabupaten Watu." ucap Yudha menjelaskan secara terperinci. Dan nampaknya pria di seberang telpon mengerti betul apa yang disampaikan oleh Yudha.

"Oke! Kalian tinggal tunggu kabar aja. Gue bakal mulai secepatnya." ujarnya. Semua anggota C.F.A.M yang mendengar itu, merasa sangat lega.

"Thanks Do, atas bantuannya." ucapan terimakasih Nita pada sepupunya—yang baru diketahui bernama Edo.

Sambungan telpon terputus. Menyisakan bunyi tut... tut... tut....

Nita mematikan layar handphone-nya.
Suasana serius mulai memenuhi ruang tamu di rumah putih.

"Rencana pertama berhasil. Tapi kita juga tidak bisa hanya menunggu kabar dari sepupu Nita saja. Kita juga harus berusaha menyelidiki seluruh ruangan yang ada disini. Tanpa satupun yang terlewat." ucap Yudha.

"Semua ruangan udah kita masuki, tapi gak ada bukti yang spesifik." sahut Eta.

"Satu yang belum," ambigu Bagas. Yudha menatapnya dengan sejuta tanya, "gudang yang ada di taman."

Semua orang kembali mengingat-ingat. Dengan sebuah rumah kecil yang berada dipojok taman rumah ini.

"Apa kamu yakin itu gudang?" todong Bima. Bagas mengangguk kecil.

"Semua rumah pasti akan menyisakan ruangan untuk ditempatkan barang-barang tak terpakai, barang lama dan yang sudah rusak. Tidak mungkin benda-benda itu semuanya dibuang. Karena pastinya itu akan menjadi sebuah kenangan." jelas Bagas. Yudha merasa ucapannya ada benarnya juga.

"Hmm,,, cuman gudang aja yang belum kita temui di rumah ini." sela Yudha menautkan dagu diantara jari telunjuk dan jempol.

Raut wajah binar ditampilkan oleh Nita dan Eta. Berbeda dengan Bima yang masih berpikir.

"Tapi sepertinya gudang itu terkunci. Aku pernah coba buka, tapi gak bisa. Buka paksa aja kali ya?" celetuk Bagas. Yudha dan Bima merasa itu keputusan konyol, tapi bisa dicoba.

- - -

Setelah makan siang bersama yang dilakukan Ruby dan kedua orangtuanya tadi.

Gadis itu berjalan masuk kedalam kamarnya. Senyum mengembang di tautkan, karena suasana hatinya sedang baik.

Ruby menghembuskan napas pelan lalu mengetuk cermin itu.

Tuk!

Tuk!

Tak ada respon. Ia mencoba memanggil sahabatnya dengan suara saja. "Ly! Aku ada dihadapanmu sekarang, keluarlah." ucapnya.

Masih tidak berubah.

"Ly ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Kumohon keluar," bujuk Ruby sekali lagi. Tapi sepertinya sahabatnya itu tak ingin menemuinya.

Akhirnya. Tanpa menunggu kemunculan Ly. Ruby bercerita, sambil duduk di ranjang menghadap ke arah cermin.

"Tadi aku pergi ke rumah putih itu. Disana Kak Yudha membawa temannya yang dari Jakarta, namanya Kak Bima. Semua anggota sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Terus ada yang aneh saat Kak Bima menunjukkan penemuannya. Disana tertulis Jensher dibelakang nama Ib. Aku kaget saat tau kalau selain Papa, ada orang lain lagi yang mempunyai nama itu. Oh ya ada hal yang lebih mengejutkan lagi daripada yang tadi. Arini, teman sekelasku meninggal dunia dan mayatnya ditemukan di gudang atas sekolah. Semua murid tercengang melihat kedatangan mobil ambulan di sekolah."

Aku menghembuskan nafas pasrah, "semoga arwahnya diterima disisi Tuhan. Itu aja yang ingin aku omongin," Tersenyum getir lalu akupun beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Rasanya begitu hampa.

- - -

"Percuma aja Yudh, kuncinya gak bakal ketemu." kata Bima. Saat seluruh anggota C.F.A.M berada di depan rumah kecil dari taman rumah itu.

Mereka sudah menggeledah keberadaan kunci gudang, tapi sampai di menit terakhir. Mereka menyerah.

"Kalau saran gue ya, dobrak aja." usul Nita. Yang sedari tadi sibuk mengibaskan tangannya akibat panas matahari yang menyengat.

Tak lama. Yudha yang dibantu Bagas mendobrak pintu kayu tersebut. Sepuluh menit lamanya. Sampai pintu berhasil dibuka paksa.

Perlahan. Satu persatu anggota memasuki rumah kecil itu. Debu dan aroma barang rongsokan mulai menyergap.

Eta terbatuk-batuk saat baru saja masuk. Nita menghalau debu yang hendak terhirup oleh hidungnya.

Anggota pria mulai berpencar. Mencari sesuatu yang dapat dijadikan penemuan.

Bagas mengambil sebuah buku dari atas meja. Pria itu membersihkan debu yang menyelimuti dengan tangan. Sampai warna sampul dari buku itu terlihat dengan jelas.

Saat dibuka. Ternyata itu hanya buku untuk keperluan bisnis saja. Tidak begitu berarti.

Yudha menemukan tempat tidur bayi yang sudah dihinggapi puluhan laba-laba. Matras kecil berwarna pink membuktikan bahwa bayi itu pasti seorang perempuan.

Bima menjumpai sebuah boneka berukuran jumbo diatas lemari putih. Boneka yang cukup besar hingga mengapit benda kecil disampingnya.

"Bim!" panggilan itu sontak membuat Bima mendongak dan mengalihkan pandangan matanya menuju ke arah sumber suara tersebut.

Sesuatu terlihat walau sepintas.

"Apa?" sahut pria berkemeja kotak-kotak tersebut.

"Nemuin sesuatu gak?!" kata orang itu yang baru diketahui ialah Bagas.

"Belum!!" ucap Bima lalu membalikkan pandangannya ketempat semula.

Kayaknya tadi gue ngeliat sesuatu-
Guman Bima mencoba mencari sesuatu yang meskipun sepintas dilihatnya.

Dari mulai rak buku, tikar, sampai boneka tadi, semua itu dilihatnya tanpa ada yang terlewat. Pria tersebut menatap dengan teliti benda-benda di sekelilingnya.

Buk!

Sebuah buku terjatuh. Bima pun mengangkatnya saat mendongak, ia melihat ada noda dipermukaan kaki boneka itu.

Bima melepas buku yang tadi digenggamnya dan beralih kepada boneka besar itu. Saat disentuh noda tersebut terasa kering dan lumayan kasar.

Sepertinya noda ini mengering, itulah mengapa teksturnya kasar.

Bima mendekatkan hidungnya kepada kaki boneka yang terdapat noda.

Bau amis!

"Yudha dan yang lain mesti tau." Bima bergegas pergi menemui anggota C.F.A.M yang tengah sibuk mencari penemuan.

Ia mendatangi Yudha dan memberikan barang yang ditemuinya.

"Benar juga! Baunya amis." Yudha mengaku mencium bau amis di kaki boneka penemuan Bima.

"Kalo menurut gue, ini pasti noda darah." Yudha nampak membenarkan perkataan Bima dengan mengangguk samar.

Lantas Yudha yang memang ketua dari Community Finding a Mystery memanggil anggota lainnya untuk berkumpul.

"Apa kalian sudah menemukan sesuatu?" tanya Yudha, saat ia dan semua anggota berdiri disatu titik.

Eta menggeleng pasrah. Nita bersuara parau saat mengatakan tidak adanya penemuan yang ia temukan.

Begitupun dengan Bagas yang memberitahukan lewat raut wajahnya yang sendu.

"Saya dan Bima menemukan ini." Yudha menyodorkan boneka yang berada pada tangannya, sehingga dapat dilihat oleh semua anggota.

"Boneka?" celetuk Bagas sambil mengernyit. Nita dan Eta saling melontarkan pandangan.

"Ya! Boneka ini memang biasa saja. Namun coba kalian perhatikan kakinya," Yudha menunjukkan kaki boneka itu kepada Bagas, Nita dan Eta.

"Menurut gue itu noda darah!" sambung Bima. Nita mencoba mencium noda yang diperkirakan darah tersebut.

"Hmm,,, meskipun samar-samar, tapi bau amis masih tercium." ucap Nita setelah mencium kaki boneka itu.

"Biar kita bisa yakin kalau ini adalah darah. Gue bakal bawa ini ke laboratorium di rumah sakit terdekat. Kebetulan salah satu dokter disana adalah teman akrab sewaktu kuliah." ujar Bima.

Anggota lain memang menganggap itu keputusan paling tepat. Yang bisa dilakukan hanya mengangguk serta berkata iya.

- - -

"Ga!" nada parau milik wanita berusia 76 tahun itu terdengar untuk yang kelima kalinya.

Yang merasa dipanggil pun hanya dapat mendengus kesal. Menyanggupi keinginan wanita itu sangat susah baginya.

"Ga!" panggilnya lagi. Akhirnya panggilan keenam itu pun berhasil menggoyahkan hati anak laki-laki itu.

"Nenek gak bisa gini terus. Angga nabung sebanyak ini cuman pengen Nenek dirawat di rumah sakit." kata Angga— cucu dari wanita itu— yang menolak menuruti permintaan sang Nenek.

"Uang itu buat masa depan Angga. Nenek ini sudah tua, sudah umur, tidak usah direparasi lagi." kata Nenek Angga yang dulunya adalah seorang montir. Jadi maklumi saja jika bahasa yang sering diucapkan di bengkel masih terbawa hingga sekarang.

"Ck! Angga jadi curiga sama Nenek. Nenek itu mau ninggalin Angga ya?" ucap Angga— berdecak.

Tanpa disadari. Sebulir air mata jatuh dari ujung mata wanita tua tersebut. Ia tidak habis pikir dengan anatomi yang diucapkan cucunya.

"Kenapa kamu bilang begitu?" ucap Nenek, dengan gusar.

"Abis diobati aja Nenek gak mau. Gimana Angga bisa berpikir positif." ujarnya. Nenek Angga mengelus puncak kepala cucunya sebelum mengangguk.

"Nenek siap masuk rumah sakit demi Mangga." putus final sang Nenek. Hal itu memberi rasa lega dihati Angga.

"Beneran?" tanya Angga— mencoba memastikan. Wanita paruh baya tersebut mengangguk mantap.

Akhirnya!

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Berakhirnya cerita ini gak sampek 20 chapter deh! Hehe.

Masih ada 3 atau 4 bab lagi.

Fast update gak ini?

Saran, masukan, kritik, perbaikan BILANG AJA.

jangan lupa Vomment^_^

💛💛💛atikahuja

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top