Bagian Tiga Belas | Pertengkaran Kecil
Hai! Ketemu lagi! Siapa yang nungguin nih?
Absen di sini jam baca kalian!
Jangan lupa vote dan komentar ya!
Jangan lupa follow instagram :
asriaci13
sheakanaka
sagaramiller
Selamat membaca cerita Sagara
***
Now Playing | Yaeow - Favorite Lesson
Bagian Tiga Belas | Pertengkaran Kecil
Dulu, pertengkaran kecil seperti ini terlihat manis. Namun sekarang, rasanya melelahkan karena selalu meributkan hal yang sama dan sepele.
***
Sudah lebih dari tiga hari komunikasi antara Shea dan Sagara begitu memburuk, bahkan untuk sekadar bercerita mengenai kegiatan keseharian mereka saja, tak bisa mereka lakukan. Meski Sagara yang selalu bertanya dan mengirim pesan lebih dulu, pesan itu akan berakhir di bubble chat Shea.
Shea hanya bisa mengirimkan pesan di tiga waktu luangnya, di pagi hari sebelum dia pergi ke kampus, saat akan latihan dan selesai latihan kemudian dia tidur karena kelelahan. Terkadang juga, Shea melupakan pesan yang Sagara kirimkan, saat gadis itu tengah mengerjakan tugas atau tengah bersama teman-temannya.
Pasti dan selalu Sagara akan mempermasalahkan hal tersebut, seperti sekarang, keduanya tengah bertengkar persoalan Shea yang lupa membalas, ralat hanya Sagara yang meminta dan menuntut penjelasan dengan menggebu-gebu sementara Shea hanya mendengarkan.
Dia lelah.
"Aku selalu coba buat ngertiin kamu ya Sye." Nada suara Sagara sudah berbeda dari biasanya, dari intonasi suaranya membuat Shea enggan membalas perdebatan itu, karena akan panjang. "Tapi kamu pernah gak ngertiin aku juga?"
"Gar—"
"Aku belum selesai ngomong!"
"Iya."
Ya sudah, kalau sudah begini, Shea pasrah saja.
"Apa susahnya sih kabarin, apa susahnya bales dulu chat aku baru lakuin aktivitas. Kesannya aku doang yang nuntut kabar kamu, yang mau tau pacar aku hari ini kegiatannya ngapain aja, ada cerita apa. Tapi kamu kesannya engga tertarik dengan apa yang aku lakuin, kamu nyari aku kalau kamu kesepian dan butuh aja."
"Gak gitu Gar."
"Emang gitu kok kenyataannya," sahut Sagara dengan nada suara yang menjengkelkan.
Energi Shea benar-bener terkuras habis, dia tidak ingin berdebat, karena itu akan mempengaruhi moodnya.
"Aku enggak buka iMess Gar, kan aku udah jelasin ke kamu, handphone aku mode dnd jadi aku ngga ngeh kamu chat."
"Kenapa sih suka pake mode dnd terus? Segitu gak mau diganggu? Keganggu sama notif dari aku? Iya?" tuding Sagara
Sagara tuh kekanak-kanakan kalau sedang seperti ini, padahal kalau mereka akur, dia lucu dan menggemaskan.
"Ngga gitu, aku kan abis latihan Gar, aku pake mode dnd biar fokus aku ga kebagi. Terus tadi tuh belum aku ubah dan aku emang belum cek chat sama sekali, makanya aku belum bales chat kamu."
"Kayanya kalau aku gak reply story kamu, kamu gak bakal tuh bales. Padahal kamu sendiri yang bilang, kamu bakal bales pas kamu luang. Nyatanya apa? Malah sibuk ngafe kan ama temen-temen kamu."
Itu memang salah Shea, dia hangout disela-sela kesibukannya, itu pun hanya sekadar makan siang sambil ngobrol tipis-tipis bukan yang direncanakan mereka akan pergi. Mereka stres dengan segala jadwal latihan dan tugas, dia butuh rehat. Jujur saja, dia memainkan ponselnya hanya untuk repost story dari tag Amanda.
"Kok gak bisa jawab? Bisu sekarang kamu?"
Sumpah, Shea lelah dengan perdebatan ini.
Shea mengembuskan napas.
"Pake segala narik napas gitu, kenapa sih? Cape sama aku?" tuding Sagara lagi
"Gar, aku beneran cape," ujar Shea, "kepala aku pusing, aku juga bukan yang main gimana, aku tuh cuman punya satu badan, engga bisa ngelakuin banyak hal."
"Aku juga cape nih nungguin kabar dari kamu sampe kaya orang bego begini."
Pemuda itu tidak mau mengalah bahkan mengerti bagaimana posisi Shea saat ini.
"Sagara, dunia aku enggak cuman pacaran sama kamu, ada mimpi aku, temen-temen aku, keluarga aku, gak semua waktu aku itu buat kamu. Please lah Gar, aku juga kalau ada waktu luang pasti ngabarin dan nyempetin ketemu sama kamu. Kita tuh jarang ada waktu ngobrol, sekalinya ada waktu malah dipake berantem kaya gini, kamu gak cape apa?"
"Oh salah aku berati yang pusatin dunia aku itu cuman kamu, kamunya engga begitu ya pantes aja prioritas kita beda."
Tuh kan, mulai lagi. Manipulative. Gaslighting.
Ah sialan.
"Stop being posesif deh Gar!" nada suara Shea meninggi, dia sudah mulai tersulut emosi, "Childish banget sih lo!"
"Gue begini karena gue sayang lo! Gue nyariin lo, karena gue khawatir. Padahal dulu, gue begini aja lo gak pernah protes, kenapa baru sekarang? Udah ketemu temen cowok baru yang lebih asik?"
Bangsat.
"Cowok siapa sih? Gak usah nuduh-nuduh gak ada buktinya! Lo juga tau, gue tuh sibuk latihan biar kepilih tampil di resital kampus. Itu juga buat siapa? Buat lo Sagara, buat lo! Gue bahkan rela gak tidur supaya bisa terus latihan, ngerjain ini dan itu. Biar dianggap setara ama keluarga lo."
"Gue gak minta lo tampil di resital tai itu! Gue cuman mau lo sama gue! Susah? Gak bisa apa lo, sekolah aja yang bener gak usah ikutan begitu-begituan. Kalau lo mau bikin solo resital sendiri gue bisa buatin buat lo! Sepuluh resital gue jabanin, seratus? Seribu? Di seluruh dunia juga gue bisa."
"Gini nih yang bikin gue muak sama hubungan ini! Lo tuh selalu ngegampangin semuanya!"
"Emang gampang kan? Lo nya aja yang bikin ribet!"
"Gak semuanya bisa selesai sama uang Sagara! Lo tuh paham gak sih resital ini penting buat gue! Gue ngelakuin ini buat hubungan kita Gar." Suara Shea melemah dan dia mengatakannya sambil terisak, dia menangis.
Dianggap remeh akan mimpinya, dia benar-benar sakit hati. Dia berada di sini karena dia ingin berdiri di kakinya sendiri, bukan atas bantuan Sagara. Dia ingin berjalan beriringan, sambil mendukung apa yang mereka impikan. Bukan seperti sekarang, saling menyalahkan dan lupa tujuan untuk apa hubungan mereka dimulai.
"Hubungan kita? Lo serius apa bercanda sih? Gue sampe ketawa ini dengernya lo bilang demi hubungan kita, lo sendiri tadi bilang kalau gue tuh ngga sepenting itu dihidup lo."
"Emang bangsat!" maki Shea, "Gue rela latihan puluhan jam demi bisa lolos biar dianggap setara sama nenek dan bokap lo! Kalau gue gak bisa lolos, mereka bilang kalau banyak cewek yang setera sama keluarga lo dibanding gue!"
"Apa urusannya sih Sye? Yang terpenting orang yang gue sayang cuman lo kan? Selama ini juga Granny dan Daddy gak pernah atur hubungan kita. Lo tuh apa-apa dibuat ribet, harusnya cukup dengan gue sayang sama lo aja."
"Iya, mereka gak pernah protes karena lo yang emang milih buat sama gue. Tapi gue cape dan muak direndahin, kesannya gue se gak pantes itu buat bersanding sama lo. Nenek dan Bokap lo emang gak pernah minta lo buat putusin gue, atau gue jauhin lo, mereka nerima gue. Tapi gue juga punya kehidupan sendiri, gue juga bisa berdiri di kaki gue sendiri, engga terus bergantung sama lo. Cukup beasiswa sekolah gue aja Gar, beban gue banyak. Gue cape. Terserah lo, kalau lo masih marah, gue udah gak ada tenaga ladenin kemarahan lo."
Shea memutus teleponnya secara sepihak, air matanya masih mengalir, kepalanya benar-bener pusing. Padahal Shea besok pagi harus test di depan Melvin.
Alasan Shea mematikan sambungan telepon itu, karena emosinya sudah tak terkontrol dia takut mengatakan hal-hal yang akan membuat hubungan mereka tambah runyam. Shea perlu menjernihkan pikirannya terlebih dahulu, dia tidak mau permasalahan ini mengganggu fokusnya juga.
Shea sengaja menggunakan mode dnd lagi agar saat Sagara meneleponnya kembali, langsung tertolak begitu saja.
Kan benar, sudah ada 10 panggilan dari Sagara.
Pacarnya itu, benar-benar.
Tak berselang lama setelah itu, Sagara mengirimkannya satu pesan yang cukup panjang. Namun Shea mengabaikannya dan memilih menutup ponselnya, lalu dia memainkan piano untuk melampiaskan emosi yang masih tersisa.
***
"Kamu gak tidur?" tanya Melvin
Shea menoleh ke arah sumber suara.
"Padahal kemarin udah saya suruh istirahat supaya hari ini kondisinya fit. Kamu begadang krena latihan atau karena yang lain?"
"Aku gak bisa tidur semalem karena kepikiran Kak," jawab Shea, berbohong.
"Wajar sih, cuman saya mau kamu kasih performa yang baik. Jangan mengecewakan."
Shea mengangguk, "Terima kasih Kak."
Sejak tadi pagi, Shea sama sekali belum mengecek ponselnya sama sekali, dia ingin ketenangan setidaknya sampai dia selesai test hari ini. Moodnya pasti memburuk kalau membaca dan membalas pesan dari Sagara.
"Kak, can I ask you something?"
"Sure."
"Kalau boleh tau, kenapa Kak Melvin mau jadi pianis?"
"Karena saya suka piano, rasanya piano sudah seperti alesan saya hidup. Bermain piano membuat saya bahagia, dan saya ingin melakukan apa yang membuat saya bahagia. Meski saya pun tau, untuk berada di titik ini nggak semudah itu. Kamu lagi bingung sama alasan kamu bermain piano ya?" tebak Melvin
Shea menggeleng pelan, "Aku engga bingung Kak," jawabnya, "cuman rasanya, fokus sama mimpi sendiri malah nyakitin orang lain."
"Soal pacar kamu ya?"
Ini memang terlalu oversharing, tapi Shea perlu sudut pandang dari orang lain. Orang yang tak mengenal dia dan Sagara dekat, agar opini dia rasional.
"Kurang lebih soal dia. Akhir-akhir ini aku kan sibuk, dia ngerasanya aku gak ada waktu buat dia. Aku dari awal pun, udah bilang kalau aku ngga ngapa-ngapain, beneran sibuk latihan aja. Cuman dia ngerasanya aku abaikan, soal perkara aku makan sama temenku terus diposting dan aku lupa bales chat dia, malah repost story temenku." Shea menjeda ceritanya, melirik ke arah Melvin untuk melihat reaksinya.
"Terusin aja, biar saya dengerin kamu cerita dulu, mumpung yang lain belum dateng."
"Dia juga tau, jadi pianis itu tujuan aku datang ke sini. Dia support dari awal, tapi kenapa saat aku dekat sama mimpiku, dia ngerasa kalau aku mengabaikan dia, aku bingung, buat aku dia dan mimpiku sama-sama penting, dan keduanya punya posisi yang berbeda."
"Untung saat ini lebih fokus ke impian kamu aja," ujar Melvin singkat. "Bukan apa-apa, dia gak ada hak atas hidup kamu, kalau dia beneran sayang sama kamu, dia akan support apa pun yang buat kamu bahagia."
"Iya sih, cuman—"
"Cuman?" tanya Melvin, karena Shea tak melanjutkan ucapannya, "Menurut saya, kamu lebih baik ngobrol sama pacar kamu itu, ngobrol secara baik-baik, kalau perlu kamu buat power point dan jelasin kenapa impian kamu ini penting buat kamu dan masa depan kamu."
"Niat banget sampe bikin ppt."
"Kan saran."
"Iya Kak, nanti dicoba deh."
"Tapi Shea, ada kalanya harus memilih kalau dua-duanya gak sejalan. Mimpi kamu atau perasaan kamu. Saran saya, kalau sampai hal itu terjadi, saya harap kamu memilih keputusan yang bijak, keputusan yang akan menguntungkan dan membuat kamu bahagia. Juga jangan mengambil keputusan disaat kamu emosi, semuanya harus dipikirin, ya?"
Disaat Shea akan menjawab kalimat yang diucapkan Melvin, Claire datang bersama Matheo dan Adam.
"Dilanjut nanti ya," ujar Melvin
"Eh lo udah di sini Sye," ucap Claire
Shea mengangguk sebagai jawaban, "Iya, langsung ke sini pas sampe."
"Oh tadi gue ketemu orang di gerbang, nanyain lo. Namanya Arthur," beritahu Claire, "gue disuruh sampein, kalau udah kelar urusan lo, lo buka chat dia katanya, urgent."
"Oh iya, thanks Cla, gue belum cek handphone sama sekali, karena gugup hari ini."
"Udah pasti sih, siapa itu? Cowok lo?"
Shea menggeleng, "Bukan, kenalan biasa," jawab Shea
Shea sudah bisa menebak alasan mengapa Arthur datang ke kampusnya, itu pasti berhubungan dengan Sagara. Pasti hari ini melelahkan.
Semoga Shea bisa menghadapi hari ini.
***
Terima Kasih Sudah Membaca Cerita Sagara
Kita mulai dengan pertengkaran kecil ya teman-teman🤭
Gimana mengenai bab ini?
Ada yang mau ditanyakan?
Spam next di sini! Sebanyak-banyaknya biar aku semangat update hihi🫶🏻
Sampai ketemu di chapter selanjutnya!
With Love,
Asri Aci
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top