Bagian Sebelas | Skala Prioritas

Heloooo ada yang kangen Sagara dan Shea?

Absen jam baca kalian di sini?

Jangan lupa untuk vote dan komentar ya!

Jangan lupa follow instagram :

asriaci13

sagaramiller

sheakanaka

Selamat membaca cerita Sagara

***

Bagian Sebelas | Skala Prioritas

Now Playing |  Gentle Bones - I Wouldn't Know Any Better Than You

Ada dua perbedaan di antara kita berdua, aku selalu memprioritaskan kamu lebih dari hidupku sementara kamu selalu lebih memprioritaskan mimpimu dibandingkan dengan aku, padahal untuk mencapai mimpimu saat ini, semuanya berkat bantuan aku.

***

"Jamie, tolong carikan data mengenai staff dari Miller corp yang ikut terjun di proyek kali ini ya."

Jeremie selaku asisten pribadi Alicia mengangguk, pemuda itu langsung melalukan apa yang diperintahkan oleh atasannya itu. Bagi Jeremie bekerja pada keluarga Rodriguez sudah seperti warisan yang turun-temurun, keluarganya seperti tidak memiliki kesempatan lain untuk mencari pekerjaan selain mengabdi pada keluarga Rodriguez. Termasuk, kakek dan Ayahnya pun demikian.

Bekerja dengan Alicia, cucu ketiga dari keluarga Rodriguez membuat Jeremie terkadang tak habis pikir dengan segala rencananya. Gadis itu lebih dewasa daripada usianya.

Jeremie memang sudah mendampingi Alicia dari mereka masuk sekolah dasar. Dari dulu, Alicia sudah seperti superstar, dia terlihat lebih mencolok daripada siswa lainnya.

Prestasinya yang segudang, dia selalu mengikuti olimpiade sebagai perwakilan dari sekolah. Namun karena hal itu, neneknya melihat ada potensi lebih yang dimiliki cucunya itu, hal itu membuat Alicia harus bersekolah di sekolah private dengan guru-guru yang dipilihkan oleh neneknya, dipersiapkan belajar dengan pelajaran yang jauh di atas umurnya.

Alicia kecil saat pertama kali, dia senang dan menurut, tapi semakin lama semakin banyak larangan dan peraturan yang menurut dia tak masuk di akal. Dia harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan yang dia inginkan, dia terbiasa menjadi seolah piala penghargaan yang bisa dipamerkan oleh keluarganya.

Karena hanya Alicia yang diberi perlakuan khsusus seperti itu, jangan berpikir bahwa dia akan dengan mudah mewarisi kekayaan dari keluarganya kelak, karena dia harus bersaing dengan cucu-cucu yang lain.

Direnggut masa mudanya dan kini dia harus bersaing dengan keluarganya.

"Lice, sudah saya kirimkan ke email kamu." Beritahu Jeremie

"Thanks Jamie."

Kalau diurutkan dari semua prioritas yang ada dihidup Alicia, gadis itu pasti akan menempatkan pekerjaannya di nomor pertama. Baginya tidak ada yang lebih penting daripada itu, bahkan hidupnya. Karena hidupnya sudah dia korbankan demi ada diposisinya saat ini, selain itu jika gadis itu tidak bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya maka akan banyak orang yang dirugikan, makanya dia sangat marah dan kesal ketika Sagara bermain-main.

"Alicia ada telepon dari Dylan," ujar Jeremie

Mendengar hal itu bukannya menyudahi pekerjaannya, gadis itu justru menyuruh Jeremie untuk mengirimi kekasihnya itu pesan untuk menunggu, "Tolong bilang sama dia, nanti aku hubungi di jam 9 malam."

"Oh, ada pesan juga dari Sagara, dia mengajak untuk brunch besok."

Alicia memijat pelipisnya, menghela napasnya perlahan, "Tanya keperluannya untuk apa, sama besok jadwal aku ke mana aja Jamie?"

"Sarapan di rumah bersama Babushka, itu undangan, kamu mesti hadir. Lalu setelah itu ada meeting dengan Mr. Geovani, sekalian test produck untuk yang akan di launching bulan depan, siang kalau kamu menerima brunch bersama Sagara, siangnya meeting kembali dengan Ibu Rosa, ini membahas soal vendor kemarin yang belum clear."

Alicia mengangguk, tidak terlalu padat, "Oh tolong aturin jadwal biar aku bisa survey ke lokasi di minggu ini, dan tolong atur juga dua minggu ke depan kosongin waktu seminggu aku akan pergi ke Indonesia."

"Baik."

Bila pekerjaan ini berhasil, neneknya pasti merestui hubungan dia dengan kekasihnya itu. Karena sampai sekarang, keluarganya enggan berkenalan dengan Dylan, mereka mengetahui tapi mereka seolah tutup mata.

***

Kalau digambarkan priositas hidup Sagara untuk saat ini, makan dia akan menaruh nama Shea dibaris pertama sebagai orang yang selalu ia utamakan. Entah sesibuk apa pun ia, ketika Shea meminta tolong padanya, dia akan meninggalkan pekerjaannya untuk menemui Shea.

Pikirnya, pekerjaannya bisa menunggu tapi Shea tidak.

Sagara selalu seperti itu, ketika menyukai seseorang, dia bahkan akan mempertaruhkan hidupnya untuk orang tersebut. Bahkan dia tidak peduli dengan label yang melekat pada dirinya bahwa dia "bucin"

"Arthur, Shea kenapa gak bales chat gue?" tanya Sagara pada asistennya itu, matanya fokus ke layar ponselnya yang memperlihatkan roomchatnya bersama Shea.

Pesan-pesan yang dikirimkan oleh Sagara tak kunjung mendapat balasan.

"Dia mungkin sibuk," jawab Arthur, "Bukannya kemarin dia ngabarin kalau dia lolos ke seleksi akhir."

"Iya, tapi ini udah lebih dari sepuluh jam dia gak bales chat gue."

"Nanti akan saya cari tau," ujar Arthur

"Nanti? Sekarang aja! Kalau ada apa-apa sama cewek gue gimana?"

"Baik."

"Kemana sih?" Sagara berusaha menelepon kontak kekasihnya, namun tak juga mendapat jawaban, hanya berdering kemudian terputus.

"Thur now!" teriak Sagara

Dia kalau tidak dipenuhi keinginannya, pasti akan tantrum seperti anak kecil, semua orang akan kena marah dan yang bisa membuat mood dia mereda hanyalah Shea.

Sesaat Arthur akan ke luar ruangan, pintu ruangan Sagara terbuka, Gilbert yang datang. Arthur memberi salam hormat pada atasannya itu, kemudian pergi meninggalkan Ayah dan anak itu.

"Ada apa?" tanya Sagara, nada suaranya ketus.

"Lebih serius Sagara," ujarnya penuh penekanan

"Ah cewek itu tukang ngadu ternyata," cibirnya pelan

"Kamu pikir Daddy hanya akan tau kelakuan kamu karena Alicia? Kamu harus ingat, semua orang di kantor yang bekerja bersama kamu adalah bawahan Daddy. Jangan buat ulah kalau kamu masih mau sama cewek Indonesia itu."

"Kenapa sih Daddy selalu menyakutpautkan semuanya sama Shea?!" tentu Sagara tak terima atas perkataan Ayahnya itu.

"Daddy tau kalau gadis itu yang membuat kamu tidak fokus dan bermain-main saja! Ini peringatan Sagara!" Ayahnya hanya memberi peringatan, setelah itu dia pergi dari ruangan Sagara.

"Nyenyenye."

***

Semalam Shea sudah berkenalan dengan tiga orang lainnya yang juga dimentorin oleh Melvin, dan kini mereka janjian akan bertemu sehabis kelas di aula musik.

Kali itu Shea datang kedua, setelah Claire. Yang Shea tau mengenai Claire adalah si jenius, begitu julukannya. Shea juga mengakui kalau permainan piano Claire sangat bagus.

"Hi..." sapa Shea pada Claire.

Claire tersenyum kaku, "Hai Shea."

Ini kali pertama mereka mengobrol secara langsung.

"Oh panggil Sye aja, biar akrab."

Claire mengangguk. "Oke."

Sepuluh menit mereka saling diam dalam keheningan, dan Shea pun bingung harus memulai obrolan apa, karena Claire sangat pasif, dia sepertinya tidak nyaman jika diajak ngobrol oleh orang asing, jadi Shea tidak ingin membebaninya.

Adam dan Theo datang bersamaan dengan Melvin. Melvin menutup pintu aula, dia tersenyum pada keempatnya yang kini sudah ada di depannya.

"Okay, kali ini kita akan mulai test."

Test?

Shea tidak tahu kalau akan ada test seperti ini, dadakan sekali.

"Test apa Kak?" tanya Adam

"Untuk menentukan kelas kalian dan jam latihan kalian."

Keempatnya hanya mengangguk, menuruti permintaan sang mentor.

"Sebelum itu, tolong matikan ponsel kalian dan taruh di depan. Agar tidak mengganggu proses latihan."

Mereka menurutinya, mengumpulkan ponsel dengan daya mati. Saat itu, Shea melupakan untuk memberitahu Sagara bahwa dia akan mengumpulkan handphonenya.

"Okay, mainkan apa yang kalian kuasai buat saya terkesan dengan permainan itu."

"Claire." panggil Melvin, Claire langsung mengangguk, gadis itu duduk di kursinya dan memainkan Chopin, Waltz in a minor.

Seperti yang Shea ketahui bahwa permainan Claire sangat indah, bahkan Shea tak menemukan kekurangan dari permainan itu, dia merasa terpukau.

Namun ketika Claire menyelesaikan permainan itu, Melvin memberinya beberapa catatan. Shea tau sih kalau Melvin sangat detail, tapi tadi permainan Claire sangat keren tanpa cela, tapi dia mengkrikitnya dengan sesukanya.

Sama seperti saat bagian Shea, gadis itu memainkan musik yang sering ia mainkan, supaya tidak melakukan kesalahan. Tetapi sepertinya dia melakukan banyak kesalahan karena dari ketiga lainnya, hanya dia yang memiliki lebih dari sepuluh catatan.

"Okay, saya sudah melihat kemampuan kalian masing-masing, Adam tolong bagikan."

"Baik Kak." Adam mengambil buku dari meja Melvin, dan membagikannya kepada yang lain.

"Satu hari kalian harus menyelesaikan minimal delapan kali tamat dari daftar musik yang ada di buku itu."

"Baik Kak," jawab keempatnya serempak.

"Kalian punya piano di rumah kalian masing-masing?"

Lagi-lagi keempatnya mengangguk.

"Bagus, ini akan jauh lebih efektif. Kita akan mulai dengan latihan minimal delapan jam perhari."

"Maksimal kali ya Kak maksudnya?" tanya Shea

"Minimal Shea."

Ya sudah pasrah, ini yang dikatakan oleh Jaehyun bahwa setelah ini dia akan berperang.

"Tiga hari kalian harus sudah menghapal semua halaman di buku itu. Kita akan melakukan test tiga hari lagi. Karena tiga hari lagi akan ada evaluasi dari Pembina, jadi saya ingin kalian memberikan yang terbaik dan tidak membuat saya malu karena telah memilih kalian."

Padahal Shea pikir Melvin tidak setegas ini, karena dia terlihat sangat ramah pada semua orang. Ternyata memang tidak semestinya menilai orang dari apa yang terlihat saja, karena nyatanya Melvin orang yang sangat-sangat menyebalkan.

Ketika dia sampai di apartemennya, baru saja duduk di sofanya, dia sudah menerima pesan dari Melvin yang pemuda itu kirimkan di grup. Link zoom, mereka harus latihan secara online agar tidak ada yang berbohong.

Sinting. Kalau begini caranya dia lebih baik mati saja.

Meskipun begitu dia tetap menurut saja, karena alasan dia berada di sini sekarang karena piano, musik, prioritas Shea adalah sekolahnya. Dia tidak ingin mengecewakan banyak pihak yang sudah menaruh harapan padanya.

Benar saja, Shea pikir Melvin tidak memperhatikannya dan di latihan tiga jam terakhir Shea memainkannya dengan asal-asalan yang penting selesai, di akhir dia mendapatkan banyak sekali catatan dan rasanya dia ingin mengubur diri saja, menangis.

Sepertinya dia salah memilih Melvin sebagai mentornya, ini sudah seperti simulasi di neraka.

***

"Shea sudah mulai latihan secara intensif untuk persiapan resital."

Info dari Arthur membuat Sagara mengerutkan dahinya, "Sesibuk apaan sih sampe gak bisa bales chat gue."

Arthur menghela napasnya perlahan, "Setau saya, Shea mendapat mentor Melvin seperti keinginannya dan cara mentoring Melvin harus fokus, mungkin saja emang tidak diperbolehkan menggunakan ponsel selama latihan."

Sejenak Sagara terdiam mendengar hal tersebut, itu masuk di akalnya tapi berlebihan karena membalas pesan itu gak sampai lima menit, itu tudak akan mengganggu latihan Shea sama sekali, justru Sagara pikir dia bisa memberikan dukungan pada kekasihnya itu.

"Melvin itu mantan pacarnya Alicia?" tanya Sagara

"Betul."

"Oke..." Sagara terdiam, seperti menimbang sesuatu, "Hubungi Alicia ajak dia untuk brunch besok."

"Baik."

Sagara menatap layar ponselnya, sudah lebih dari sepuluh jam Shea tidak membalas pesannya. Ini membuatnya frustrasi, dia tidak bisa seperti ini.

"Mau ke mana?" tanya Arthur saat melihat  atasannya itu mengambil kunci mobil.

"Ke tempat Shea."

Pergi ke tempat kekasihnya itu dengan harapan Shea ada di sana, dan tepat seperti dugaannya, Shea membuka pintu apartemennya dengan wajah kusut sepertinya dia baru saja bangun tidur.

"Hei..." sapa Shea dengan suara serak.

"Kenapa susah banget dihubungin sih?"

Demi Tuhan Shea tidak ingin berdebat atau bertengkar karena masalah seperti ini, tubuhnya sudah lelah karena duduk di kursi piano lebih dari delapan jam, dan dia pun baru beberapa menit tertidur sebelum mendengar suara bel apartemennya.

"Masuk dulu." Shea melebarkan pintunya agar Sagara bisa masuk ke dalam.

"Aku latihan piano Gar."

"Gak bisa bales? Berapa lama sih bales chat aku tuh? Sesusah itu? Iya? Aku selalu bales chat kamu sesibuk apa pun aku, kenapa kamu gak bisa melakukan hal yang sama?"

"Aku diminta matiin handphonenya sama mentor aku, biar bisa fokus. Bukan engga mau bales chat kamu."

"Sehebat apa sih mentor kamu itu? Aku bisa kasih kamu guru piano yang jauh lebih hebat dari mentor kamu itu yang tukang ngatur."

"Sagara, aku minta maaf," ujar Shea, dia ingin menyudahi perdebatan itu, "Aku ngga ngabarin kamu dan terkesan ilang begitu aja, aku beneran latihan dan gak sempet cek handphone sama sekali, meski latihan di apartemen aku harus tetep nyalain kamera supaya bisa dipantau, apa benar latihan atau engga."

"Ganti aja mentornya."

"Kamu tau kan ini impian aku selama ini?"

"Aku engga pernah jadi bagian dari mimpi kamu?" todong Sagara

"Beda dong Gar, kamu tau betul tujuan aku harus lolos dan jadi perwakilan di resital nanti itu untuk siapa? Aku berjuang mati-matian agar aku dianggap dan diliat sama keluarga kamu. Masih kurang usaha aku selama ini? Kalau kamu masih mau ngeributin hal-hal sepele seperti ini, kamu lebih baik pulang aku cape, gak ada tenaga buat debat sama kamu."

Sagara membuang napasnya kasar, "Ya udah, kamu udah makan belum?"

Shea menggeleng. "Engga sempet makan."

"Kamu tidur lagi aja, biar aku yang pesen makanan nanti kalau udah sampe aku bangunin."

"Iya, makasih ya Gar."

"Anytime Sayang, maaf ya aku tadi udah marah-marah, aku panik kamu gak bisa dikabarin."

Itu memang benar, tapi Sagara pun bisa mencari tau apa yang dilakukan oleh Shea tanpa gadis itu ketahui. Orang-orang kaya memang terkadang mengerikan kalau sudah terobsesi dengan sesuatu.

***

Terima kasih sudah membaca cerita Sagara

Udah keliatan redflag belum Sagaranya?

Kalian mau punya pacar kaya Sagara gak?

Spam next di sini agar aku semangat update selanjutnya!

Sampai bertemu di next chapter!

With Love,

Asri Aci

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top