Bagian Dua Puluh Tujuh | Sebuah Pencapaian

HAIIII AKU KEMBALI UPDATE!!!

Siapa yang kangen! Jujur aja kalau gak update merasa bersalah sekarang! doain moga tetep konsisten ya🙏🏻

Kalian baca bab ini jam berapa dan lagi ngapain?

Jangan lupa komentar dan vote ya!

Jangan lupa follow instagram :

asriaci13

sagaramiller

sheakanaka

Selamat Membaca Cerita Sagara

***

NOW PLAYING | Henry Moodie - Pick Up The Phone

Bagia Dua Puluh Tujuh - Sebuah Pencapaian

Keberhasilan seseorang itu berbeda-beda, yang gagal dipercobaan pertama bukan mereka tak akan pernah berhasil. Semua orang punya perjalanannya sendiri untuk sampai ke puncak, dan untuk itu mereka harus menikmati dan menjalani segala prosesnya, agar menjadi seseorang yang diharapkan dikemudian hari.

***

"WOAAHH AKHIRNYA!!!" Sagara loncat-loncat karena kegirangan, "Jackpot! Untung besar kita!"

Raut wajah bahagianya benar-benar terpancarkan, proyek pembangunan apartemen yang terhubung dengan pusat perbelanjaan dan hotel semuanya berjalan lancar. Bahkan lahan pemukiman yang akan mereka gunakan pun tak ada kendala.

"I'm so proud of you, Son." Gilbert menepuk pundak sang anak, dan memeluknya. Sagara balas memeluk Papanya, dan dia tak henti-hentinya menyuarakan rasa bahagianya.

Siapa pun akan merasa kegirangan saat telah mencapai tujuan yang diharapkan.

Sagara melepas pelukan itu, kembali dudum di tempatnya berada. Dia, Papanya, Alicia dan Papanya Alicia sedang berkumpul untuk membahas kelancaran proyek anak-anak mereka.

"Jangan senang dulu, pembangunannya masih panjang. Ini baru soal izin."

"Bisa gak sih gak usah jadi party pooper gitu," sindir Sagara

"Gue cuman bilang fakta."

"Nyebelin lo."

"Terima kasih ya Alicia, sudah membantu banyak dalam keseriusan Sagara dalam proyek ini." Gilbert tulus berterima kasih pada Alicia, karena sedikit banyak anaknya mulai berubah dan serius dalam menjalankan pekerjaannya.

Alicia tersenyum manis dan mengangguk, "Sebenarnya pacar Sagara pun ikut andil dalam kesuksesan ini Om."

Refleks Sagara menoleh ke arah Alicia, dia terkejut atas apa yang ke luar dari mulut Alicia dengan melibatkan Shea dalam obrolan dengan Papanya itu.

Maksudnya apa?

"Oh ya? Bagaimana bisa?"

"Om tau sendiri, Gara tuh waktu awal-awal ngga bisa serius dan seenaknya sendiri. Tiap aku tegur, pasti berujung berdebat, meski aku udah aduin sama Om tetep gak berpengaruh. Jadi, aku minta tolong sama Shea buat ngasih tau Sagara untuk serius karena proyek kali ini sangat penting, dan berhasil. Jadi, Shea cukup andil juga kan dalam hal ini? Om juga harus berterima kasih sama dia, seperti sama aku barusan."

Sagara dibuat terkesima dengan kalimat yang ke luar dari bibir Alicia itu. Sempurna, itu di luar dari prediksinya, dia benar-bener tidak berpikir kalau Alicia menempatkan Shea dalam posisi seperti sekarang.

Dia cukup andil dalam keberhasilan ini, dan itu fakta.

Sagara jadi ingin cepat melihat bagaimana Papanya berterima kasih pada Shea nanti, pasti Shea pun akan senang mendengarnya.

"Seperti itu ya?" Gilbert mengangguk paham, "Nanti akan Om sampaikan ucapan terima kasih pada Shea."

"Bikin acara aja Dad," saran Sagara, "atas keberhasilan proyek ini. Undang juga pacar lo Lice."

Alicia mengangguk, "Ide bagus."

Hari terakhir itu mereka habiskan dengan bersantai, dan Alicia bersama Sagara keduanya memilih untuk berjalan-jalan di area sekitar sebelum pulang dan kembali ke kehidupan mereka.

"Buat tadi, thanks."

"Hah?" Alicia bingung, masalahnya dia tidak merasa melakukan sesuatu untuk Sagara.

"Lo bawa-bawa Shea, gue pikir itu bakal bikin Shea seneng kalau My Dad bilang makasih ke dia."

"Ah... itu," Alicia mengangguk mengerti, "Engga perlu bilang makasih lagi, gue cuman ngomongin faktanya aja."

"Tetep aja, gue ngerasa itu bisa lebih dari hadiah buat Shea."

Mendengar hal itu, lantas Alicia tersenyum dan menatap Sagara penuh makna.

"Kenapa?" tanya Sagara yang sadar kalau ia diperhatikan oleh Alicia, "Kenapa liatin gue?" Sagara kembali bertanya.

"Gue selalu merasa beban kalau dicintai sebegitunya," ujar Alicia, "kaya, gue ngga tau harus bales gimana sama orang itu. Tapi ngeliat lo sebegininya buat Shea, ngga buruk ternyata."

***

"Sial," maki Shea saat dia melihat notifikasi pesan dari Jaehyun.

Terima kasih untuk Amanda yang beropini kalau Jaehyun tengah mendekatinya, kini Shea selalu was-was ketika berinteraksi dengan Jaehyun. Bahkan hal sekecil apa pun yang dilakukan Jaehyun padanya, membuat Shea mengartikannya lain.

"Gara-gara Amanda gue jadi kepikiran."

Shea berguling ke sana ke mari di atas kasur, benar-benar tidak bisa berdiam diri, merasa gelisah dan khawatir.

Masalahnya, Shea tidak mau kehilangan teman. Egois nananya. Dan kalau memang benar sampai kejadian, dia pasti akan merasa canggung berteman dengan Jaehyun. Dia pun tidak mau memberi harapan sekecil apa pun pada Jaehyun.

Tapi yang jadi masalahnya adalah, ini semua abu-abu. Masa Shea sendiri yang harus memastikan Jaehyun suka atau tidak pada dirinya, itu namanya kepedean.

Pusing.

Selagi Shea sibuk memikirkan hal yang masih abu-abu itu. Bel apartemennya berbunyi.

"Siapa lagi yang dateng malem-malem begini." Keluh Shea, bola matanya memutar kesal. "Gak sopan banget deh, kaya gak ada hari esok ketemu. Awas aja kalau gak penting, gue maki yang dateng."

Bel apartemennya kembali berbunyi.

"Iya sabar anjir!"

Berulang, dan di tekan terus.

"Siapa sih! Gak sabaran banget, orang gila mana yang bertamu malem-malem begitu. Gue jadi males buka, kalau lo gak sabaran gitu."

Benar saja, bukannya langsung membuka pintu apartemennya, Shea memilih untuk meminum air terlebih dahulu.

"Mampus, suruh siapa gak sabaran."

Dari tadi Shea hanya mengomel dan berbicara sendiri saja, ya semoga orang yang ada dibalik pintu itu bisa mendengar keluh kesah Shea yang kesal diganggu malam-malam.

"Malem tuh waktunya istirahat, bukan ngerusuhin orang."

Kini langkah kaki Shea menuju pintu, mengecek siapa yang datang. Tatapan wajahnya sudah kesal, dia akan memarahi siapa saja yang datang. Pokonya, tak ada alasan apa pun, karena telah mengganggunya dan lagi memainkan bel apartemennya.

Tapi saat Shea membuka pintu apartemennya, raut wajahnya yang semula masam berubah menjadi berseri-seri. Matanya pun melebar, bibirnya terbuka.

"Kok kamu ada di sini?!" tanyanya seolah tak percaya kalau orang di depannya itu nyata, Shea menutup mulutnya dengan tangan, "Kok kamu di sini?" ulangnya.

Sagara kini berdiri di depannya, sambil melebarkan tangannya, tanda agar Shea mendekat untuk memberinya sebuah pelukan.

Shea pun mendekat dan sebuah pelukan kini mendarat di tubuh Shea.

"Kok gak bilang?" tanyanya lagi

"Diem dulu. Kangen, butuh recharge energi aku."

Sagar membenamkan kepalanya di ceruk leher Shea. Tangannya mendekap Shea erat.

"Kangen banget aku." Kini pelukannya mengendur sebelum terlepas.

"Masuk dulu," ajak Shea pada Sagara.

Yang ini tidak akan dia marahi, karena Shea juga menunggu kedatangannya. Kalau Sagara sih, mau datang jam 2 dini hari aja akan Shea bukakan pintu dengan senang hati dan tanpa berpikir panjang.

"Katanya baru pulang lusa," kata Shea, "kok udah di sini aja? Kamu beneran kerja kan Gar? Aku seneng sih kamu pulang, tapi kalau kamu pulang karena—"

"Bawel banget sih." Sagara memotong ucapan Shea, dan kini tangannya mencomot bibir Shea.

"Kerjaan aku udah kelar dong. Ini aku pas nyampe langsung ke sini, ngga pulang dulu."

"Padahal bisa besok."

"Loh gimana? Katanya kamu kemarin kangen sampe spam aku terus?"

"Kangen kecilllllllll ajaaaaaa tau. Aku spam salah, ga ngabarin nanti kamu yang tantrum."

"Jadi seneng ngga aku di sini sekarang?"

"Ya Seneng."

"Apaan reaksinya gitu doang?"

"OMG PACARKU PULANG, SENENG BANGET AKUU, MAUUU PELUKKKKKK."

Shea mendramatisir hal tersebut dan Sagara tertawa mendengarnya.

"Gak ikhlas itu, ngga dari hati pasti, kepaksa."

"Lo maunya apaan dah? Berantem aja kita! Orang beneran kangen!"

"Masa sih?"

Sorot mata Shea memicing menatap ke arah Sagara.

"Iya Sayang iya..., maaf, bercanda doang aku barusan." Sagara langsung meminta maaf, dan Shea hanya tertawa melihat raut wajah panik Sagara.

"Laper gak kamu?" tanya Shea

"Kamu laper?"

"Kalau kamu mau makan aku juga mau."

"Kalau kamu laper makan aja, mau makan apa Sayang?"

"Ih! Kamu gak mau? Ya udah gak usah deh, gak enak aku kalau makan sendirian."

"Ya udah, mau makan apa?" Sagara membuka ponselnya, berniat untuk me

"Aku buatin aja mau gak?"

"Repot ngga kamunya? Kalau repot, gapapa kita deliverya aja."

"Ngga juga sih, sebenernya sayang aja bahan makanan yang kemarin sempet aku beli taunya aku pergi kan."

"Aku sih seneng-seneng aja makan masakan kamu."

Sementara Shea memasak di area dapur yang bisa terlihat oleh Sagara, Sagara hanya duduk saja memperhatikan Shea yang sibuk dengan segala peralatan dan bahan masakannya.

"Udah cocok jadi calon istri," monolognya sambil terkekeh sendirian.

Sebenernya Sagara mau membantu Shea, tapi yang selalu dia lakukan adalah mengganggu Shea dan membuat gadis itu tak fokus. Jadi Shea selalu memberi warning agar Sagara tak ikut campur untuk urusan dapur.

Sambil menunggu Shea selesai, Sagara berjalan menuju ke arah piano yang tak jauh letaknya dari tempat dia berada sekarang. Dia cukup lama hanya duduk di kursi piano, tak melakukan apa pun. Sampai akhirnya dia membuka penutup piano itu dan memainkan sebuah lagu.

Dia sudah lama tak bermain piano, rasanya kaku namun menyenangkan. Padahal dulu dia merasa bahwa musik adalah healing terbaiknya. Ternyata sekarang ada yang lebih baik, yaitu bertemu dengan Shea merupakan healing juga, kalau tidak berantem. Namun akhir-akhir ini, hubungan dia dengan Shea terbilang sangat baik-baik saja, tanpa ada perdebatan dan mereka yang semula selalu saja bertengkar karena berbeda pendapat, kini mereka saling memahami, mungkin.

Benar, entah mereka saling memahami atau mereka memendam agar tidak terjadi perselisihan.

Entah berapa lagu yang dia mainkan saat itu, sampai dia tidak sadar kalau Shea memperhatikannya sejak tadi. Ada senyuman manis di bibir Shea, dan entah dia sadar atau tidak kini air matanya mengalir.

Melihat Sagara bermain piano di depannya, entah mengapa dia merasa menyedihkan.

Sampai pada akhir di mana Sagara menyelesaikan permainan pianonya, dia menoleh tepat ke arah Shea, mata mereka bertemu dan Sagara yang menyadari Shea menteskan air matanya segera mendekat.

"Hei... kamu kenapa?" tanyanya panik, "Ada yang sakit? Kamu kenapa Shea? Hei? Jangan bikin khawatir."

Shea segera menyeka air matanya, lalu menggeleng, "Gapapa, entah kenapa aku merasa sedih aja Gar ngeliat kamu main piano."

Sagara mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa gitu?"

"Karena awalnya aku pikir, mungkin menyenangkan kalau mimpi kita berada di satu tujuan yang sama."

"Sayang..."

"Aku cuman membayangkan aja, ngga bermaksud apa-apa."

"Tapi bikin kamu sedih, aku bisa main piano buat kamu terus kalau kamu mau. Tapi aku gak sejago kamu, kan kamu calon pianisnya." Sagara mengelus puncak kepala Shea, "Jangan sedih lagi, aku bisa wujudin semua mau kamu. Apa pun itu."

"Aku minta dibuatin candi dalam semalam, kamu sanggup gak?"

"Pikir aja sendiri."

Shea tersenyum dan terkekeh manis, "Ayo kita makan."

Shea memasak ayam teriyaki dan udang saos padang, dia memakai bahan-bahan praktis yang sudah ada di super market, jadi tidak perlu kerepotan lagi dan hasilnya lebih cepat daripada meracik sendirian.

"Jadi gimana kerjaan kamu? Lancar?"

"Lancar! Aku ama Alice dapatin jackpot, harga tanahnya jauh lebih rendah daripada perkiraan, padahal awalnya Alice udah memperkiraan pasti mereka menaikan harga gila-gilaan, ternyata tidak sampai sebegitunya, dan perihal izin lain-lainnya pun lancar. Daddy juga muji aku."

"Selamat, pacarku emang keren." Shea tersenyum ke arah Sagara.

Dia senang sekaligus sedih dengan pencapaian Sagara barusan. Tidak, maksudnya dia benar-bener sangat bahagia mendengar itu, dia bangga kalau Sagara mencapai tujuannya dengan lancar. Tapi, dia sedih, karena hanya dia yang gagal, yang tidak berhasil, padahal Shea sudah berjuang mati-matian.

Katanya, usaha tidak akan mengkhianati hasil.

Kalau begini, Shea semakin merasa sedih dan tidak pantas. Dibayangannya dia hanya kotoran yang akan menghalangi kesuksesan Sagara, menjadi noda. Dia bukan perempuan yang kecantikannya dipuji oleh semua orang, dia juga ngga begitu pintar, bahkan dalam satu-satunya hal yang Shea kuasai aja dia tetap tidak berhasil.

Sebegitu tidak ada tempatkah untuk Shea di dunia ini?

"Sye...?" panggil Sagara

"Eh... kenapa Gar?"

"Kamu yang kenapa? Aku panggilin dari tadi malah bengong, aku udah selesai makan tapi liat makanan kamu, masih utuh."

"Kamu kecewa gak sih Gar sama aku? Pasti iya ya?"

"Kecewa? Kecewa kenapa?" Sagara bingung dengan pertanyaan Shea barusan.

"Aku ngga bisa diandelin apa-apa, aku—"

"Stop jangan dilanjutin." Potong Sagara, "Kamu ngga pernah ngecewain aku Shea."

"Tapi aku bahkan engga berhasil dari hal yang aku kuasai aja, aku latihan siang dan malem sampe kurang tidur, tangan aku kebas, aku ngabaiin kamu, tapi hasilnya apa? Aku engga berhasil kan? Aku masih di sini-sini aja. Aku ngerasa kalau aku selamanya bakalan stuck di sini aja, sementara kamu, kamu udah jauh lari dan dekat dengan tujuan kamu. Sementara aku?"

"You did a great job Shea," ujar Sagara, "di mata aku kamu tetep hebat, mau kamu pianis, pelukis, penyanyi atau siapa pun kamu di masa depan, bagi aku itu ngga masalah Shea. Yang penting itu kamu."

"Tapi kamu juga berharap kan? Aku ngecewain semua orang Gar..." air mata Shea kini menetes, dan dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kamu bermain piano untuk siapa Shea? Untuk ditunjukan sama semua orang kalau kamu bisa?"

"Aku cuman... mau orang-orang ngeliat kalau aku pun bisa Gar..."

Sagara langsung menghampiri Shea dan memeluknya, "It's okay Shea, masih ada dikesemptan lain pasti akan ada saatnya kamu bersinar. Sekarang cuman aku yang bisa liat sinar itu."

Dan Shea masih menangis, tanpa suara, itu lebih terssa menyakitkan bagi Sagara.

"Ga apa-apa, kamu punya aku Shea." Sagara menelus punggung Shea perlahan, "Aku juga gak bakalan berhasil di detik ini kalau bukan karena kamu."

"Berhenti bilang kalau kamu ngga worth it, kamu gak bisa apa-apa. Kamu ngecewain orang banyak."

Perlahan Sagara menarik tangan Shea agar tidak menutupi wajahnya, dia melihat mata Shea yang memerah. Sagara menghela napasnya perlahan, kembali menarik Shea dalam pelukannya. Dia mengelus puncak kepala Shea, dan Shea menyenderkan kepalanya pada Sagara. Posisinya sekarang Sagara berdiri dan Shea tengah duduk.

"Tapi aku—"

"Kalau ngomong sekali lagi, aku cium."

"Apa sih."

"Ibaratnya tuh kamu bukan gak berbakat, tapi lawan kamu udah dipersiapkan dari kecil. Kalau kamu dari awal diarahin mau jadi pianis, dilatih dan les ini itu. Aku yakin kamu lebih dari mereka kerennya."

"Ngomong karena aku pacar kamu aja pasti."

"Kan, kan, beneran mau aku cium ya kamu?"

"Sinting!"

***

Terima Kasih Sudah Membaca Cerita Sagara

Gimana Bab ini?

Spill satu tokoh yang kalian suka di sini!

Bab selanjutnya full Shea & Sagara😯

Spam komen next di sini!

Sampai bertemu di bab selanjutnya!

With Love,

Asri Aci

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top