Part 9

After the Story

Saga & Sesil

###

Part 9

###

Ketika keputus-asaan benar-benar nyaris membuat Sesil sekarat, akhirnya ia mendengar suara Alec memanggilnya dari arah kegelapan. Ia melihat cahaya bergerak-gerak tak jauh dari tempatnya bersimpuh. "Alec?"

Sesil melempar ponselnya di rumput. Bersamaan pengawalnya yang tadi menghilang tiba-tiba muncul. Dengan napas terengah dan saat cahaya Alec menyorot wajah keduanya, Sesil bisa melihat luka lebam dan sobek di mulut pengawalnya.

"Dia Alec," cegah Sesil ketika pengawal itu hendak mengarahkan pistol ke arah Alec.

"Apa yang terjadi?" Alec langsung duduk berjongkok di samping Sesil. Melihat tangan Sesil yang menekan dada Dirga sudah dipenuh darah. Pria itu menyentuhkan tangannya di leher Dirga. Sangat lemah, dan mungkin tak bisa diselamatkan melihat bagaimana banyaknya darah di sekitar tubuh Dirga juga Sesil.

"Kita harus segera membawanya," perintah Alec pada pengawal Sesil. Yang langsung menggantikan telapak tangan Sesil di dada Dirga. Wanita itu menggeleng. "Mundurlah, Sesil. Biarkan kami yang mengurusnya." Alec memegang pundak Sesil dan menariknya berdiri. "Kau bisa berjalan sendiri?"

Sesil mengangguk meski kakinya melemah seperti jeli.

Alec dan pengawal itu menggotong Dirga. Keduanya sedikit kesulitan ketika naik ke jalanan dan memasukkan Dirga ke mobil Alec yang lebih besar. Setelah dada Dirga dibebat dengan kemeja jas pengawal Sesil, Sesil duduk di jok belakang dan menjadikan pangkuannya sebagai bantal untuk kepala Dirga.

"Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit," ujar Sesil saat Alec menyalakan mesin.

"Lalu kaupikir di mana kita bisa membawanya sekarang, Sesil?"

Sesil menggeleng. "Aku tidak tahu. Ke mana pun, selain rumah sakit."

"Dia butuh dioperasi. Kau pikir di mana tempat yang menyediakan peralatan operasi paling lengkap selain di rumah sakit, huh?"

Sesil berpikir. "Di rumah."

"Apa?" Alec menoleh ke belakang dan kembali ke arah jalanan di depan saking kagetnya.

"Di rumah Saga."

"Jangan gila kau. Sebelum Dirga mati, kita duluan yang akan mati di tangan Saga."

"Aku yang akan bicara dengan Saga. Sekarang dia tidak ada di rumah."

"Dan kaupikir pengawalnya akan membiarkan Dirga masuk ke sana?"

"Aku istrinya."

Alec mengerang keras.

"Kalian pasti punya seorang dokter yang biasa mengurusi hal-hal semacam ini tanpa perlu ke rumah sakit, kan? Aku ingat seorang dokter pernah datang ke rumah dan menjahit luka tembak di lengan Saga."

Alec tak bicara meski tahu siapa dokter yang dimaksud Sesil.

"Dan bukankah kau bilang hal semacam ini biasa terjadi pada kalian? Kau juga bilang semua akan diurus oleh orang-orang Saga."

Alec mendengus dengan pengetahuan Sesil yang ternyata dimanfaatkan oleh wanita itu dengan cara licik seperti ini.

"Apa pun itu, lakukan sesuatu untuk menyelamatkannya, Alec. Aku mohon padamu."

"Seharusnya aku merekam permohonanmu itu, Sesil," ejek Alec. Seraya mengambil ponsel di saku jasnya dan menghubungi orang darurat.

***

Ketika Alec memarkirkan mobil di halaman rumah Saga, dua orang pengawal langsung menyambut mereka. Membopong tubuh Dirga ke salah satu kamar yang sudah berubah menjadi ruang operasi.

Seorang pria tinggi berjas putih langsung memeriksa luka di dada dan denyut Dirga. Kemudian menginteruksikan pada tiga orang lainnya masing-masing tugas. "Golongan darahnya?" tanyanya pada Alec.

"B," jawab Sesil cepat.

Dokter itu mengangguk. "Kami akan mengurusnya, Nyonya. Sebaiknya Anda tunggu di luar."

Sesil tak beranjak, pandangan kosongnya masih terpaku ke arah Dirga yang mulai dipasangi beberapa alat di tangan, dan pakaian pria itu mulai di robek.

Alec menarik tubuh Sesil keluar dan pintu ditutup. Mendudukkan wanita itu di kursi. Tak lama pelayan datang, membawakan segelas cangkir teh hangat.

"Minumlah."

Sesil menurut. Perutnya yang dingin seketika menghangat dan perasaannya sedikit lebih baik meski kekhawatiran akan keadaan Dirga masih menyesakkan dada. Alec memerintahkan pada salah satu pengawal untuk berjaga di depan pintu kamar Kei, jika sewaktu-waktu bocah itu terbangun karena keributan ini dan melihat semuanya.

"Setelah kau merasa sedikit tenang, naiklah ke kamar dan ganti pakaianmu."

Pandangan Sesil turun. Tangan, kaki, dan bajunya penuh dengan darah. Sesil menggeleng, bersikeras tetap di tempatnya sampai dokter mengatakan keluar dan mengatakan keadaan Dirga baik-baik saja. Namun, pada akhirnya ia terpaksa naik ke kamarnya ketika seseorang melaporkan bahwa Kei terbangun dan ingin menemui Sesil.

Sesil langsung beranjak, mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan berganti pakaian secepat kilat sebelum masuk ke kamar Kei. Bocah itu langsung memeluk Sesil

"Apa Papa baik-baik saja? Kei melihat mobil dokter Juan diparkir di luar."

Sesil seketika berjongkok di depan Kei, menangkup wajah mungil putranya dengan kesedihan yang berusaha dipendamnya. "Papa baik-baik saja. Dokter itu kemari bukan karena papa."

Kerutan kecil tersamar di kening Kei, tapi ada kelegaan yang memenuhi ekspresi polosnya.

"Teman Mama sedang butuh bantuan, om Alec membantunya di bawah," jelas Sesil dengan lembut.

Kei mengangguk.

"Kemarilah, Mama akan menemanimu tidur." Sesil membawa Kei ke tempat tidur, berbaring miring memeluk putranya.

"Apa Papa benar-benar baik saja?" tanya Kei sekali lagi.

"Iya, sayang. Apa kauingin Mama menelponnya?"

Kei mengangguk.

"Tunggu sebentar." Sesil turun dari tempat tidur, keluar dan kembali dalam sekejap dengan ponsel di tangan yang sudah bersih dari noda darah. Ada dua panggilan dari Saga yang tak diangkatnya.

"Aku baru saja sampai lima belas menit yang lalu, kupikir kau sudah tidur." Suara Saga langsung terdengar begitu panggilan Sesil tersambung.

"Kei ingin mendengar suaramu."

"Kei? Dia belum tidur?"

"Dia terbangun. Bicaralah." Sesil memberikan ponselnya pada Kei. Putranya itu langsung berbicara. Mengatakan alasan kenapa tiba-tiba terbangun. Sesil bisa mendengar kebekuan penuh tanda tanya yang sempat menyerang Saga ketika Kei memberitahu tentang dokter Juan dan Alec. Sesil menggigit bibir bagian dalamnya. Lalu Saga mengatakan pada Kei untuk segera tidur dan memutus panggilan tersebut.

Sesil memeluk putranya sambil menatap layar ponselnya yang gelap. Saga tidak menelponnya lagi, ataupun mengirim pesan. Atau mungkin pria itu sedang menghubungi Alec dan mencari tahu apa yang terjadi.

Benar saja, setelah memastikan Kei kembali terlelap dan ia turun ke lantai satu. Alec baru saja selesai berbicara dan menurunkan ponsel dari telinga pria itu.

"Saga," gumam Alec pada Sesil.

Sesil hanya diam. Kedua tangannya yang tertaut di depan perut saling meremas gugup.

"Kau perlu mempersiapkan diri dengan kemarahannya. Bahkan semua bulu kudukku berdiri ketika ia mengatakan akan langsung pulang sekarang juga."

Mata Sesil membulat sempurna. "Dia akan pulang?"

"Paling lambat siang hari ini. Tak butuh waktu lama menyiapkan penerbangan kembali."

Sesil merasakan bau anyir ketika bibirnya menggigit lebih dalam. "Urusannya di sana?" cicitnya.

Alec mendengus tipis. "Kaupikir dia akan lebih mengurusi pekerjaanya ketimbang urusan istrinya yang memasukkan pria lain ke rumahnya?"

Sesil sudah bisa membayangkan kemarahan pria itu bahkan sebelum Saga muncul berjam-jam lagi. Bulu kuduknya ikut merinding.

"Dia tidak ingin kau tahu kepulangannya. Aku hanya sedikit menyelamatkannya dari kecemburuan yang akan membakarnya hidup-hidup. Sebaiknya kau punya alasan yang kuat untuk menjelaskan semua ini. Kau tahu dia tak sepemurah itu."

***

Luka di dada Dirga sudah dijahit dan dua peluru di tubuhnya sudah diambil. Pendarahannya juga sudah berhenti. Tapi pria itu masih tak sadarkan diri, dan tubuhnya masih sangat lemah pasca operasi. Setidaknya pria itu masih bernapas dan hidup. Sesil berusaha menenangkan kekhawatirannya sendiri.

"Nyonya, makanan sudah siap," beritahu pelayan mendekati Sesil yang duduk di sofa dengan pandangan kosong terarah ke pintu tempat Dirga berbaring. Sesil sendiri sudah kehilangan selera makannya, tapi ketika ia teringat bayi di dalam perutnya ia beranjak.

"Kei?"

"Sebentar lagi turun."

Sesil memaksakan senyuman cerahnya untuk Kei. Keduanya makan di meja makan dalam ketenangan seperti biasa meski Sesil menyisakan banyak makanan di piringnya. Setelah selesai, Sesil mengantar Kei ke teras rumah. Mencium kening dan kedua pipi putranya sebelum Kei masuk ke mobil yang akan mengantar ke sekolah.

Jam sebelas siang, setelah melihat keadaan Dirga yang masih tak sadarkan diri. Sesil mulai panik. Ia meminta nomor telpon dokter yang mengoperasi Dirga pada Alec dan menyuruhnya untuk memeriksa keadaan Dirga sekali lagi. Panggilannya tersambung, tapi tidak diangkat hingga di panggilan ke lima.

Putus asa, Sesil kembali menelpon Alec.

"Sepertinya Saga yang melarangnya untuk mengangkat panggilan darimu. Dokter Juan tak pernah melewatkan satu panggilan pun," jawab Alec setelah Sesil menjelaskan semua.

Sesil mereguk liurnya. Air matanya langsung jatuh berhamburan. Bingung dan panik. Tepat saat itu, suara mesin mobil berhenti di halaman rumah. Sesil menoleh dan jantungnya berdegup dengan cepat.

Saga sudah datang.

***

Di Karyakarsa sudah up part 14, ya. Yang ga sabar next partnya bisa langsung cus ke sana. Link di bio.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top