Part 8
After the Story
Saga & Sesil
###
Part 8
###
"Nyonya, apa yang Anda lakukan tengah malam seperti ini di luar?" Salah satu pengawal berjalan mendekati Sesil begitu wanita itu menginjakkan kaki di teras rumah.
"Siapkan mobil."
Pengawal itu butuh penjelasan lebih.
"Cepat. Bawa aku ke ... ke ..." Sesil tak tahu ke mana dia harus pergi. Dirga tak mengatakan apa pun karena pria itu sedang dalam keadaan sekarat. "Ke sini."
Pengawal itu menatap ponsel yang diletakkan Sesil di tangannya. "Cepat kau cari tahu di mana lokasi nomor yang baru saja menelponku dan bawa aku ke sana."
"Tuan Saga ..."
"Saga tidak bisa dihubungi. Dia masih di pesawat. Dan ini sangat genting. Seseorang sedang sekarat, aku harus menolongnya."
Pengawal itu tampak keberatan.
"Atau kauingin aku pergi ke sana sendirian!" bentak Sesil.
"Baik, Nyonya. Saya akan segera mencarinya."
"Cepat."
Tak lebih dari sepuluh menit, pengawal Saga memberitahu tahu lokasi di sekitar ini dan itu yang sama sekali tak pernah didengar oleh Sesil. Sesil pun menyuruh pengawal itu untuk membawanya ke sana.
"Anda tidak bisa ikut, Nyonya."
"Kenapa?"
"Lokasinya ... Saya akan ke sana dengan beberapa pengawal lainnya. Sesampainya di sana saya akan ..."
"Tidak!!" tegas Sesil dengan tangan menunjuk ke wajah pengawal itu penuh peringatan. Sebelum melanjutkan dengan rentetan penuh ancaman yang langsung membungkan bantahan pengawal itu. "Kau akan membawaku ke sana. Sekarang juga. Kau tahu aku bisa melakukan apa pun semauku dan akan kupastikan itu sesuatu yang tidak Saga sukai. Dan kau tahu apa yang akan terjadi jika Saga mengamuk."
Mulut pengawal itu terkatup rapat. Kemudian mengangguk. "Saya akan segera menyiapkan mobil."
"Berapa lama ke sana?" tanya Sesil begitu duduk di jok belakang dan mobil melaju
Pengawal itu menekan beberapa tombol di layar yang ada di samping setir. "Lima belas menit."
"Buat secepat mungkin. Ini tengah malam, lalu lintas tak mungkin padat."
"Saya akan berusaha." Pengawal itu memutar setir dan mesin mobil menyala.
"Bisakah kau lebih cepat?" Jemari Sesil yang bergetar tak berhenti bergoyang. Rasanya sudah berjam-jam mobil melaju tapi tak juga sampai. Ia bahkan menggigit ujung kuku jemarinya demi menghentikan gemetar di bibir. "Kenapa kita masih berada di komplek perumahan? Berapa lama lagi kita sampai?"
Penngawal itu melirik layar di samping setir dan menjawab dengan penuh kesabaran. "Empat belas menit lagi, Nyonya."
"Lebih cepat lagi. Jika dia meninggal karena kita terlambat datang ..." Sesil menggelengkan kepalanya dengan keras. Tak berani melanjutkan apalagi membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. "Pokoknya kita harus cepat menolongnya!"
'Apa yang sedang terjadi?'
Sesil bisa mengingat bagaimana suara pria itu yang kesusahan bernapas. Kemudian suara batuk, seperti tersedak. Dan tak ada suara lagi ...
'Bagaimana jika Dirga sudah mati?'
Lagi Sesil menggelengkan kepala dengan lebih keras. Pemikiran itu terus muncul di benaknya. Setiap detik yang berlalu terasa begitu menegangkan dan seperti diulur.
"Kenapa kau berhenti?" sergah Sesil ketika merasakan laju mobil yang mulai berkurang.
"Kita sudah sampai, Nyonya. Tapi ..." Pengawal itu melayangkan pandangan ke sekeliling mobil yang gelap gulita. Lampu mobil di depan hanya memberitahunya bahwa di depan jalanan gelap gulita. Hanya ada pohon di kanan kiri jalan beraspal itu.
Sesil langsung melompat turun. Menengok ke kanan dan kiri.
"Nyonya, Anda tidak boleh turun."
"Kau yakin lokasinya di sini?" Sesil tak banyak melihat banyak. Tapi kemudian ia menyalakan lampu senter di ponselnya dan mencari tahu di sekeliling mereka. Jalanan beraspal tempat mereka berpijak merupakan tanah berbukit. Di samping kanan dan kirinya hanya tanah berumput yang menurun tapi tak cukup curam, setinggi dua sampai tiga meter. Sesil berusaha menyenter di antara semak pepohonan. Dan hanya ada kegelapan dan sepertinya tanah di bawah sana rata.
Pengawal itu mengangguk. "Di sekitar sini. Anda sebaiknya masuk, saya akan mencari di sekitar sini."
Sesil menggeleng. "Kau cari di seberang jalan dan aku akan ke sebelah sini. Kita tak punya banyak waktu."
"T-tapi Nyonya."
"Lakukan. Aku akan berteriak jika ada sesuatu."
"Anda tidak bisa."
"Aku bisa!" tandas Sesil mendelik. Kemudian melangkah ke rumput di samping mobil. Berhati-hati karena tanahnya sedikit miring. Nyaris sampai ke bawah, ia meluncur dengan pantat karena terpeleset.
"Nyonya?" panggil pengawal itu ketika mendengar bunyi gedebuk pelan.
Sesil bangkit, menutup wajahnya karena silau senter yang arahkan pengawal itu ke arahnya. "Aku baik-baik saja. Kau cari di sebelah sana."
Pengawal itu enggan, tapi tak punya pilihan. Semakin cepat ia menemukan seseorang yang dimaksud Sesil, semakin cepat ia kembali dan membawa nyonya kembali ke rumah dengan selamat. Ia bahkan ragu tak akan mendapatkan ganjaran yang setimpal telah membawa nyonyanya ke tempat berbahaya seperti ini.
Belum sempat ia mencapai seberang jalan, terdengar suara teriakan. Pengawal itu bergegas menghampiri. Melompat ke bawah dan langsung menemukan tubuh nyonyanya terjerembab sekitar sepuluh meter dari tempatnya.
"Nyonya?" Pengawal itu sudah membuka gagang pistol di pinggangnya. Berjongkok membantu Sesil bangkit kemudian mengarahkan cahaya ke arah yang ditunjuk oleh sang nyonya.
Sesil membekap mulutnya. Tak berani mendekati gundukan di depannya yang tak bergerak ataupun memastikan bahwa itu adalah tubuh Dirga. Dalam tangisannya, yang mendadak tercium bau anyir. Sesil mengangkat tangannya dari wajah. Entah dari mana noda darah di tangannya ini, Sesil mengarahkan ponselnya ke tanah berumput di sekitar kakinya. Ada begitu banyak darah di sekitarnya, dan lebih banyak di sekitar tubuh itu.
Pengawal itu berjongkok di samping tubuh tak berdaya, membaliknya dan Sesil seperti tersambar petir.
"Dirga?" Sesil melompat mendekat. "Tidak," tangisnya.
"Siapa di sana?" Pengawal itu mengangkat kepalanya menuju ke arah semak di arah depan mereka. Pistol mengacung ke depan. Tak ada suara lagi, selain isakan sang nyonya yang seketika berhenti. Ia pun mematikan cahaya dari ponselnya, juga ponsel Sesil. Kemudian menajamkan indera pendengarannya sembari memberikan pisau lipat yang diambilnya dari pinggang kepada Sesil.
Srekk ...
Dorrr ...
Pengawal itu terdiam. Berharap tembakannya mengenai seseorang itu dan mendengar suara rintihan. Tapi kemudian terdengar ranting yang diinjak dan suara berlari menjauh. Pengawal itu melompati tubuh Dirga dan mengejarnya.
Sesil tak bisa melihat apa pun, dia membawa kepala Dirga dalam pelukannya dan satu tangannya memegang erat-erat pisau. Menahan isakannya karena takut ada seseorang yang lain di sekitar mereka. Tapi tangannya yang satu menyentuh basah. Seperti sesuatu yang mengalir dari tubuh Dirga. Darah. Sesil melempar pisaunya, tangannya meraba-raba mencari ponselnya. Kemudian menyalakan lampu senter. Menyorot ke arah tubuh Dirga.
Betapa terkejutnya dia, menemukan luka mengaga di dada Dirga yang masih mengucurkan darah. "Tidak, tidak." Sesil menggelengkan kepala dengan tangisan yang meluap. Ia harus melakukan sesuatu. Meyakinkan diri bahwa Dirga masih hidup dan ia harus segera menolongnya. Saga? Saga sedang berada jauh darinya.
Dengan jemari berlumuran darah yang menodai layar ponsel, ia mencari-carai nama di kontak.
"Alec?"
"Ada apa, Sesil?"
"Aku ... aku ..." Dada Sesil sangat sesak. Gemetar di seluruh tubuhnya tak bisa berhenti. "Rumah sakit. Dokter."
"Apa kau keguguran?"
"Bukan aku." Sesil menggeleng.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Lalu apa yang terjadi?"
"Aku tak tahu. Dia sangat berdarah. Ada darah di seluruh tubuhnya. Aku menekan dadanya tapi darah itu masih keluar, Alec. Tolong aku." Racauan Sesil keluar dalam satu kali hembusan napasnya. Ia terengah. Air matanya tumpah ruah dan darah Dirga kini mulai membasahi dress bagian bawahnya. "Saga pergi keluar negeri dan belum pulang. Dia tak bisa dihubungi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia akan mati kehabisan darah jika tidak segera dibawa ke rumah sakit. Tapi dia bilang rumah sakit juga akan membunuhnya. Apa yang harus kulakukan Alec? Hanya kau yang bisa membantuku."
"Aku tak bisa mendengar suaramu, Sesil." Rentetan kalimat Sesil yang meluap bercampur isak tangis membuat Alec kesulitan mencerna kalimat wanita itu. "Tenanglah. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan."
Sesil menuruti perintah Alec. Tapi dadanya masih tak bisa bernapas.
"Apa kau sudah tenang?"
"Ya." Sesil menggeleng.
"Katakan. Di mana kau sekarang dan apa yang harus kulakukan? "
Sesil menengok ke sekelilingnya. Hanya ada pepohonan dan kegelapan. "Aku tak tahu di mana?"
"Kirim lokasimu lewat pesan."
Sesil mengangguk. "Ya."
"Apa kau sendirian?"
"Aku bersama salah satu pengawal Saga, tapi dia pergi. Mengejar. Aku sangat takut, Alec."
"Oke. Aku mengerti. Aku akan ke sana sekarang dan mengirim ambulans."
"Jangan!" teriak Sesil. "Tidak. Jangan bawa ambulans. Aku hanya butuh kau. Dia bilang jangan ke rumah sakit."
"Baiklah," ucap Alec akhirnya setelah beberapa detik yang terasa begitu lama. "Kau sudah mengirimnya?"
"Ya."
Hening sejenak. "Jangan matikan ponselmu. Aku sudah menerima lokasimu. Aku juga sudah naik ke mobil. Aku akan sampai ke sana dalam sepuluh menit. Lebih cepat jika memungkinkan. Tunggu aku."
***
Ini update tiap hari di Karyakarsa ya. Jangan lupa ngintipin updatenya tiap malam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top